Perluasan Insentif Harga Gas Industri Masih Dikaji
Faktor nilai keekonomisan menjadi pertimbangan pemerintah. Sebab, penurunan harga gas dapat mengurangi penerimaan negara dari sektor hulu migas. Penyediaan jaringan gas yang belum meluas dan merata juga menjadi evaluasi.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah masih mengkaji usulan perluasan penerapan harga gas bumi tertentu atau HGBT bagi 13 sektor industri tambahan di luar tujuh sektor yang sudah mendapat keringanan tarif. Nilai keekonomisan dan ketersediaan infrastruktur jaringan gas yang luas menjadi pertimbangan sebelum memutuskan perluasan insentif tersebut.
Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan, dan Akses Industri Internasional Kementerian Perindustrian Eko SA Cahyanto, Jumat (10/9/2021), mengatakan, usulan dari Kementerian Perindustrian untuk memperluas cakupan sektor yang menerima diskon harga gas industri itu masih dikaji di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
”Kami sebenarnya mendorong harga gas agar bisa serendah mungkin untuk mendorong daya saing industri. Dampaknya akan sangat luas, dari peningkatan utilisasi industri, penambahan investasi, yang juga akhirnya bisa mendongkrak pendapatan negara dan kesejahteraan masyarakat,” kata Eko saat dihubungi.
Kementerian Perindustrian telah mengusulkan 13 sektor industri tambahan untuk mendapat harga gas sebesar 6 dollar AS per juta metrik british thermal unit (MMBTU) tersebut. Ke-13 sektor itu adalah industri ban, makanan dan minuman, pulp dan kertas, logam, permesinan, otomotif, karet remah (crumb rubber), refraktori, elektronika, plastik fleksibel (lembaran), farmasi, semen, serta industri asam amino.
Saat ini, industri yang sudah menikmati harga gas bersubsidi itu baru tujuh sektor, yakni pupuk, oleokimia, keramik, petrokimia, baja, kaca, dan sarung tangan karet yang total terdiri dari 176 industri. Harapannya, jika usulan itu disetujui lintas sektor, akan ada 20 industri yang bisa menghemat biaya produksi dan meningkatkan daya saing.
Sebagai perbandingan, harga gas industri yang berlaku di luar subsidi sangat bervariasi dan terhitung tinggi, tergantung pada lokasi, ketersediaan jaringan gas di wilayah bersangkutan, serta alat angkut (transporter) gas yang digunakan. Eko menyontohkan, di Jawa Tengah, di mana infrastruktur jaringan gas terbatas, tarif gas mencapai 12-15 dollar AS per MMBTU.
”Industri kebutuhannya berbeda-beda. Kenapa sektor yang mendapat insentif di awal hanya tujuh industri, itu karena mereka yang paling banyak melahap gas (dalam proses produksinya). Kami tambahkan 13 sektor lain yang juga melahap gas, meski tidak sebanyak tujuh sektor pertama,” kata Eko.
Namun, faktor keekonomisan masih menjadi pertimbangan pemerintah. Sebab, penurunan harga gas hingga mencapai 6 dollar AS per MMBTU dapat mengurangi penerimaan negara dari sektor hulu migas. Saat ini, kebutuhan konsumsi gas di tiap industri sedang dicek ulang.
”Jangan sampai butuhnya hanya sedikit, tetapi kita memberi insentif dan (membangun) jaringan gas. Pertimbangan nilai keekonomisan terhadap usulan ini menjadi salah satu hal utama yang masih dibahas di ESDM. Kita harus mempertimbangkan dari sektor hulu sampai hilirnya,” katanya.
Nilai keekonomisan itu juga berkaitan erat dengan penyediaan infrastruktur jaringan gas. Kebijakan harga gas murah tetap tidak akan efektif jika infrastrukturnya tidak memadai. ”Inilah mengapa sebenarnya kami mendorong industri baru untuk berinvestasi di kawasan industri, yang jaringan gasnya sudah lebih terjamin. Untuk industri existing, pemerintah akan terus bangun jaringan, ini menjadi domain dari Kementerian ESDM,” ujarnya.
Berdasarkan hasil olahan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bank Dunia, serta Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), daya saing berinvestasi di Indonesia masih kalah dibandingkan dengan negara lain di ASEAN sehingga menghambat industrialisasi. Komponen biaya usaha utama di Indonesia termasuk yang termahal di antara negara-negara ASEAN-5.
Salah satunya, tarif gas bagi industri di Indonesia yang senilai 6 dollar AS per MMBTU, termahal kedua di ASEAN setelah Malaysia yang seharga 7,79 dollar AS per MMBTU. Tarif tersebut pun belum berlaku untuk seluruh sektor industri, melainkan baru tujuh sektor yang paling banyak mengonsumsi gas untuk keperluan produksinya.
Dicari investor
Koordinator Wilayah Himpunan Kawasan Industri Jawa Timur Tony Herwanto mengatakan, tarif gas industri yang kompetitif menjadi salah satu faktor utama yang menentukan pelaku usaha berinvestasi di kawasan industri. Ada pula kendala ketersediaan infrastruktur, seperti pembangunan jalan tol yang kurang terkoneksi dengan kawasan industri sehingga mengganggu kelancaran akses logistik.
”Ini problem lama yang sampai saat ini kami rasakan. Padahal, (faktor) ini sangat diperhatikan calon tenant, khususnya investor asing, karena mereka melihat perbandingan harga gas di Indonesia dengan negara lain,” ujarnya.
Data Kemenperin, selama tahun 2020, utilisasi sejumlah sektor yang menerima insentif HGBT meningkat. Utilisasi industri pupuk, misalnya, meningkat menjadi 86,65 persen dari tahun sebelumnya sebesar 83,64 persen. Industri oleokimia juga mencatat utilisasi 53,63 persen dari sebelumnya 24,17 persen. Sementara, utilisasi sektor sarung tangan karet meningkat dari 79 persen menjadi 96 persen.
Peningkatan utilisasi industri itu turut mendorong investasi. Dari 176 perusahaan yang sudah mendapat insentif HGBT, 26 perusahaan berencana menambah investasi sebanyak 53 proyek dengan nilai total investasi sekitar Rp 191 triliun. Mereka, antara lain, industri pupuk dan petrokimia, baja, keramik, kaca, oleokimia, dan sarung tangan karet.