Ketergantungan Bahan Baku Impor Perlu Diantisipasi
Geliat aktivitas industri manufaktur diperkirakan akan lebih dinamis. Penguatan sektor hulu perlu segera didorong untuk menjawab lonjakan kebutuhan permintaan bahan baku dari sektor hilir di bulan-bulan mendatang.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indikator kinerja ekspor dan impor pada Agustus 2021 menunjukkan perbaikan aktivitas industri setelah sempat mengalami tekanan pada Juli 2021 karena pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat. Kendati demikian, kenaikan impor bahan baku atau penolong juga menggambarkan masih kuatnya ketergantungan industri dalam negeri pada bahan baku impor.
Berdasarkan rilis Badan Pusat Statistik, Rabu (15/9/2021), impor pada Agustus 2021 tercatat senilai 16,88 miliar dollar AS, naik 10,35 persen dari Juli 2021. Secara tahunan, kinerja impor juga naik 55,26 persen dibandingkan dengan Agustus 2020.
Impor yang berkaitan dengan kinerja industri, seperti impor bahan baku/penolong dan barang modal, mencatat nilai tertinggi dibandingkan dengan impor barang konsumsi.
Sepanjang Agustus 2021, impor bahan baku/penolong senilai 12,38 miliar dollar AS, naik 8,39 persen dibandingkan dengan kondisi Juli 2021, serta naik 59,59 persen dibandingkan dengan Agustus 2020. Sementara impor barang modal senilai 2,41 miliar dollar AS naik 16,44 persen secara bulanan dan naik 34,56 persen secara tahunan dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Sejalan dengan itu, industri pengolahan juga membukukan ekspor senilai 16,37 miliar dollar AS pada Agustus, tumbuh 20,67 persen secara bulanan dan 52,62 persen secara tahunan. Ekspor industri pengolahan mencapai 76,42 persen dari total ekspor pada Agustus 2021.
Kepala BPS Margo Yuwono menilai, indikator kinerja ekspor dan impor itu menunjukkan kondisi industri mulai membaik, setelah sebelumnya sempat melambat akibat merebaknya Covid-19 varian Delta dan PPKM pada Juli 2021. Saat itu, ekspor industri pengolahan tercatat senilai 13,56 miliar dollar AS, menurun 3,63 persen secara bulanan.
Indikator ini juga menunjukkan perbaikan aktivitas ekonomi secara umum. ”Permintaan di sektor industri mulai membaik, terlihat dari impor bahan baku dan barang modal yang meningkat. Kebutuhan industri untuk meningkatkan kapasitas produksinya juga semakin bagus,” kata Margo, Rabu.
Meski butuh kajian lebih mendalam, Margo menyebutkan korelasi tak langsung antara peningkatan impor untuk kebutuhan industri tersebut dan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) yang secara bertahap telah dilonggarkan pada Agustus.
Antisipasi ketergantungan
Namun, kinerja impor yang meningkat juga menggambarkan kuatnya ketergantungan industri dalam negeri pada bahan baku/penolong impor. Secara kumulatif, impor bahan baku/penolong pada periode Januari-Agustus 2021 naik 36,84 persen dibandingkan dengan periode sama tahun 2020.
Nilai impor bahan baku/penolong pada Januari-Agustus 2021 adalah 92,88 miliar dollar AS, lebih tinggi daripada kondisi pra-pandemi atau pada periode Januari-Agustus 2019, dengan nilai impor bahan baku/penolong 83,64 miliar dollar AS.
Komposisi impor bahan baku/penolong terhadap total impor nonmigas juga meningkat. Pada Januari-Agustus 2021, porsi impor bahan baku/penolong adalah 75,61 persen dari total impor nonmigas. Sebagai perbandingan, pada Januari-Agustus 2020, kontribusinya 73,69 persen dari total impor dan pada Januari-Agustus 2019, porsinya 74,37 persen dari total impor.
Peneliti Center of Industry, Trade, and Investment Institute for Development on Economics and Finance Ahmad Heri Firdaus mengatakan, kegiatan industri di hilir yang mulai hidup perlu diiringi dengan penguatan di sektor hulu dan antara (intermediate).
”Di satu sisi, ini hal baik karena permintaan mulai tumbuh, konsumsi masyarakat bergerak, dan mendorong aktivitas industri. Tetapi, di sisi lain, ini menunjukkan masalah klasik kita yang masih belum teratasi, yaitu memperkuat struktur industri dan mengoptimalkan pasokan rantai nilai produk dari dalam negeri,” katanya.
Melihat kenaikan mobilitas dan konsumsi masyarakat serta melandainya kasus Covid-19, ia menilai, aktivitas industri ke depan akan lebih dinamis. Industri bahan baku perlu segera diperkuat untuk mengantisipasi adanya lonjakan permintaan bahan baku lagi di bulan-bulan mendatang.
”Tidak menutup kemungkinan, ke depan ini akan ada peningkatan kebutuhan bahan baku industri lagi. Industri di hulu dan perantara harus disiapkan dari sekarang agar bisa mengisi kebutuhan di hilir,” ujarnya.
Secara terpisah, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, industri manufaktur secara umum memiliki resiliensi yang baik dengan terus menunjukkan geliat positif di tengah pandemi.
Menurut dia, meski beberapa kali mengalami tekanan kuat dan harus terkontraksi, industri manufaktur mampu bangkit cepat. Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia sejak November 2020 selalu berada di atas level 50 atau dalam fase ekspansif.
Indeks PMI pada Juli 2021 memang sempat terkontraksi ke level 40,1 akibat varian Delta dan PPKM. Namun, pada Agustus 2021, posisi PMI Manufaktur kembali naik di angka 43,7 meski masih di zona kontraksi. Sejalan dengan itu, kinerja ekspor di industri pengolahan juga kembali naik setelah sempat melandai. ”Saya optimistis dalam satu atau dua bulan lagi industri kita sudah dalam jalur ekspansi lagi,” ujarnya.
Agus mengatakan, pemerintah terus berupaya membangun industri yang mandiri dan tidak bergantung pada sumber daya dari negara lain. ”Pemerintah terus mendorong optimalisasi program substitusi impor sebesar 35 persen pada tahun 2022, mendorong program penggunaan produksi dalam negeri (P3DN) dan hilirisasi sumber daya alam,” kata Agus.