Banyak hal fundamental harus disiapkan oleh pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sebelum memutuskan ”go digital” baik dari sisi produksi maupun distribusi. Digitalisasi bukan semata menjual secara daring.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
Setahun terakhir, narasi digitalisasi terhadap pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) semakin menggema. Bahkan, dalam pidato kenegaraan peringatan Hari Ulang Tahun Ke-76 RI, Presiden Joko Widodo menyebut pemerintah mendorong pengembangan ekosistem ekonomi digital, salah satunya berupa digitalisasi UMKM.
Kementerian/lembaga juga menetapkan target agar ada 30 juta UMKM bisa go digital atau masuk ke pasar digital pada 2023. Selain naik kelas, ada kesan lain bahwa digitalisasi UMKM menjadi satu-satunya cara agar mereka bisa bertahan di tengah pembatasan sosial karena pandemi Covid-19.
Sejumlah survei yang dirilis mendukung narasi itu. Laporan penelitian Digitalisasi UMKM - Kunci Pertumbuhan Inklusif Perekonomian Indonesia (2021) yang dikerjakan kolaboratif antara Blibli.com, harian Kompas, dan Boston Consulting Group, misalnya, menyebutkan, UMKM yang go digital mampu meraih pendapatan 1,1 kali lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak. Pencapaian ini karena ada perluasan geografis asal konsumen.
Di tengah pembatasan sosial yang terus berlangsung, pada April - Juni 2021, Google dan Kantar menyurvei 1.571 UMKM di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Indonesia bagian timur yang lima bulan sebelumnya ikut pelatihan go digital lewat program Gapura Digital ataupun Women Will yang diselenggarakan Google. Salah satu temuan menariknya, hanya 26 persen responden yang disurvei mengaku bisa bertahan alias tidak sampai gulung tikar selama pandemi Covid-19 berkat menerapkan hasil pelatihan go digital.
Digitalisasi UMKM sebenarnya memiliki makna yang luas. Bisa berarti digitalisasi proses produksi, bisa pula digitalisasi proses distribusi. Digitalisasi proses distribusi terdiri dari proses penjualan dan pencitraan. Namun, belakangan, dengan narasi kebijakan digitalisasi UMKM yang semakin digaungkan pemerintah atau organisasi perusahaan swasta, terkesan menurunkan makna dari digitalisasi. Digitalisasi terhadap UMKM terkesan semata-mata dimaknai sebagai penjualan dan pencitraan produk secara daring.
Kalaupun hanya menekankan digitalisasi dari sisi penjualan dan pencitraan produk, tantangan yang harus dihadapi UMKM kompleks, dimulai dari teknis platform digital yang dipakai. Mengunggah konten produk di media sosial baru tahap memperkenalkan ke konsumen, tetapi ini juga cenderung salah kaprah dipahami sudah bisa berjualan daring.
Tahapan penjualan baru mulai ketika UMKM menaruh barang di laman pribadi, lokapasar, atau mempromosikan melalui aplikasi pesan instan dengan akun khusus bisnis. Perusahaan teknologi yang berkecimpung di sana melimpah, mulai dari skala start up sampai perusahaan teknologi raksasa. Sebutlah Pancake, perusahaan perangkat lunak khusus menangani kebutuhan UMKM terkait manajemen hubungan pelangganan dan pesan pelanggan di media sosial atau lokapasar.
Setiap platform tersebut memiliki cara kerja fitur teknologi atau algoritma yang berbeda dengan model serta ritme waktu perubahan yang tergantung dari perusahaan pemilik platform. Pemilik platform kerap mengatakan hal itu dilakukan untuk meningkatkan pengalaman pengguna (user experience), tetapi realitanya kerap tidak mudah diterima dan diikuti oleh pengguna.
The New Yorker dalam artikel How Social-Media Redesigns Manipulate Us (19 Agustus 2021) mengisahkan aplikasi media sosial dan streaming terus mengubah aspek ”pengalaman pengguna” mereka yang mencakup desain antarmuka digital yang menurut mereka mampu mendorong intensitas pemakaian, tetapi malah memicu perasaan disorientasi digital yang tiba-tiba.
Bagi UMKM yang go digital dengan cara berjualan di lokapasar atau aplikasi pesan antar makanan mau tidak mau harus ”tunduk” pada ketentuan kemitraan. Ketentuan ini acap kali sepihak ditentukan sehingga menimbulkan hubungan UMKM-pemilik platform yang tidak setara.
Kisah Bigissimo, UMKM mode untuk ukuran besar, menawarkan pakaian gratis seumur hidup bagi atlet angkat besi asal Aceh Nurul Akmal menarik disimak. Bigissimo memakai narasi kisah perjuangan Nurul Akmal yang pernah mengalami perundungan tubuh hingga bisa mengikuti Olimpiade Tokyo. Dengan memanfaatkan momentum dan narasi itu, Bigissimo makin dekat ke konsumen. Lewat akun Instagram-nya, Bigissimo memasang informasi melayani pembelian dari luar negeri dan pengiriman gratis ke empat negara.
Pemahaman konsumen merupakan hal mendasar yang harus dipahami oleh siapa pun yang ingin terjun menjadi pebisnis. Bigissimo tidak sendiri. Hendy Setiono, yang lebih dulu dikenal publik sebagai pendiri kebab Baba Rafi, mendirikan Ngikan dengan menggandeng Rachel Venya, influencer populer di kalangan pengguna muda di Instagram.
Tentu di luar sana banyak kisah UMKM yang jatuh bangun untuk go digital. Digitalisasi proses produksi tak kalah penuh tantangan, seperti soal keterbatasan akses internet dan infrastruktur angkutan di beberapa tempat di Tanah Air.
Digitalisasi UMKM memang patut didukung karena kini memang eranya digital.
Konsumen pun beralih ke ranah digital. Hanya saja, banyak hal fundamental yang harus disiapkan, ketimbang semata-mata mendorong UMKM ke ekosistem digital lalu pekerjaan rumah untuk meningkatkan kesejahteraan mereka seolah sudah selesai.
Jangan sampai go digital malah memunculkan ketidaksetaraan baru. Di satu sisi, ada wirausaha semakin sukses, tetapi di sisi lain banyak yang tertinggal.