Harga Instalasi Panel Surya Kini Lebih Murah
Investasi awal pemasangan panel surya kini semakin murah. Biaya yang tinggal sepertiga dibandingkan 7 tahun silam diharapkan bisa mendorong keluarga menggunakan energi terbarukan ini.
JAKARTA, KOMPAS — Dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu, harga pemasangan panel surya untuk rumah tangga kini jauh lebih murah. Pengguna diklaim dapat mengembalikan modal investasi pemasangan tersebut dalam waktu 7 tahun.
Ketua Perkumpulan Pengguna Listrik Surya Atap (PPLSA) Bambang Sumaryo mengatakan, biaya pemasangan panel surya saat ini jauh lebih murah dibandingkan 7 tahun lalu. Saat itu, dia harus mengeluarkan biaya hingga Rp 70 juta untuk memasang panel surya berkapasitas 6 kilowatt-peak (KWp).
”Itu hanya panel suryanya, belum dengan komponen yang lain. Kalau harga sekarang hampir sepertiga dibanding dulu,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Senin (15/3/2021).
Seingat Bambang, harga panel surya 7 tahun lalu mencapai Rp 11.000-Rp 12.000 per Wp (watt-peak). Menurut dia, banyak penyedia jasa saat ini yang menjual panel surya dengan harga di bawah Rp 5.000 per Wp di toko daring.
Bambang kini telah menaikkan kapasitas pembangkit listrik tenaga surya (PLTS)-nya dari 6 KWp menjadi 12 KWp untuk mencapai konsumsi listrik rata-rata per kapita, yakni 3.000 kWh per tahun. ”Setelah saya pelajari 5-6 tahun terakhir, untuk mencapai rata-rata per kapita itu, per orang perlu 3 KWp. Karena di rumah saya ada empat orang, saya kalikan empat,” ujarnya.
Bambang awalnya menggunakan PLTS dengan sistem on-grid. Dengan sistem ini, kelebihan listrik yang dihasilkan PLTS akan diekspor kepada PLN. Kini, dia beralih menggunakan sistem off-grid, yakni kelebihan listrik dapat disimpan pada baterai.
Listrik yang disimpan pada baterai dapat digunakan untuk keperluan malam hari. Jadi, jika cuaca cerah pada siang hari, Bambang mengaku bisa menggunakan listrik seutuhnya dari PLTS. Saat itu, listrik yang dihasilkan PLTS bisa mencapai 40 kWh sehari. Adapun pemakaian listrik selama 24 jam berkisar antara 30-34 kWh untuk empat penghuni.
”Jika cuaca hujan, kami menggunakan listrik dari PLN. Kalau listrik yang kami hasilkan 20 kWh, misalnya, 10 kWh-nya kami ambil dari PLN,” katanya.
Dengan skema tersebut, Bambang rata-rata masih memanfaatkan listrik dari PLN sebanyak 200 kWh per bulan. Dari penggunaan tersebut, tagihan PLN yang harus dia bayar sekitar Rp 260.000 per bulan.
Pengeluaran tersebut jauh lebih kecil dibandingkan sebelum memakai PLTS atau saat memakai PLTS dengan sistem on-grid. Awalnya tagihan listriknya mencapai Rp 1,5 juta per bulan. Setelah beralih menggunakan PLTS on-grid 6 KWp, tagihannya berkurang menjadi Rp 800.000 per bulan.
Baca Juga: Nuklir Dinilai Mustahil, Tenaga Surya Diandalkan
Menurut Bambang, dibandingkan 6-7 tahun lalu, pengguna listrik panel surya di rumah tangga kini sudah meningkat. Hanya saja, jumlahnya masih jauh dari yang diharapkan.
Saat ini, kapasitas PLTS di Indonesia kurang dari 200 megawatt-peak (MWp). Dari jumlah tersebut, dia memperkirakan, hanya sekitar 20 MWp listrik yang berasal dari PLTS rumah tangga.
”Bandingkan dengan negara tetangga, seperti Australia, penggunaan PLTS di sini masih sedikit. Di sana, satu dari tiga rumah sudah memasang PLTS,” katanya.
Investasi kembali 7 tahun
Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Andhika Prastawa mengatakan, pengguna PLTS atap saat ini cenderung didominasi kalangan berpenghasilan menengah atas. Perlu sebuah dorongan agar tren ini berlanjut ke kalangan berpenghasilan menengah bawah.
Hal ini bisa ditempuh dengan menyediakan PLTS dengan harga yang terjangkau atau melalui pembayaran kredit. ”Sejauh ini, belum ada kredit kepemilikan PLTS atap untuk rumah tangga yang secara masif,” katanya.
Di samping itu, prosedur pemasangan PLTS untuk rumah tangga juga cenderung belum jamak diketahui publik dan penyedia jasa pemasangan. Padahal, idealnya, masyarakat bisa mendapatkan informasi prosedur tersebut melalui penyedia jasa pemasangan PLTS.
”Kalau banyak kontraktor atau penyedia jasa yang sudah memahaminya, mungkin dapat mendorong percepatan ini,” ujarnya.
Andhika mengungkapkan, biaya pemasangan PLTS atap berkisar Rp 15 juta-Rp 20 juta per 1 KWp. Menurut dia, dengan perhitungan tarif dasar listrik (TDL) saat ini, pelanggan dapat mendapatkan break even point (BEP) atau pengembalian modal investasi tersebut dalam 7 tahun.
Dengan memasang PLTS di rumah, pengguna dapat mengurangi belanja listrik kepada PLN. Penghematan ini yang diasumsikan dapat mengembalikan modal pemasangan PLTS dengan catatan semua listrik yang dihasilkan oleh fotovoltaik (alat pengkonversi energi cahaya) dipakai secara mandiri, tanpa ada yang diekspor ke PLN.
”Di tahun ke-8, modal pemasangan PLTS sudah terganti seutuhnya. Kita tinggal menikmati keuntungan PLTS hingga usia fotovoltaik yang mencapai 20 tahun,” katanya.
Perhitungan ini juga merujuk pada kondisi di kota besar seperti DKI Jakarta. Polusi udara di perkotaan dapat memengaruhi tingkat konversi sinar matahari dari fotovoltaik. Hal ini dapat menurunkan sekitar 30 persen dari kapasitas maksimal energi yang bisa dihasilkan.
Simulasinya, jika 1 kWp dapat menghasilkan 4 kWh dalam sehari, dalam sebulan energi yang dihasilkan mencapai sekitar 120 kWh. Jika dikalikan dengan tarif listrik nonsubsidi Rp 1.444 per kWh, total pengeluaran yang bisa dihemat mencapai Rp 173.000 per bulan atau lebih dari Rp 2 juta per tahun. Selama 7 tahun, penghematan biaya listrik mencapai Rp 14,5 juta.
Baca Juga: Insentif untuk Merangsang Pertumbuhan PLTS Atap
Sementara itu, Arman Hazairin, warga Jakarta Selatan, telah menggunakan PLTS 15 KWp dengan sistem on-grid sejak tahun 2017. Berdasarkan perhitungannya, modal investasinya akan kembali dalam waktu 6-7 tahun sejak pemasangan atau sekitar 2-3 tahun dari sekarang.
”Itu saja tahun 2017, ya, saya pasang. Mestinya sekarang bisa lebih cepat karena kan lebih murah harganya,” katanya.
Sebelum menggunakan PLTS, biaya tagihan listrik Arman mencapai sekitar Rp 4 juta per bulan. Setelah menggunakan PLTS tagihannya turun sekitar Rp 2,5 juta menjadì sekitar Rp 1,5 juta per bulan. Dalam setahun, dia bisa berhemat sekitar Rp 30 juta per tahun atau Rp 210 juta selama 7 tahun.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana mengatakan, pemerintah menargetkan sampai tahun 2035 ada penambahan PLTS dengan kapasitas 13.565 MW dengan harga di bawah 4 sen dollar AS per kWh. Selain itu, pengembangan PLTS atap secara masif tak hanya di sektor rumah tangga, tetapi juga di sektor bisnis dan industri. Target kapasitas terpasang untuk PLTS atap adalah 2.904 MW. (Kompas, 16 November 2020)
”Begitu pula konversi pembangkit listrik tenaga diesel untuk digantikan dengan PLTS plus baterai sebagai penyimpan daya listrik sehingga tidak ada lagi intermiten,” kata Dadan.