Transaksi Mitra Dagang Utama Indonesia Gunakan Mata Uang Lokal
Transaksi perdagangan dan investasi Indonesia dengan sejumlah mitra dagang utama tak lagi menggunakan mata uang dollar AS, melainkan menggunakan mata uang lokal masing-masing. Manfaatnya lebih banyak.
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Transaksi perdagangan ekspor-impor dan investasi Indonesia dengan empat mitra dagang utama kini tak lagi menggunakan mata uang dollar AS, melainkan menggunakan mata uang lokal masing-masing negara. Hal ini bisa meningkatkan efisiensi dunia usaha sehingga tak perlu lagi menukar mata uang mereka dalam perdagangan dan investasi.
Keempat negara mitra dagang utama Indonesia yang sudah sepakat menggunakan mata uang lokal (local currency settlement/LCS) dalam bertransaksi itu adalah China, Jepang, Malaysia, dan Thailand. China menjadi negara terbaru yang mengumumkan kerja sama penggunaan mata uang lokal dengan Indonesia, yakni pada Senin (6/9/2021). Adapun kesepakatan kerja sama LCS dengan Jepang dan Malaysia dicapai awal Agustus lalu serta Thailand pada Desember 2020.
Kesepakatan penggunaan mata uang lokal itu tidak lepas dari perundingan Bank Indonesia (BI) dengan bank sentral setiap negara, yaitu People’s Bank of China, Bank Negara Malaysia, dan Bank of Thailand. Khusus Jepang, kesepakatan dilakukan oleh Kementerian Keuangan Jepang (JMOF).
Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono menjelaskan, kerja sama ini merupakan upaya berkelanjutan BI mendorong penggunaan mata uang lokal yang lebih luas dalam transaksi perdagangan dan investasi dengan negara mitra. Dengan demikian, transaksi perdagangan dan investasi yang melibatkan kedua negara akan menggunakan mata uang lokal setiap pihak dan tidak lagi menggunakan dollar AS.
Kerja sama ini merupakan upaya berkelanjutan BI mendorong penggunaan mata uang lokal yang lebih luas dalam transaksi perdagangan dan investasi dengan negara mitra.
”Perluasan penggunaan LCS diharapkan dapat mendukung stabilitas rupiah melalui dampaknya terhadap pengurangan ketergantungan pada mata uang tertentu di pasar valuta asing domestik,” ujar Erwin, Senin.
Dihubungi terpisah, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan, kerja sama LCS itu memberikan manfaat langsung kepada pelaku usaha. Pertama, biaya konversi transaksi dalam valuta asing menjadi lebih efisien. Kedua, tersedianya alternatif pembiayaan perdagangan dan investasi langsung dalam mata uang lokal.
Yang ketiga, lanjut Hariyadi, tersedianya alternatif instrumen lindung nilai dalam mata uang lokal. Keempat, diversifikasi eksposur mata uang yang digunakan dalam penyelesaian transaksi luar negeri.
”Selama ini kan dunia usaha kita bertransaksi menggunakan dollar AS, saat konversi itu ada potensi rugi kurs. Kalau sekarang hal itu tidak perlu terjadi. Pedagang dari Indonesia bisa menggunakan rupiah, sedangkan pedagang dari China bisa menggunakan yuan,” ujar Hariyadi.
Ia menambahkan, kebijakan LCS itu merupakan langkah strategis yang patut diapresiasi. Hal ini sejalan dengan usulan Apindo sejak 2017. Ini karena negara-negara tersebut adalah mitra dagang utama Indonesia, khususnya China.
Hal tersebut tecermin dari tingginya nilai ekspor-impor Indonesia dengan China. Mengutip data BI, nilai ekspor Indonesia ke China pada 2013-2020 mencapai 22,63 miliar dollar AS. Ekspor ke China merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan negara lainnya, seperti Jepang di peringkat kedua dengan nilai 18,07 miliar dollar AS, Malaysia di peringkat keenam dengan nilai 8,53 miliar dollar AS, dan Thailand di peringkat kedelapan dengan nilai 5,86 miliar dollar AS.
China juga merupakan negara asal impor ke Indonesia terbesar pada kurun waktu 2013-2020. Di periode tersebut, impor dari China mencapai 34,98 miliar dollar AS. Adapun nilai impor dari Jepang di peringkat ketiga dengan nilai 15,38 miliar dollar AS, Malaysia di peringkat keempat dengan nilai 9,08 miliar dollar AS, dan Thailand di peringkat kelima dengan nilai 9,02 miliar dollar AS.
”Dengan menggunakan mata uang lokal dari setiap negara, diharapkan dapat menggairahkan kerja sama perdagangan dan investasi kedua negara yang diharapkan mendorong pertumbuhan ekonomi,” ujar Hariyadi.
Mengutip data BI, nilai ekspor Indonesia ke China pada 2013-2020 mencapai 22,63 miliar dollar AS. Ekspor ke China merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan negara lainnya.
Ekonom pada Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Teuku Riefky, menjelaskan, kebijakan LCS berdampak positif pada berkurangnya volatilitas dan lebih terciptanya kestabilan nilai tukar mata uang rupiah. Adapun mata uang dollar AS sangat fluktuatif karena mudah terpengaruh berbagai sentimen.
”Ini masih menjadi salah satu sumber volatilitas nilai tukar kita. Penggunaan mata uang lokal akan mengurangi ketergantungan akan mata uang dollar AS sehingga baik bagi kestabilan rupiah,” kata Riefky.
Selain stabilitas nilai tukar, pelaku usaha juga diuntungkan dengan kestabilan dan kepastian usaha sehingga tercipta efisiensi yang pada ujungnya mendorong gairah ekspor-impor kedua negara. Ia menjelaskan, sebelumnya perdagangan ekspor impor Indonesia dan China menggunakan dollar AS. Padahal, baik Indonesia dan China mata uang lokalnya sama-sama bukan dollar AS.
”Tapi, sentimen dollar AS itu banyak faktornya, seperti isu tappering. Perdagangan dan investasi internasional Indonesia pun jadi terdampak. Kalau sekarang bisa lebih stabil karena menggunakan mata uang lokal,” ujar Riefky.