Pemerintah merevisi aturan terkait pemanfaatan PLTS atap. Selain nilai pengali ekspor tenaga listrik PLTS atap dinaikkan menjadi 100 persen, pelayanan pun diperbaiki.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah bersiap mengundangkan revisi aturan mengenai pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS atap. Hasil revisi dinilai menguntungkan pelanggan rumah tangga dan industri, baik dari segi nilai ekspor tenaga listrik maupun pelayanan.
Saat ini, regulasi yang berlaku ialah Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) yang sebagian pasalnya diubah melalui Permen ESDM No 16/2019. Revisi terbaru akan diundangkan pada September mendatang.
Permen ESDM No 49/2018 Pasal 6 Ayat 1 menyatakan, angka ekspor energi listrik pelanggan PLTS atap dihitung berdasarkan nilai kilowatt jam (kWh) ekspor yang tercatat pada meter kWh ekspor-impor dikali 65 persen. ”Poin revisi (permen ESDM tersebut) akan meningkatkan ketentuan ekspor listrik dari 65 persen menjadi 100 persen,” kata Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Dadan Kusdiana pada telekonferensi pers, Jumat (27/8/2021).
Kenaikan nilai ekspor menjadi 100 persen merupakan insentif bagi pelanggan PLTS atap sektor industri.
Di sisi pelayanan, jangka waktu permohonan PLTS atap menjadi lebih singkat yang semula sekitar 15 hari menjadi lima hari bagi pelanggan yang tidak mengajukan perubahan perjanjian jual beli listrik dan 12 hari bagi pelanggan yang mengajukan perubahan. Revisi aturan juga menghadirkan Pusat Pengaduan Sistem PLTS Atap untuk menerima dan menindaklanjuti pengaduan.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Rida Mulyana mengatakan, kenaikan nilai ekspor menjadi 100 persen merupakan insentif bagi pelanggan PLTS atap sektor industri. ”Sebelumnya, nilai ekspor 65 persen menjadi sorotan bagi industri. Nilai ekspor sebesar 100 persen menjadi menarik bagi mereka ketika pabrik tidak beroperasi selama akhir pekan. Dengan demikian, investasi ke PLTS atap pun menjadi berdaya tarik,” tuturnya.
Secara makro, Rida menilai, pengembangan PLTS atap sebagai bagian dari transisi energi seharusnya menarik bagi investor lantaran sesuai dengan tren konsumen yang sadar akan perubahan iklim. Langkah ini merupakan kelanjutan proyek pembangunan pembangkit 35.000 MW serta wujud kebijakan untuk tak lagi membangun pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) mulai 2026.
Langkah ini merupakan kelanjutan proyek pembangunan pembangkit 35.000 MW serta wujud kebijakan untuk tak lagi membangun pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) mulai 2026.
Direktur Tropical Renewable Energy Center (TREC) Fakultas Teknik Universitas Indonesia Eko Adhi Setiawan menambahkan, kenaikan kapasitas PLTS atap diperkirakan 1 gigawatt per tahun. ”Secara teknis, kenaikan tersebut tidak perlu dikhawatirkan (dampaknya pada sistem tenaga listrik). Apalagi, PLTS atap tersebar secara luas sehingga mengurangi risiko permasalahan teknis yang dapat terjadi,” katanya.
Kementerian ESDM mendata, per Juli 2021, terdapat 4.028 pelanggan PLTS atap dengan total kapasitas puncak mencapai 35,56 megawatt peak (MWp). Sebanyak 3.300 pelanggan di antaranya merupakan pelanggan rumah tangga dengan total kapasitas puncak 8,7 MWp. Jumlah pelanggan industri mencapai 28 pelanggan dengan total kapasitas puncak 11,5 MWp.