Antara Terus Mencari Minyak dan Mengembangkan Energi Terbarukan
Ada kebutuhan bertransisi energi dan tetap mencari sumber cadangan minyak yang baru. Pengelolaan kedua jenis energi tersebut harus terukur dan berimbang.
Oleh
Aris Prasetyo dan M Paschalia Judith J
·3 menit baca
Indonesia seperti diombang-ambingkan. Negara yang pernah menjadi anggota Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) ini tengah dalam desakan untuk mengurangi pemakaian energi fosil dan dituntut segera beralih ke sumber energi terbarukan. Padahal, ketergantungan pada energi fosil masih tinggi.
Indonesia tercatat sebagai salah satu pengekspor batubara terbesar di dunia. Dalam beberapa tahun terakhir, produksi batubara Indonesia lebih dari 500 juta ton per tahun. Batubara juga berperan dominan sebesar 60 persen dalam bauran energi primer pembangkit listrik. Di satu sisi, Indonesia termasuk negara yang meratifikasi Perjanjian Paris 2015 untuk mengatasi dampak perubahan iklim.
Dalam skenario energi di Indonesia, peran energi terbarukan diharapkan mencapai 23 persen dalam bauran energi nasional pada 2025 dan naik menjadi 31 persen pada 2050. Saat yang sama, peran batubara pada 2025 diharapkan sebesar 30 persen dan turun menjadi 25 persen pada 2050. Sementara peran minyak bumi diproyeksikan turun dari 25 persen tahun 2025 menjadi 20 persen tahun 2020. Penggunaan gas bumi didorong naik dari 22 persen tahun 2025 menjadi 24 persen pada 2050.
Menurut Widhyawan Prawiraatmadja, Gubernur OPEC untuk Indonesia 2015-2016 sekaligus anggota Indonesia Clean Energy Forum, Indonesia belum bisa sepenuhnya terbebas dari energi fosil hingga beberapa tahun ke depan. Pasalnya, energi fosil masih berperan penting dan strategis dalam bauran energi nasional. Meski demikian, Indonesia tetap perlu bertransisi menuju energi terbarukan sebagai komitmen atas Perjanjian Paris 2015 untuk mengatasi dampak perubahan iklim.
Peran energi terbarukan diharapkan mencapai 23 persen dalam bauran energi nasional pada 2025 dan naik menjadi 31 persen pada 2050.
”Baik minyak maupun energi terbarukan, keduanya diperlukan di Indonesia. Dengan demikian, keduanya juga penting untuk sama-sama dikembangkan. Minyak juga perlu untuk terus dicari karena permintaannya ada, serta energi terbarukan tetap harus terus dikembangkan,” ujar Widhyawan saat dihubungi pada Minggu (8/8/2021) di Jakarta.
Widhyawan menambahkan, lantaran permintaan minyak di dalam negeri masih tinggi, program pembangunan kilang baru di Indonesia juga masuk akal kendati harus melalui kajian keekonomian yang akurat. Selain itu, untuk mendorong percepatan transisi energi, kebijakan subsidi energi fosil di Indonesia juga perlu ditinjau ulang. Selama subsidi diberikan kepada barang (energi fosil), sulit bagi Indonesia mempercepat pengembangan energi terbarukan.
Sementara itu, anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Satya Widya Yudha, berpendapat, hulu migas Indonesia masih dipandang penting dan strategis. Apalagi, Indonesia memasang target produksi minyak 1 juta barel per hari dan gas bumi 12 miliar standar kaki kubik per hari pada 2030. Dalam kebijakan energi nasional pun, peran migas di Indonesia pada 2050 masih di atas 50 persen.
”Beriringan dengan komitmen internasional dalam perubahan iklim, energi terbarukan menjadi keharusan untuk dikembangkan. Dalam konsep transisi energi Indonesia, porsi energi terbarukan perlu diperbesar melalui substitusi energi fosil dengan teknologi bersih,” ucap Satya.
Hulu migas Indonesia masih dipandang penting dan strategis. Apalagi, Indonesia memasang target produksi minyak 1 juta barel per hari dan gas bumi 12 miliar standar kaki kubik per hari pada 2030.
Menyinggung soal keseimbangan antara ketergantungan pada energi fosil dan percepatan transisi energi, imbuh Satya, dibutuhkan kebijakan energi yang berorientasi pada peningkatan energi terbarukan. Dalam menurunkan emisi karbon, energi fosil tidak berarti nol. Energi fosil tetap ada, tetapi dibarengi dengan penggunaan teknologi pengurangan karbon sembari menciptakan harga energi terbarukan yang lebih kompetitif.
Dengan masih tingginya ketergantungan pada energi fosil dan gerakan untuk mengoptimalkan energi terbarukan dibutuhkan kebijakan energi yang proporsional di Indonesia. Prinsip bahwa energi harus terjangkau oleh seluruh rakyat Indonesia dan pasokan yang andal juga tak boleh diabaikan.
Dari 128 cekungan di Indonesia, masih ada 68 cekungan yang belum diteliti mengenai kandungan sumber daya migasnya. Dengan demikian, industri hulu migas Indonesia belum bisa dikatakan telah masuk era ”sunset” alias senjakala. Cadangan batubara juga masih cukup hingga beberapa dekade ke depan.
Di saat bersamaan, potensi energi terbarukan di Indonesia masih melimpah ruah. Dengan potensi yang lebih dari 400.000 megawatt, pemanfaatannya kurang dari 11.000 megawatt. Tenaga hidro, bayu, surya, dan panas bumi adalah beberapa potensi energi terbarukan yang ada di Indonesia.
Sekali lagi, perlu keseimbangan dalam mengelola energi Indonesia. Kuncinya ada pada niat politik dan kepemimpinan yang kuat.