Ekspor ke China Naik, Isu Keamanan Pangan Jadi Tantangan
Tren ekspor perikanan Indonesia ke China cenderung naik. Namun, isu keamanan pangan masih menjadi persoalan seiring temuan kontaminasi virus. Pengawasan mesti diperketat dari hulu hingga ke hilir.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ekspor perikanan Indonesia menunjukkan pergeseran sejak pandemi Covid-19. China menjadi negara tujuan ekspor terbesar dan menggeser pasar utama sebelumnya, yakni Amerika Serikat. Namun, peningkatan ekspor ke China dibayang-bayangi isu keamanan pangan dengan temuan kontaminasi virus korona baru atau SARS-CoV-2 pada produk dan kemasan ikan asal Indonesia.
Kepala Pusat Pengendalian Mutu Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (BKIPM-KKP) Widodo Sumiyanto, saat dihubungi Senin (17/5/2021), menyatakan, posisi China sebagai negara tujuan ekspor perikanan terbesar merupakan peluang mengingat komoditas ikan diserap oleh Negeri Tirai Bambu itu hampir di seluruh segmen pasar.
Data Kementerian Kelautan dan Perikanan, per triwulan I-2021, volume ekspor perikanan Indonesia ke China mencapai 102,83 juta ton senilai 228,54 juta dollar AS atau sekitar 33,48 persen dari total volume ekspor. Beberapa komoditas unggulan yang dipasok ke China adalah ikan layur dan cumi beku. Ekspor ke China juga terus meningkat untuk komoditas udang dan tuna.
Salah satu komoditas perikanan yang ekspornya mengalami peningkatan adalah udang. Pada tahun 2020, volume ekspor udang mencapai 4.774 ton atau melonjak 163,61 persen dibandingkan tahun 2018 yang tercatat 1.811 ton.
Meski demikian, pertumbuhan ekspor ke China terancam sejumlah temuan kontaminasi virus SARS-CoV-2 pada produk dan kemasan ikan asal Indonesia.
Kasus kontaminasi virus penyebab Covid-19 itu terdeteksi oleh Otoritas Bea dan Cukai China (GACC) sejak September 2020. Hingga Mei 2021 tercatat 19 kasus kontaminasi SARS-CoV-2, 8 kasus di antaranya ditemukan berulang pada empat perusahaan eksportir ikan di Jakarta, Medan, Ambon, dan Cirebon.
Pengawasan
Menurut Widodo, pihaknya terus berupaya meningkatkan kewaspadaan selama pandemi Covid-19 dengan pengujian pada sampel produk. Namun, jejak virus SARS-CoV-2 masih ditemukan pada produk dan kemasan. Kontaminasi virus terjadi seiring kasus Covid-19 di Indonesia yang belum sepenuhnya terkendali.
Pengawasan dan penerapan protokol Covid-19 secara ketat diperlukan sejak hulu hingga hilir, meliputi nelayan, pembudidaya, pengepul, pengemasan, industri pengolahan ikan, dan logistik. ”(Kasus kontaminasi) masih ada terus. Kita belum menerapkan protokol secara menyeluruh,” ujarnya.
Ia menambahkan, pihaknya telah menerapkan sanksi berupa larangan ekspor terhadap 129 perusahaan yang tidak bisa memenuhi standar uji produk perikanan di China. Dari total 664 unit pengolahan ikan yang boleh ekspor ke China, saat ini tersisa 535 perusahaan. Otoritas di China sempat menghapus nomor registrasi ekspor terhadap 5 perusahaan asal Indonesia, tetapi lewat proses mediasi perusahaan tersebut diizinkan kembali ekspor ke China melalui proses audit.
Sementara itu, ekspor perikanan ke Uni Eropa cenderung stagnan. Hambatannya antara lain tarif bea masuk. Bea masuk komoditas tuna Indonesia ke Uni Eropa, misalnya mencapai 20,5 persen. Padahal, produk serupa dari Vietnam dikenai tarif bea masuk hampir nol persen. Jumlah unit pengolahan ikan yang memperoleh nomor registrasi ekspor ke Uni Eropa tercatat baru 173 perusahaan.
Hambatan itu menekan daya saing produk Indonesia. Kini Indonesia dan Uni Eropa masih dalam tahap negosiasi Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komperehensif (CEPA) antara lain membahas kesepakatan penurunan bea masuk.
Hasil audit otoritas Uni Eropa memperlihatkan produk perikanan yang diekspor Indonesia belum sepenuhnya terjamin ketertelusuran hulu-hilir.
Di sisi lain, hasil audit otoritas Uni Eropa memperlihatkan produk perikanan yang diekspor Indonesia belum sepenuhnya terjamin ketertelusuran hulu-hilir serta penerapan sertifikasi keamanan pangannya masih diragukan. Selain itu, metode uji dan peralatan laboratorium uji juga belum sepenuhnya memenuhi persyaratan khusus yang diminta Uni Eropa. Dampaknya, unit pengolahan ikan Indonesia yang bisa ekspor ke Uni Eropa terbatas.
Secara terpisah, Ketua Umum Asosiasi Produsen, Pengolahan, dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I) Budhi Wibowo mengemukakan, pasar China masih terbuka lebar dengan permintaan yang sangat besar. Karena itu diperlukan promosi yang lebih gencar ke China.
Sementara itu, harga yang diminta Uni Eropa terhadap produk perikanan Indonesia kerap lebih murah dibandingkan harga yang ditawarkan kepada negara lain. ”(Ekspor ke) Pasar Uni Eropa (cenderung) stagnan karena masalah harga,” kata Budhi.