Wapres: Pemerintah Terus Berupaya agar Kemiskinan Ekstrem Nihil pada 2024
”Penurunan kemiskinan ekstrem menjadi nol persen sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang memuat komitmen global untuk menghapuskan kemiskinan ekstrem pada tahun 2030,” kata Wakil Presiden Ma’ruf Amin.
JAKARTA, KOMPAS — Sebagai Ketua Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan atau TNP2K, Wakil Presiden Ma’ruf Amin menekankan bahwa pemerintah terus berupaya mencapai target menghilangkan kemiskinan ekstrem pada akhir 2024. Namun, langkah ini bukan tanpa tantangan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2021, tingkat kemiskinan ekstrem Indonesia adalah 4 persen atau sekitar 10,86 juta jiwa. Berdasarkan data Maret 2021, tingkat kemiskinan secara umum Indonesia berkisar 10,14 persen atau 27,54 juta jiwa.
”Penurunan kemiskinan ekstrem menjadi nol persen sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang memuat komitmen global untuk menghapuskan kemiskinan ekstrem pada tahun 2030,” ujar Wapres Amin, yang memimpin rapat pleno percepatan penanggulangan kemiskinan ekstrem secara virtual, dihadiri menteri anggota TNP2K serta para menteri dan kepala lembaga pemerintahan terkait, Rabu (25/8/2021) sore.
Rapat pleno TNP2K yang sudah digelar untuk ketiga kalinya tersebut dihadiri Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Dalam Negeri, Menteri Sosial, Menteri Keuangan, Kepala Bappenas, dan para menteri anggota TNP2K lainnya. Rapat pleno juga dihadiri Sekretaris Kabinet, Kepala Staf Kepresidenan, dan Kepala Badan Pusat Statistik.
Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas pada 21 Juli 2021 disebut telah menugaskan agar kemiskinan ekstrem di Indonesia bisa dituntaskan enam tahun lebih cepat, yaitu pada akhir tahun 2024. Ketika menyampaikan pengantar pidato RAPBN dan Nota Keuangan pada 16 Agustus 2021, Presiden Jokowi juga menekankan tentang penurunan kemiskinan, terutama menurunkan kemiskinan ekstrem.
Baca juga : Strategi Pengentasan Kemiskinan Dievaluasi
Mengacu pada definisi Bank Dunia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa, kemiskinan ekstrem yang dimaksud berada pada garis 1,9 dollar AS atau sekitar Rp 27.000 PPP (purchasing power parity) per hari. Saat ini pemerintah melalui sejumlah kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah telah melaksanakan program untuk menurunkan beban pengeluaran rumah tangga miskin dan program untuk meningkatkan produktivitas masyarakat miskin.
Pada tahun anggaran 2021, anggaran program dan kegiatan untuk pengurangan beban pengeluaran melalui bantuan sosial dan subsidi mencapai Rp 272,12 triliun. Anggaran program dan kegiatan untuk pemberdayaan dan peningkatan produktivitas berjumlah Rp 168,57 triliun sehingga alokasi anggaran keseluruhan sebesar Rp 440,69 triliun.
”Saya ingin mendengarkan seperti apa, bagaimana cara kita menyelesaikannya sehingga dalam 2021 ini bisa menyelesaikannya dan dalam jangka panjangnya itu 2024 kita harus menyelesaikan seluruhnya. Ini memang bukan hal yang mudah untuk sampai 2024 itu menjadi 0 persen dari kemiskinan ekstrem ini,” tutur Wapres Amin.
Tantangan terbesar
Tantangan terbesar adalah membuat program-program tersebut konvergen dan terintegrasi. Konvergensi ini penting untuk memastikan berbagai program terintegrasi, mulai dari saat perencanaan sampai implementasi di lapangan.
Konvergensi memastikan agar semua program mulai dari perencanaan, penentuan alokasi anggaran, penetapan sasaran, hingga pelaksanaan program tertuju pada satu lokus yang sama, baik secara wilayah maupun target masyarakat yang berhak.
Menyikapi tantangan tersebut, Wapres Amin mengarahkan semua kementerian/lembaga dan pemerintah daerah agar dapat mengidentifikasi program/kegiatan tersebut, kemudian bisa disinkronisasi dan dikonvergensi untuk difokuskan ke wilayah-wilayah kantong kemiskinan ekstrem. Mereka harus memastikan bahwa rumah tangga miskin ekstrem menerima manfaat dari semua program tersebut.
Wapres juga meminta perbaikan sistem penyasaran nasional (national targeting system). Perbaikan sistem penyasaran nasional dimulai dengan memperbaiki penargetan berdasarkan wilayah, terutama wilayah-wilayah yang merupakan kantong kemiskinan ekstrem. Pemetaan yang dibuat Sekretariat TNP2K mengidentifikasi 212 kabupaten/kota dari 25 provinsi yang merupakan kantong-kantong kemiskinan, dengan cakupan 75 persen dari jumlah penduduk miskin ekstrem secara nasional.
Untuk tahun 2021, sesuai arahan Presiden Jokowi, penanganan kemiskinan ekstrem dimulai dari tujuh provinsi, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTT, Maluku, Papua Barat, dan Papua. Di setiap provinsi, dipilih lima kabupaten sebagai fokus utama. Pemerintah sudah menetapkan 35 kabupaten yang mewakili 20 persen jumlah penduduk miskin ekstrem secara nasional yang berada pada tujuh provinsi tersebut.
Untuk tahap pelaksanaan awal pengurangan kemiskinan ekstrem pada tahun 2021, Wapres Amin memberikan arahan khusus kepada para menteri/kepala lembaga untuk mendorong penguatan pelaksanaan program bansos ataupun pemberdayaan di 35 kabupaten terpilih. Wapres juga meminta perkuatan penargetan rumah tangga ekstrem dalam fokus wilayah tersebut.
Daftar 212 kabupaten/kota tersebut harus dilengkapi dengan informasi jumlah rumah tangga miskin, termasuk rumah tangga miskin ekstrem. ”Bagi kementerian/lembaga yang memiliki program bantuan sosial bersasaran (targeted program), agar memastikan bahwa seluruh rumah tangga miskin/individu yang masuk kategori miskin ekstrem di fokus wilayah tersebut menerima bantuan sosial,” lanjut Wapres.
Penyempurnaan data
Wapres Amin juga meminta Menteri Sosial segera menyelesaikan tugas pemutakhiran Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) agar dapat segera dimanfaatkan oleh kementerian/lembaga dan pemerintah daerah untuk penetapan sasaran kegiatannya. Dengan demikian, pemutakhiran DTKS menjadi kunci.
Perbaikan DTKS diharapkan segera dilakukan dengan standar dan metodologi yang sesuai dengan praktik baik di negara lain. Proxy means test (PMT), misalnya, dimanfaatkan dengan sasaran jangka pendek adalah mencari rumah tangga miskin ekstrem yang belum terdaftar sebagai penerima bantuan sosial atau yang sering disebut dengan exclusion error.
Wapres Amin meminta agar tata kelola data perlindungan sosial terus disempurnakan. Negara lain, contohnya, telah mengelompokkan data perlindungan sosial ke dalam social registry sebagai induk dan data penerima manfaat (beneficiary registry) yang berisi data rumah tangga dan data usaha mikro kecil (UMK). Hal ini berkaca pada penyaluran bantuan dalam masa pandemi Covid-19 ketika pemerintah kesulitan untuk menyalurkan kepada mereka yang tiba-tiba jatuh miskin.
Secara terpisah, dalam puncak peringatan Hari Perumahan Nasional Ke-14 Tahun 2021, di Pendopo Kementerian PUPR, Rabu (25/8/2021), Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono juga menekankan agar program penyediaan perumahan ke depan berfokus pada pengentasan kemiskinan dan penurunan angka stunting di Indonesia.
”Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menyampaikan, untuk pengentasan kemiskinan tidak cukup dengan bantuan sosial, tetapi butuh dukungan perumahan, air bersih, dan sanitasi. Untuk itu, program perumahan Kementerian PUPR sekarang harus fokus pada kawasan dalam program pengentasan kemiskinan dan penurunan stunting,” tutur Menteri Basuki dalam keterangan pers tertulis.
Ia menambahkan, program penyediaan perumahan seperti Bantuan Stimulus Perumahan Swadaya (BSPS) harus fokus pada suatu kawasan program pengentasan kemiskinan dan penurunan angka stunting di bawah komando Kemenko PMK agar penyalurannya lebih akuntabel. Selanjutnya, dukungan yang tidak kalah penting adalah program penyediaan air bersih dan sanitasi, seperti Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas) serta Sanitasi Berbasis Masyarakat (Sanimas).
Menurut Basuki, selain untuk mendukung program nasional dalam pengentasan kemiskinan dan penurunan stunting, dukungan penyediaan perumahan layak huni yang dilengkapi fasilitas air bersih dan sanitasi juga diharapkan dapat menjadi ruang isolasi mandiri yang memadai bagi pasien Covid-19.
”Bagi masyarakat yang terpapar Covid-19, kalau rumahnya tidak layak huni, tentu tidak disarankan untuk melakukan isolasi mandiri di rumah karena bisa menular ke seluruh anggota keluarga. Tapi kalau rumahnya layak, diperbolehkan dan dimonitor kesehatannya,” katanya.