Ancaman dari Negeri ”Paman Sam”
Risiko efek rambatan bakal lebih tinggi bila ternyata fenomena taper tantrum yang sangat ditakutkan pasar global kembali terjadi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani berkali-kali menyampaikan kekhawatirannya soal efek rambatan pulihnya ekonomi Amerika Serikat terhadap perekonomian Indonesia.
Karena diucapkan oleh orang yang telah mengelola perekonomian Indonesia selama belasan tahun dan juga pernah malang melintang mengurus perekonomian global, kekhawatiran tersebut jelas tidak main-main. Ini berarti efek rambatan pulihnya ekonomi negeri ”Paman Sam” merupakan ancaman yang nyata bagi perekonomian Indonesia.
Sebenarnya seperti apa efek rambatan itu? Bukankah membaiknya perekonomian AS menguntungkan Indonesia? Dari sisi perdagangan memang menguntungkan. Tingkat permintaan rumah tangga yang naik di AS tentu akan mendorong impor dari negara-negara lain termasuk Indonesia. Terbukti, dalam beberapa bulan terakhir, ekspor Indonesia ke AS meningkat.
Nah, yang dikhawatirkan adalah efek rambatan di sisi moneter dan fiskal, yang dampaknya cukup signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Maklum, Indonesia merupakan negara yang masih sangat rentan terpengaruh kebijakan moneter AS. Di sisi fiskal, Indonesia juga sangat mengandalkan dana asing untuk membiayai pertumbuhan dan memperkuat nilai tukar sehingga selalu dihantui oleh risiko capital outflow bila terjadi gejolak ekonomi global.
Usai terpuruk dihantam pandemi Covid-19, ekonomi AS pulih lebih cepat dari yang diperkirakan semula. Hal itu ditandai dengan pertumbuhan ekonomi triwulan I-2021 yang mencapai 6,4 persen secara tahunan (year on year/yoy). Seiring itu, sejumlah lembaga merevisi naik proyeksi pertumbuhan ekonomi AS pada 2021. OECD, misalnya, merevisi menjadi 6,9 persen.
Sejalan dengan naiknya permintaan dan tumbuhnya perekonomian, inflasi tahunan AS juga naik menjadi 1,9 persen per akhir Maret 2021. Bahkan, Bank Sentral AS atau Federal Reserve (The Fed) menaikkan proyeksi inflasi tahun ini menjadi 3,4 persen dari sebelumnya 2,4 persen.
Merespons pertumbuhan ekonomi AS yang relatif cepat tersebut, Rapat Komite Pasar Terbuka The Fed (FOMC) pada 16 Juni kemarin memproyeksikan kenaikan suku bunga sebanyak dua kali pada 2023 dari level saat ini sebesar 0,25 persen. Padahal, sebelumnya, kenaikan suku bunga baru akan terjadi pada 2024.
Bahkan, sebagian anggota komite The Fed memperkirakan kenaikan suku bunga bisa saja terjadi pada 2022 jika inflasi AS makin membubung. Kenaikan suku bunga diperlukan untuk mencegah terjadinya overheating atau memanasnya perekonomian AS. Kenaikan suku bunga berfungsi untuk menjaga stabilitas dan kesinambungan pertumbuhan ekonomi.
Bila ini terjadi, mulai 2022 AS bakal memasuki kebijakan moneter ketat. Ini berarti kebijakan-kebijakan yang tak sejalan dengan rezim moneter ketat kemungkinan akan dihentikan mulai tahun depan, termasuk kebijakan quantitative easing (gelontoran likuiditas dalam jumlah besar ke pasar) yang selama ini dijalankan The Fed.
Untuk memulihkan perekonomiannya yang terpuruk akibat pandemi, dari sisi moneter, The Fed menggelontorkan likuiditas sebesar 120 miliar dollar AS atau sekitar Rp 1.700 triliun per bulan dengan cara membeli obligasi, baik yang diterbitkan pemerintah AS maupun korporasi. Ditambah penurunan suku bunga acuan hingga nol persen, strategi ini terbukti berhasil merangsang perekonomian AS untuk menggeliat dan pulih kembali.
Bila ekonomi dinilai telah pulih, tentu kebijakan quantitative easing harus dihentikan secara bertahap (tapering off). Jika tidak, justru akan menjadi bumerang bagi perekonomian berupa lonjakan inflasi yang tak terbendung.
Nah, tapering off dan kenaikan suku bunga inilah yang berpotensi menimbulkan efek rambatan bagi perekonomian Indonesia. Tapering off akan menurunkan permintaan terhadap obligasi AS sehingga harganya akan jatuh. Dampaknya, imbal hasil (yield) obligasi AS akan meningkat.
Adapun kenaikan suku bunga acuan akan diikuti oleh naiknya pula bunga berbagai instrumen investasi di AS. Kondisi ini tentu akan membuat portofolio investasi di AS menjadi relatif lebih menarik dibandingkan pasar keuangan di negara-negara lain, terutama negara berkembang.
Baca juga kolom penulis:
- Utang dan Sisa Anggaran
- Investasi Tak Berbatas
- Pemulihan yang Berkesinambungan
- Kredit Seret, Dana Berlimpah
- Fondasi yang Tak Kokoh
- Resesi dan Pandemi
- Berbagi Beban
Pada gilirannya, dana asing jangka pendek (hot money) yang ditanam di negara-negara berkembang termasuk Indonesia akan lari (capital outflow) ke AS. Ini akan memicu sejumlah persoalan di Indonesia, antara lain, kejatuhan kurs rupiah dan anjloknya harga surat utang yang diterbtikan pemerintah (surat berharga negara/SBN).
Dampak lanjutannya, pemerintah harus menaikkan bunga SBN untuk menarik kembali investor asing yang lari. Sementara BI juga harus menaikkan suku bunga acuannya untuk meredam kejatuhan nilai tukar yang lebih dalam. Namun, langkah-langkah ini tentu akan kontraproduktif bagi upaya pemulihan ekonomi Indonesia.
Kenaikan yield SBN tentu akan menjadi beban tambahan bagi pengelolaan fiskal karena beban bunga utang akan meningkat sehingga berpotensi menggerus belanja pemerintah. Padahal, belanja pemerintah masih menjadi andalan untuk memulihkan ekonomi. Kenaikan suku bunga di tengah proses pemulihan juga sangat berisiko karena bisa membuat sektor riil kembali kehilangan gairah untuk bangkit.
Risiko efek rambatan bakal lebih tinggi bila ternyata fenomena taper tantrum yang sangat ditakutkan pasar global kembali terjadi. Taper tantrum merupakan reaksi pasar yang berlebihan dalam menyikapi wacana tapering off oleh The Fed.
Kenaikan yield SBN tentu akan menjadi beban tambahan bagi pengelolaan fiskal karena beban bunga utang akan meningkat sehingga berpotensi menggerus belanja pemerintah
Fenomena ini pernah terjadi pada 2013 saat terjadi aksi jual besar-besaran obligasi AS atas rencana The Fed melakukan tapering off. Padahal, saat itu The Fed belum benar-benar memastikan kapan tapering off akan dilakukan. Taper Tantrum yang terjadi pada 2013 langsung menyebabkan larinya dana asing secara tiba-tiba dalam jumlah besar (sudden reversal) dari Indonesia, yang memicu kejatuhan nilai tukar yang dalam.
Seperti halnya 2013, The Fed saat ini juga belum memastikan kapan tapering off akan dilakukan, bahkan mereka juga belum mendiskusikan secara detil. Kenaikan suku bunga acuan pada 2022 juga masih sebuah kemungkinan. Namun, dalam kondisi yang masih diliputi ketidakpastian, segala sesuatu bisa terjadi lebih cepat dari yang diperkirakan. Namun, semoga saja tidak.