Pengembangan Buah di Bali Perlu Dukungan Multipihak
Buah termasuk komoditas pertanian Bali yang berpotensi diekspor. Namun, pengembangan produksi buah di Bali membutuhkan dukungan dari banyak pihak, terutama pemerintah.
Oleh
COKORDA YUDISTIRA M PUTRA
·4 menit baca
DENPASAR, KOMPAS — Buah menjadi komoditas pertanian Bali yang berpotensi diekspor. Namun, pengembangan produksi buah di Bali membutuhkan dukungan dari banyak pihak, utamanya pemerintah. Dukungan diperlukan dari hulu sampai ke hilir, mulai dari peningkatan kapasitas sumber daya petani, pengembangan dan pembudidayaan, pengolahan dan pengemasan produk, sampai pemasaran buah.
Pengelola Agrowisata Abian Salak di Desa Sibetan, Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem, I Nyoman Mastra (52), mengungkapkan, salak Bali, termasuk salak dari Sibetan, Karangasem, sudah memiliki nama jual, baik di Bali maupun di luar daerah Bali.
Akan tetapi, pemasaran salak Bali masih sangat bergantung pada pasar di luar Bali, terutama dari Jawa. ”Kendala lainnya, masa simpan salak Bali relatif pendek, ketahanannya paling lama seminggu,” kata Mastra ketika dihubungi pada Kamis (16/9/2021).
Masa produksi salak Bali di Sibetan, menurut Mastra, ketika panen raya mulai Januari sampai Maret dan panen gadu mulai Juli sampai September. Di sela-sela kedua masa panen itu, menurut Mastra, petani salak mengenal masa paceklik, yakni produksi salak berkurang drastis. ”Pada masa paceklik itu, yakni antara April sampai Juni, dan Oktober sampai Desember, harga salak justru naik karena produksinya sedikit,” kata Mastra.
Kondisi itu, menurut Mastra, juga berpengaruh terhadap pengembangan salak sebagai komoditas ekspor. Ekspor membutuhkan produk dalam jumlah tertentu dan secara rutin, sedangkan produksi salak Bali tergantung dari masa panen. Mastra mengatakan, kendala pengembangan salak Bali sebagai komoditas ekspor itu perlu dijembatani, antara lain melalui ekspor dengan perjanjian tentang volume produk.
Secara terpisah, petani jeruk siam di Kintamani, Kabupaten Bangli, Wayan Slamet (42), mengungkapkan, kemampuan petani jeruk, terutama di kawasan Kintamani, penting untuk ditingkatkan, khususnya peningkatan sumber daya petani.
Slamet mengatakan, petani jeruk di Kintamani umumnya masih mandiri dalam membudidayakan jeruk. ”Perlu ada wadah dan pendampingan mengedukasi petani agar kemampuan petani menjadi lebih baik, mulai dari cara menanam, memelihara, memanen, sekaligus memasarkan,” ujarnya.
Senada Mastra tentang ketahanan salak Bali, Slamet juga mengungkapkan daya tahan jeruk siam ketika disimpan juga singkat, maksimal selama satu minggu. ”Ini menjadi masalah apabila jeruk siam dijadikan komoditas ekspor,” ujarnya sembari menambahkan, tantangan lain, produksi jeruk di Kintamani juga masih terganggu serangan hama dan penyakit.
Slamet menambahkan, dirinya bersama sejumlah petani jeruk di Kintamani sedang membudidayakan jeruk keprok jenis Rimau Gerga Lebong (RGL) karena jeruk keprok RGL memiliki kelebihan, antara lain masa penyimpanan lebih lama, ukuran buah relatif seragam, dan rasa jeruk lebih manis.
Sentra
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali Ketut Lihadnyana mengatakan, pemerintah sedang mengembangkan potensi hortikultura, termasuk buah, dengan orientasi ekspor. Untuk itu, menurut Lihadnyana, pemerintah memetakan kawasan berbasis sentra komoditas unggulan secara spesifik di Bali.
Perlu ada wadah dan pendampingan mengedukasi petani agar kemampuan petani menjadi lebih baik, mulai dari cara menanam, memelihara, memanen sekaligus memasarkan.
Pemetaan kawasan berbasis potensi itu berkaitan dengan langkah fasilitasi dan bantuan pengembangan serta pendampingan sampai ke persiapan ekspor. ”Misalnya, pengembangan sentra manggis di Kabupaten Tabanan yang dibantu dengan paket bibit dan pupuk organik serta pendampingan,” kata Lihadnyana, Kamis (16/9).
Lihadnyana menambahkan, situasi pandemi Covid-19 juga berdampak dan memengaruhi upaya peningkatan ekspor komoditas daerah, terutama dalam pengiriman atau logistik. Lihadnyana menyebutkan, pembatasan penerbangan langsung untuk rute internasional dari Bali menjadi tantangan upaya ekspor Bali saat ini.
Dalam seminar mengenai transformasi ekonomi Bali dan Nusa Tenggara dengan topik ”Bali Nusra Menuju Pertanian 4.0”, yang diselenggarakan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali secara di dalam jaringan (daring), Selasa (14/9/2021), disebutkan pentingnya dukungan pemerintah bersama kalangan perguruan tinggi dan juga perbankan dalam membangun pertanian.
Kepala Kantor Perwakilan BI Provinsi Bali Trisno Nugroho menyebutkan, sektor pertanian di Bali dan Nusa Tenggara berpeluang ditingkatkan untuk tujuan ekspor dan menjadi penggerak ekonomi daerah pada masa pandemi. Trisno menambahkan, pengembangan pertanian di Bali dan Nusa Tenggara masih mengalami tantangan, mulai dari kapasitas sumber daya manusia (SDM) petani, kelembagaan petani, dan pemasaran.
Adapun Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Arifin Rudiyanto mengungkapkan, secara nasional, SDM di sektor pertanian membutuhkan regenerasi karena sekitar 64,2 persen petani di Indonesia berusia di atas 45 tahun dan mayoritas dari mereka adalah lulusan sekolah dasar.
Dalam seri webinar yang diselenggarakan Kantor Perwakilan BI Provinsi Bali, Selasa (14/9/2021), Arifin menambahkan, pertanian di daerah juga dikembangkan ke dalam rantai pasok sektor industri, termasuk bagi pariwisata yang tetap menjadi penggerak utama ekonomi daerah di Bali dan Nusa Tenggara.