Dampak Normalisasi Moneter AS terhadap Nilai Tukar Diyakini Minim
Para pemangku kepentingan ekonomi meyakini dampak ”tapering off” yang berpotensi dilakukan Bank Sentral AS dalam waktu dekat tidak akan terlalu berdampak pada perekonomian dalam negeri.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana pengurangan jumlah stimulus moneter oleh Bank Sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve, menjadi perhatian pemerintah. Namun, pemangku kebijakan meyakini dampak dari pengurangan stimulus moneter bank sentral AS tidak akan terlalu mengguncang perekonomian dalam negeri.
Deputi Bidang Ekonomi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Amalia Adininggar Widyasanti menilai, ketahanan ekonomi makro Indonesia saat ini akan lebih kuat dalam menghadapi potensi pengurangan stimulus moneter AS (tappering off), ketimbang situasi di akhir 2013.
”Walau di tengah pandemi, kondisi ekonomi makro Indonesia sudah mengarah pada pemulihan. Nilai tukar melemah hanya 2,62 persen. Sementara di 2013 sebelum tapering off, nilai tukar melemah sampai 24 persen,” jelas Amalia, akhir pekan lalu.
Walau di tengah pandemi, kondisi ekonomi makro Indonesia sudah mengarah pada pemulihan. Nilai tukar melemah hanya 2,62 persen. Sementara di 2013 sebelum tapering off, nilai tukar melemah sampai 24 persen. (Amalia Adininggar Widyasanti)
Di sisi cadangan devisa pun, lanjut Amalia, kondisi ekonomi Indonesia masih relatif lebih kuat untuk menghadapi tapering dibandingkan dengan 2013. Pasalnya, cadangan devisa pada tapering tahun 2013 hanya sebesar 99,4 miliar dollar AS, sedangkan kini cadangan devisa Juli 2021 sebesar 137,3 miliar dollar AS.
”Jumlah devisa ini setara dengan sekitar delapan bulan impor. Ini relatif aman karena standar itu setara tiga bulan impor. Indikator perekonomian ini membuat Indonesia lebih percaya diri dalam menghadapi normalisasi kebijakan moneter AS,” kata Amalia.
Di samping itu, tingkat suku bunga yang rendah, kata Amalia, juga memberikan ruang yang cukup bagi Indonesia untuk menahan risiko tapering seperti aliran modal keluar asing atau capital outflow. Saat ini, suku bunga kebijakan BI berada di level 3,5 persen.
”Sehingga kalau seandainya ada upaya untuk menahan capital outflow, kita masih ada punya ruang untuk menaikkan suku bunga tanpa menyebabkan dampak lain dari kemungkinan terhambatnya sektor riil,” katanya.
Menurut Amalia, saat ini terdapat kondisi yang lebih menguntungkan bagi ekonomi makro Indonesia dalam menghadapi potensi tapering off ketimbang tahun-tahun sebelumnya, yakni sikap The Fed yang akan lebih transparan terhadap kebijakan moneter. Hal ini membuat negara-negara di dunia dan para pelaku pasar dapat bersiap untuk melakukan antisipasi.
Sepakat dengan Bappenas, Kepala ekonom PT Bank Central Asia Tbk David Sumual menilai, saat ini Indonesia masih memiliki kuda-kuda yang kokoh untuk memitigasi dampak quantitative easing yang kemungkinan akan dilakukan The Fed seiring dengan pemulihan ekonomi di negaranya.
”Indonesia masih memiliki fundamental dan alat yang lebih baik dibandingkan dengan tahun 2013,” ujarnya.
Dampak tapering off yang berpotensi menimbulkan gejolak pada aliran modal asing bisa diminimalkan seiring dengan kepemilikan asing di obligasi pemerintah yang menurun tajam sejak tahun. Ini terjadi setelah makin banyaknya investor dalam negeri, terutama investor ritel yang masuk.
Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS dinilai masih akan bergerak sesuai dengan fundamentalnya di kisaran Rp 14.200-Rp 14.500 per dollar AS hingga akhir tahun 2021. ”BI masih memiliki cadangan devisa yang tambun untuk menjadi bantalan pelemahan nilai tukar rupiah,” ujarnya.
Sebelumnya, dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR, akhir bulan lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pemerintah tengah memantau dampak pengurangan stimulus moneter yang berpotensi dilakukan bank sentral AS terhadap pergerakan nilai tukar rupiah.
Ia mencatat rupiah terdepresiasi 2,3 persen sejak awal Januari 2021 hingga akhir Agustus 2021. Meski terkoreksi, angkanya diklaim belum terlalu dalam dibandingkan dengan negara lain. ”Negara emerging market lain koreksinya lebih dalam. Indonesia relatif masih baik,” ujarnya.