PLTS atap diandalkan untuk mencapai target bauran energi baru dan terbarukan sebesar 23 persen pada 2025. Selain pemasangan lebih cepat, teknologi panel surya juga kian efisien dan makin murah.
Oleh
ARIS PRASETYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kontribusi sektor swasta dinantikan untuk mencapai target bauran energi baru dan terbarukan sebesar 23 persen pada 2025. Optimalisasi pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS atap adalah yang paling diandalkan pemerintah untuk mencapai target tersebut. Dari potensi 207.800 megawatt tenaga surya, pemanfaatannya kini baru mencapai 153,8 megawatt peak.
Menurut Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Chrisnawan Anditya, bauran energi baru dan terbarukan saat ini baru 11,2 persen dari seluruh bauran energi nasional. Untuk mencapai target 23 persen pada 2025, maka hanya ada waktu lima tahun lagi untuk menggandakan capaian yang ada saat ini. Satu-satunya pemanfaatan sumber energi terbarukan yang bisa diandalkan dengan cepat adalah tenaga surya.
”Optimalisasi PLTS atap secara masif menjadi salah satu strategi pemerintah untuk meningkatkan bauran energi baru dan terbarukan. Data per Maret 2021, total pelanggan PLN yang memasang PLTS atap mencapai 3.472 pelanggan dengan kapasitas terpasang mencapai 26,51 megawatt peak (MWp),” kata Chrisnawan dalam telekonferensi pers, Rabu (28/4/2021).
Dari kapasitas terpasang PLTS atap sejauh ini, sektor industri dan bisnis adalah penyumbang terbesar yang masing-masing berkontribusi 8,3 MWp dan 4,3 MWp.
Chrisnawan menambahkan, sektor swasta punya kontribusi penting dalam mengoptimalkan potensi PLTS di Indonesia. Dari kapasitas terpasang PLTS atap sejauh ini, sektor industri dan bisnis adalah penyumbang terbesar yang masing-masing berkontribusi 8,3 MWp dan 4,3 MWp. Ia mengimbau agar kedua sektor tersebut turut mengembangkan PLTS atap secara masif.
”Harga listrik dari PLTS kian murah dan teknologinya semakin efisien. Lima tahun lalu, harga listrik dari PLTS mencapai 10 sen dollar AS per kWh dan saat ini jatuh menjadi kurang dari 6 sen dollar AS per kWh. Bahkan, ada penawaran yang masuk ke pemerintah untuk membangun PLTS dengan harga di bawah 4 sen dollar AS per kWh,” ujar Chrisnawan.
Pemerintah menargetkan kapasitas terpasang PLTS atap bisa bertambah 2.200 MW sampai 2030. Target itu bagian dari rencana penambahan kapasitas terpasang listrik baru dari sumber energi baru dan terbarukan sebanyak 38.000 MW hingga 2035. Pembangunan PLTS di masa mendatang pun ditargetkan dalam skala besar yang bukan lagi puluhan megawatt, melainkan ratusan megawatt hingga mencapai orde gigawatt.
Direktur Teknologi PT Xurya Daya Indonesia Edwin Widjonarko menambahkan, posisi Indonesia yang dilalui garis khatulistiwa memberikan keunggulan sendiri dalam hal optimalisasi tenaga surya. Sinar matahari di hampir semua wilayah Indonesia bersifat konstan. Oleh karena itu, pemanfaatan tenaga surya sebagai sumber pasokan listrik swadaya sangat potensial.
Pembangunan PLTS di masa mendatang pun ditargetkan dalam skala besar yang bukan lagi puluhan megawatt, melainkan ratusan megawatt hingga mencapai orde gigawatt.
”Investasi PLTS atap semakin murah dan secara hukum sudah legal. Selain itu, PLTS atap juga berkontribusi bagi penurunan emisi gas rumah kaca dan mendukung target bauran energi pemerintah,” kata Edwin.
Menurut Edwin, pengembangan PLTS atap secara masif sangat potensial dipasang pada atap-atap pabrik, pusat perbelanjaan, gudang, atau gedung-gedung besar. PLTS atap tidak memerlukan pembebasan lahan sehingga pemasangannya bisa dilakukan dalam waktu relatif cepat. Area seluas 1 hektar bisa dipasang PLTS hingga berkapasitas 1 MWp.
Salah satu sektor swasta yang turut mengembangkan PLTS atap adalah MGM Bosco Logistisc, perusahaan swasta yang bergerak di sektor pergudangan dengan pendingin udara dan truk pendingin. Pada 2019, perusahaan tersebut memasang PLTS atap di salah satu gudang mereka di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, dengan kapasitas 241,2 kilowatt peak (kWp). Lantaran terbukti efisien dan mampu menghemat pembayaran rekening listrik, perusahaan lantas memasang lagi di area pergudangan yang ada di Makassar, Sulawesi Selatan, dan Bekasi di Jawa Barat sehingga kapasitas total menjadi 858,66 kWp.
Sebelumnya, Institute for Essential Services Reform (IESR) bersama Global Environment Institute, China, menerbitkan kajian yang menunjukkan potensi tenaga surya di Indonesia mencapai hampir 20.000 gigawatt (GW). Angka tersebut jauh melampaui data potensi dari pemerintah yang sebesar 207,8 GW.
Perhitungan potensi tersebut berbasis sistem informasi geografi (GIS) yang dilakukan dalam empat skenario. Skenario pertama adalah pengecualian dasar dengan tidak memasukkan kawasan konservasi, hutan, badan air, lahan basah, bandara dan pelabuhan, serta lahan dengan kemiringan di atas 10 persen. Pada skenario ini, potensi tenaga surya di Indonesia yang diperoleh mencapai 19.835 gigawatt (GW).
Skenario kedua adalah skenario pertama dikurangi lahan pertanian kering dan hutan tanaman yang menghasilkan potensi 7.700 GW. Adapun skenario ketiga adalah skenario kedua dikurangi wilayah transmigrasi dan permukiman sehingga menjadi 6.310 GW. Skenario keempat adalah skenario kedua yang dikurangi dengan area semak belukar dan menghasilkan potensi 3.397 GW.
”Dengan temuan tersebut, maka potensi tenaga surya Indonesia sebesar 16 kali sampai 95 kali dari potensi yang diumumkan pemerintah yang sebesar 207 gigawatt. Temuan ini bisa menjadi acuan dalam pemenuhan pasokan listrik dengan mempertimbangkan kebutuhan listrik setempat,” kata peneliti IESR spesialis fotovoltaik dan teknologi material, Daniel Kurniawan.