Pemerintah tengah merevisi aturan penggunaan PLTS atap yang kelebihan tenaga listriknya bisa dijual ke PLN. Revisi ini diharapkan menggairahkan pemakaian panel surya, termasuk dampak ganda bagi perekonomian nasional.
Oleh
aris prasetyo
·3 menit baca
Sampai tahun 2020, data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menunjukkan, kapasitas pembangkit listrik yang bersumber dari energi terbarukan di Indonesia sebesar 10.467 megawatt. Ini jauh di bawah potensi yang ada sekitar 400.000 MW. Dengan demikian, pemanfaatan energi terbarukan baru sebesar 2 persen dari total potensi yang ada.
Ragam potensi energi terbarukan tersebut terdiri dari tenaga surya 207.800 MW, hidro 75.000 MW, bayu 60.600 MW, dan panas bumi 23.900 MW. Potensi itu belum memasukkan potensi dari gelombang dan arus laut serta bahan bakar nabati.
Khusus tenaga surya, kajian Institute for Essential Services Reform (IESR) bersama Global Environment Institute, China, menunjukkan bahwa potensi tenaga surya di Indonesia sedikitnya 3.400 gigawatt (GW) atau 3.400.000 MW (Kompas, 19/3/2021). Sebagai perbandingan, kapasitas terpasang listrik saat ini sekitar 71.000 MW.
Kenapa energi terbarukan di Indonesia kurang berkembang? Banyak masalah dan penyebabnya. Beberapa di antaranya sifat energi terbarukan yang intermiten. Sebagai contoh, durasi tenaga surya untuk menghasilkan listrik optimal hanya 4 jam dalam sehari. Sementara tiupan angin tak setiap hari kencang. Pada bulan atau musim tertentu, tiupannya melemah. Begitu juga debit air sungai yang menyusut tatkala kemarau.
Khusus tenaga surya, kajian Institute for Essential Services Reform (IESR) bersama Global Environment Institute, China, menunjukkan bahwa potensi tenaga surya di Indonesia sedikitnya 3.400 gigawatt (GW) atau 3.400.000 MW.
Soal tenaga surya, baru-baru ini terjadi polemik tentang pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap. Ini mengemuka di tengah upaya pemerintah merevisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Polemik menyangkut penjualan tenaga listrik ke PLN. Pelanggan PLTS atap memang bisa menjual kelebihan tenaga listrik ke PLN.
Dalam aturan tersebut, kelebihan tenaga listrik milik pelanggan PLTS atap yang dijual ke PLN dalam satuan kilowatt jam (kWh) dikali 0,65. Sebagai ilustrasi, apabila kelebihan tenaga listrik pelanggan dalam sebulan ada 100 kWh, yang dihitung hanya 0,65 x 100 kWh atau 65 kWh saja.
Perhitungan 0,65 persen itulah yang menjadi polemik. Di satu sisi perkalian itu dianggap tidak adil dan mengurangi minat konsumen memasang PLTS atap, yang sebenarnya juga bertujuan mengurangi emisi karbon sekaligus mengoptimalkan pemakaian energi bersih. Di pihak lain, perhitungan 0,65 persen dinilai adil karena ada biaya investasi dan produksi yang dikeluarkan PLN, seperti biaya jaringan dan pendistribusian. Sisa 0,35 persen itu dianggap sebagai kompensasi terhadap PLN.
Nah, dalam revisi Peraturan Menteri ESDM No 49/2018, ketentuan 0,65 akan dihapus dan digantikan dengan 100 persen atau 1. Dengan demikian, berapa pun kelebihan tenaga listrik pelanggan PLTS atap yang dijual ke PLN, seluruhnya akan dihargai sesuai dengan tarif berlaku. Hal itu tercantum dalam lembar fakta revisi Peraturan Menteri ESDM No 49/2018 yang diedarkan Kementerian ESDM.
Ketentuan ekspor (penjualan) tenaga listrik dari pelanggan PLTS atap dengan skema 0,65 dianggap tak menarik. Selain itu, ada peluang investasi Rp 45 triliun sampai Rp 63 triliun untuk pembangunan PLTS.
Dalam lembar fakta tersebut disampaikan bahwa revisi diperlukan lantaran penambahan kapasitas PLTS atap kurang memuaskan. Ketentuan ekspor (penjualan) tenaga listrik dari pelanggan PLTS atap dengan skema 0,65 dianggap tidak menarik. Selain itu, ada peluang investasi Rp 45 triliun sampai Rp 63 triliun untuk pembangunan PLTS. Tak kalah menarik ialah potensi serapan tenaga kerja sebanyak 121.500 orang.
Tingginya minat konsumen memasang PLTS atap seharusnya disambut. Minat itu sebaiknya dapat dipenuhi lewat penumbuhan industri PLTS. Namun, ada ”persoalan”, yakni tingkat komponen dalam negeri (TKDN) untuk PLTS masih di bawah 50 persen dan selebihnya didominasi komponen impor. Pemanfaatan komponen domestik sebaiknya dioptimalkan dengan mendorong industri panel surya di dalam negeri.