Selain pembenahan hulu-hilir di rantai produksi perikanan, upaya diplomasi dinilai penting untuk menggenjot ekspor ke wilayah potensial, khususnya China yang selama ini menjadi pasar utama ekspor perikanan Indonesia.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
Lonjakan temuan kontaminasi virus SARS-CoV-2 pada produk perikanan Indonesia oleh otoritas China menuntut pelaku industri di Tanah Air meningkatkan higienitas guna memenuhi standar keamanan pangan. Dengan demikian, Indonesia berpeluang menggenjot penjualan ke pasar ekspor terbesar produk perikanan asal Indonesia tersebut.
Akan tetapi, selain pembenahan hulu-hilir, ada upaya lain yang juga dinilai penting, yakni diplomasi. Upaya diplomasi perlu diperkuat sambil mengejar pemenuhan syarat tambahan yang dinilai mahal.
Kasus kontaminasi virus SARS-CoV-2 pada produk dan kemasan ikan asal Indonesia terdeteksi oleh Otoritas Bea dan Cukai China (GACC). Per 9 Agustus 2021, tercatat 37 kasus kontaminasi virus.
Peluang masuk ke pasar China makin berat menyusul pemberlakuan syarat tambahan, antara lain mencantumkan nama kapal penangkap ikan dan lokasi tangkapan serta nama lokasi budidaya oleh unit pengolahan ikan. Anak buah kapal, pekerja budidaya, dan pekerja pabrik olahan beserta produk perikanan yang dikirim ke China wajib diuji Covid-19 melalui tes reaksi rantai polimerase (PCR).
Menurut Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan Artati Widiarti, China merupakan pasar potensial. Pihaknya membina eksportir dan pelaku usaha untuk penanganan hulu-hilir rantai produksi perikanan guna mencegah kontaminasi virus pada produk dan kemasan ikan.
Pemerintah Indonesia perlu memperkuat tim perundingan guna menyikapi kebijakan yang dinilai terlampau berhati-hati dalam menekan risiko penularan Covid-19. Selain itu, peningkatan kasus kontaminasi virus perlu disikapi unit pengolahan ikan untuk menerapkan pedoman sanitasi dan higienitas dengan ketat.
Sejumlah ahli berpendapat, kemungkinan transmisi Covid-19 melalui rantai makanan relatif tipis. Tenaga Ahli Global and Quality Standards Programme (GQSP) Indonesia SMART-Fish 2, Achmad Purnomo, dalam buku Panduan Pengendalian Risiko Covid-19 di Unit Penanganan dan Pengolahan Ikan, menyebutkan, tidak ada bukti bahwa makanan merupakan sumber atau jalur penularan penting Covid-19. Jumlah partikel virus hidup pada makanan sangat rendah dan virus tidak dapat berkembang biak dalam makanan.
Meskipun demikian, China telah beberapa kali menolak produk ikan beku dari sejumlah negara, termasuk Indonesia, dengan alasan ditemukan jejak-jejak virus korona pada kemasan dan produknya. Klaim itu telah dipertanyakan oleh banyak negara mengingat otoritas Cina belum membuka ke publik mengenai metode analisisnya.
Menurut Purnomo, rantai pasok perikanan hulu-hilir yang sangat panjang melibatkan kontak personal, baik langsung maupun tidak langsung. Kontak personal lebih berpotensi memicu penularan daripada makanan yang terkontaminasi. Oleh karena itu, upaya perlu difokuskan pada perlindungan karyawan yang terlibat dalam penanganan dan pengolahan ikan.
Beberapa faktor yang meningkatkan risiko penularan Covid-19 adalah jarak antarkaryawan dalam penanganan ikan di kapal penangkap hingga alur pengolahan ikan, seperti dalam pemotongan, penyortiran, penimbangan, pengepakan, penggunaan alat kerja, laboratorium dan ruang kerja, serta transportasi. Tempat tinggal pekerja musiman dan tempat di atas kapal juga dapat meningkatkan risiko terinfeksi.
China memiliki pertumbuhan ekonomi dan pendapatan masyarakat kelas menengah yang pesat. Permintaan China akan meningkat sesuai tingkat pendapatan penduduknya. Persyaratan teknis pun semakin banyak. Pelaku usaha perlu menggali peluang penetrasi pasar ke China dengan produk yang berkualitas serta menerapkan protokol kesehatan dan pedoman keamanan pangan yang dipublikasikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) per 7 April 2020.