Para investor pasar keuangan global menantikan pertemuan Jackson Hole di Wyoming, Jumat (27/8/2021) pukul 22.00 WIB, yang diharapkan dapat memperjelas arah kebijakan bank sentral Amerika Serikat, The Fed.
Oleh
Joice Tauris Santi
·4 menit baca
Bursa Asia dibuka melemah pada perdagangan Jumat (27/8/2021). Para investor masih tetap berhati-hati dalam bertransaksi menjelang pertemuan Jackson Hole. Indeks Nikkei Jepang dibuka merosot 0,69 persen, Hang Seng Hong Kong melemah 0,16 persen, Shanghai Composite China turun 0,2 persen, Straits Times Singapura melemah 0,66 persen, dan KOSPI Korea Selatan juga terpangkas 0,44.
Pada penutupan sesi pertama, Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia melemah 0,38 persen. Pada penutupan perdagangan Kamis (26/8/2021) waktu AS, tiga indeks utama di Wall Street ditutup melemah. Dow Jones ditutup melemah 0,5 persen, S&P 500 terkoreksi 0,58 persen, dan Nasdaq Composite merosot 0,64 persen.
Para investor di pasar keuangan global menantikan pertemuan di Jackson Hole, Wyoming, yang akan dilakukan pada hari ini, pukul 10.00 waktu setempat atau pukul 22.00 WIB.
Sudah lebih dari tiga dekade, bank sentral Kansas City menjadi tuan rumah simposium kebijakan ekonomi ini. Kali ini, pertemuan akan dilakukan secara virtual. Tidak hanya para pengambil keputusan, seperti para petinggi Federal Reserve (The Fed) yang akan hadir dalam simposium ini. Pertemuan ini akan dihadiri pula oleh para ekonom, bankir, hingga akademisi.
Pertemuan kali ini merupakan salah satu pertemuan yang diharapkan dapat memperjelas arah kebijakan Fed. Bagaimana Fed akan bersikap menanggapi pandemi yang sudah melanda selama dua tahun terakhir ini, ditambah dengan merebaknya varian Delta, inflasi, dan tingkat pengangguran AS, diharapkan semakin jelas dalam pertemuan di Jackson Hole.
Bisa jadi, pidato dari Jerome Powell di Jackson Hole merupakan salah satu pidato terpenting dalam karier Powel. Banyak orang menantikan petunjuk Powell, kapankah Fed akan melakukan pengurangan belanja asetnya. Seperti obat dalam menghadapi krisis yang sudah-sudah, sejak Maret 2020 Fed mengucurkan likuiditas ke perekonomian dengan rajin membeli surat berharga. Belanja Fed, yang kadang disebut kebijakan cetak uang, membuat perekonomian AS bertahan dari terpaan pandemi.
Selama berbulan-bulan, bank sental AS bergulat dengan data ekonomi yang bertentangan, inflasi naik terus tetapi tingkat pengangguran masih lebih tinggi dibandingkan dengan harapan. Merebaknya virus Covid-19 varian Delta juga memberatkan pemulihan ekonomi di mana-mana, termasuk di AS.
Pada pertemuan terakhir, Powell mengatakan, perekonomian telah membaik, dilihat dari tingkat pengangguran dan laju inflasi. Hal ini dipahami oleh para investor bahwa Fed sebentar lagi akan mengurangi pembelian asetnya. Pada risalah pertemuan Juli 2021, ada perbedaan pendapat dari para petinggi Fed. Sebagian merasa Fed bersiap mengurangi belanja aset bulanan yang sebesar 120 miliar dollar AS pada tahun ini, sebagian lagi berpendapat langkah tersebut sebaiknya dilakukan pada 2022.
Pengereman kucuran likuiditas dari bank sentral ini akan memengaruhi pasar finansial global, termasuk Indonesia.
Pengereman kucuran likuiditas dari bank sentral ini akan memengaruhi pasar finansial global, termasuk Indonesia. Sebagian dana diperkirakan akan beralih dari pasar negara berkembang kembali lagi ke pasar negara maju yang lebih stabil.
Tidak seperti 2013
Para ekonom dan pengelola aset berpendapat, dampak pengereman kucuran likuiditas ini tidak akan berdampak buruk seperti yang pernah terjadi pada tahun 2013, ketika Ben Bernanke, Gubernur Fed ketika itu, tiba-tiba mengumumkan bank sentral akan mengurangi pembelian aset. Pembalikan arus investasi besar-besaran terjadi ketika itu ditambah dengan defisit yang besar di negara maju sehingga menekan kurs mata uang negara berkembang terhadap dollar AS.
”Meskipun kebijakan moneter yang lebih ketat berpotensi mengurangi likuiditas global dan memberikan tekanan pada pasar obligasi, pendekatan dan arahan Fed yang ultra-gradual diperkirakan akan membuat dampak negatif dari pengetatan moneter tersebut menjadi lebih terbatas (tidak seperti taper tantrum di tahun 2013),” kata kata Laras Febriany Portfolio Manager-Fixed Income Manulife Aset Manajemen Indonesia.
Menurut dia, dapat dikatakan bahwa kebijakan pengetatan Fed dan dampaknya terhadap kenaikan imbal hasil US Treasury sudah diperhitungkan dan diterima oleh pasar sejak awal tahun.
Pada perdagangan Jumat ini para investor global dan domestik menantikan pidato Powell. ” Para investor memperkirakan tapering akan dimulai pada kuartal keempat 2021 atau kuartal pertama 2022 dengan preferensi pada skenario kedua,” kata ekonom Samuel Sekuritas Lionel Priyadi dalam risetnya hari ini.
Juki Mariska, Wealth Management Head Bank OCBC NISP, memperkirakan, The Fed mempertahankan pandangan yang relatif lebih dovish dan memperkirakan kenaikan suku bunga dapat dimulai pada 2023. Tingginya tingkat vaksinasi lengkap di AS yang mencapai kisaran 50 persen dari populasi ini mendorong keyakinan akan pemulihan ekonomi lebih lanjut.
Tingkat pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) AS pada triwulan II-2021 dilaporkan mengalami ekspansi 6,5 persen. Tingkat konsumsi dilaporkan melonjak 11,8 persen, yang berkontribusi 69 persen terhadap PDB AS. Menurut Juki, menuju akhir paruh kedua 2021, tingkat pertumbuhan diperkirakan akan melambat. Terutama dengan stimulus bantuan sosial pengangguran yang akan berakhir di bulan September 2021.