BSSN: 741,4 Juta Serangan Siber Sepanjang Januari-Juli 2021
Badan Siber dan Sandi Negara mencatat 741,4 juta serangan siber sepanjang Januari-Juli 2021. Korbannya, antara lain, di sektor pemerintah (45,5 persen), layanan keuangan (21,8 persen), dan telekomunikasi (10,4 persen).
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sepanjang Januari-Juli 2021, sesuai data Badan Siber dan Sandi Negara, terdapat 741,4 juta serangan siber. Kategori serangan terbanyak yaitu perangkat lunak perusak atau malware, pengganggu ketersediaan layanan, dan aktivitas trojan atau malware yang bisa menyamar jadi link atau surat elektronik yang seolah-olah datang dari perusahaan resmi.
Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Hinsa Siburian menyampaikan hal itu saat menghadiri webinar ”Indonesia’s Digital Transformation and Cybersecurity in the Construction Sectors”, di Jakarta, Selasa (24/8/2021). Tren serangan siber mengarah ke malware yang meminta tebusan dan kebocoran data. Hal ini terjadi pada 2020.
”Ada malware yang sengaja dipakai untuk menyerang agar si pelaku bisa mencuri informasi korban. Dalam periode Januari-Juli 2021, korban kasus ini adalah sektor pemerintah (45,5 persen), layanan keuangan (21,8 persen), telekomunikasi (10,4 persen), penegakan hukum (10,1 persen), dan transportasi (10,1 persen),” ujarnya.
Apabila serangan siber mengenai infrastruktur vital, seperti konstruksi, kata Hinsa, akan berdampak ke berbagai sektor layanan publik. Aktivitas publik menjadi terganggu.
Menurut dia, Badan Siber dan Sandi Negara telah memiliki strategi keamanan siber nasional. Salah satu upaya nyata yang sedang dikerjakan yaitu menyusun perlindungan infrastruktur beserta manajemen krisis untuk infrastruktur vital.
Senior Director Business Software Alliance (BSA) untuk Asia Pasifik Tarun Sawney menyampaikan, secara global, hasil riset firma keamanan jaringan Barracuda Networks menunjukkan, terdapat kenaikan 667 persen serangan siber berupa perangkat lunak perusak untuk mendapatkan informasi data korban dengan teknik pengelabuan melalui surat elektronik atau phising emails. Google bahkan telah memblokir sekitar 100 juta phishing emails.
”Pemakaian perangkat lunak berlisensi dan rutin memperbaruinya dapat meminimalkan terjadinya serangan siber. Sayangnya, Indonesia termasuk salah satu negara pemakai perangkat lunak tidak berlisensi,” katanya.
BSA merupakan aliansi nirlaba yang beranggotakan perusahaan-perusahaan yang memiliki perangkat lunak, seperti Adobe, IBM, Autodesk, dan Zoom. BSA berdiri sejak 1988.
Dalam konteks sektor infrastruktur vital, seperti konstruksi, menurut Tarun, ancaman serangan siber dapat terjadi sejak proses mendesain rancangan memakai perangkat lunak. Oleh karena itu, dia amat menyarankan pentingnya pemakaian perangkat lunak berlisensi.
Vice President Sales AutoDesk untuk Asia Pasifik Haresh Khoobchandani menyampaikan, selama pandemi Covid-19, ancaman serangan siber kerap kali mengatasnamakan pandemi Covid-19. Indonesia sebagai salah satu negara pasar tercepat penetrasi internet perlu fokus memiliki manajemen keamanan siber yang mumpuni. Hal itu bisa dicapai jika didukung dengan kebijakan anggaran.
Mengutip laporan International Data Corporation (IDC), belanja perangkat keras, perangkat lunak, dan layanan keamanan siber di Asia Pasifik diperkirakan mencapai 23,1 miliar dollar AS sampai akhir 2021. Jumlah ini naik 12,6 persen dibandingkan dengan 2020. Persentase kenaikan seperti itu di bawah harapan IDC, yakni 13,3 persen per tahun selama periode 2019-2024.
IDC percaya, belanja perangkat keras, perangkat lunak, dan layanan keamanan siber di Asia Pasifik didorong oleh peningkatan adopsi komputasi awan, migrasi bekerja dari rumah besar-besaran, dan proyek transformasi digital sejumlah perusahaan. Industri yang punya pengeluaran keamanan siber besar pada 2021 adalah perbankan, telekomunikasi, dan instansi pemerintah daerah/pusat.
”Organisasi swasta ataupun pemerintahan bisa mengadopsi teknologi digital terbaru, seperti mesin pembelajaran, untuk membantu memetakan kerentanan sistem mereka dari ancaman serangan siber,” kata Haresh.