IPO Usaha Rintisan Dorong Pertumbuhan Ekosistem Digital
Fenomena maraknya perusahaan rintisan bidang teknologi atau startup yang melakukan penawaran umum saham perdana (IPO) di bursa saham dinilai akan berdampak positif bagi ekosistem ”startup”.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Fenomena maraknya perusahaan rintisan bidang teknologi atau startup yang melakukan penawaran umum saham perdana (IPO) di bursa saham dinilai akan berdampak positif bagi ekosistem startup. Sebab, publik bisa turut menjadi investor. Di sisi lain, dana dari investor dapat dipakai pemegang saham lama untuk membiayai startup yangbaru lahir ataupun yang masih dalam tahap berkembang.
Dalam proses IPO, pemegang saham lama bisa melepas sahamnya kepada publik. Karena itu, IPO startup juga kerap dimanfaatkan pemegang saham yang berbentuk perusahaan modal ventura untuk melepas sahamnya di startup bersangkutan. Ini membuat IPO seakan-akan menjadi exit strategy bagi pemegang saham yang berbentuk modal ventura. Dana dari penjualan saham biasanya akan digunakan perusahaan modal ventura bersangkutan membiayai sejumlah startup lainnya.
Komisaris PT Bursa Efek Indonesia (BEI) Pandu Sjahrir saat dihubungi Rabu (4/8/2021) menjelaskan, startup yang baru lahir ataupun yang masih dalam tahap berkembang umumnya belum memiliki model bisnis yang ajek yang membuat mereka hanya bisa mengakses pendanaan dari perusahaan modal ventura. Karena itulah, IPO startup yang sudah mapan akan menciptakan siklus pendanaan untuk startup-startup baru.
Di Indonesia, startup yang akan IPO dalam waktu dekat adalah Bukalapak. Perusahaan hasil integrasi vertikal Gojek dan Tokopedia, yakni GoTo, Traveloka, dan J&T Express, juga akan melakukan aksi korporasi yang sama. Bursa saham Indonesia (Bursa Efek Indonesia/BEI) menjadi salah satu sasaran tempat mereka melakukan IPO.
Di tingkat Asia Tenggara, FinAccel Pte Ltd selaku perusahaan induk Kredivo, perusahaan layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi yang berkantor di Jakarta, mengumumkan akan IPO pada triwulan I-2022. Kemudian, Grab dalam pernyataan resminya awal pekan ini menyebut siap IPO akhir tahun 2021.
Fenomena serupa juga terjadi di India. Sekitar 20 startup dari India telah mengajukan prospektus untuk IPO dalam kurun April-Mei 2021. Perusahaan tersebut berasal dari berbagai latar belakang industri, seperti restoran dan keuangan, seperti Zomato, Delhivery, Paytm, and Nykaa.
”Di mata global, startup dari India, Indonesia, dan Amerika Latin dianggap punya potensi besar. Dari segi pasar, pasar di tiga negara ini sangat potensial. Permintaan dari public terhadap saham perusahaan rintisan bidang teknologi, sekarang juga sedang tinggi,” ujar Pandu.
Dia lantas mencontohkan kasus Bukalapak yang akan resmi IPO pada 6 Agustus 2021. Hingga sekarang, jumlah orang yang mendaftar untuk membeli saham Bukalapak telah mendekati satu juta orang. Padahal, IPO perusahaan sektor industri lainnya di BEI biasanya hanya diminati belasan hingga puluhan ribu investor ritel.
Siklus modal
Pengacara teknologi di firma hukum global ”Withers”, Joel Shen, menambahkan, pertumbuhan pesat ekonomi digital di Indonesia dan Asia Tenggara telah melahirkan startup bervaluasi satu miliar dollar AS atau unicorn generasi pertama. Nama-nama besar, seperti Gojek, Tokopedia, Ovo, Traveloka, dan Bukalapak, didirikan oleh generasi wirausaha bidang teknologi yang merupakan penentu transformasi digital di Indonesia.
Kemunculan GoTo merupakan tonggak sejarah dalam pengembangan ekosistem industri teknologi Indonesia dan Asia Tenggara. Exit strategy yang akan dilakukan investor GoTo, Grab, Bukalapak, dan Traveloka akan menciptakan siklus modal yang baik untuk pengembangan ekosistem industri teknologi.
Senada dengan Pandu, Joel menilai investor perusahaan modal ventura yang melakukan exit strategy sepanjang 2021 akan mempunyai modal baru guna ditempatkan kembali ke startup. Pada akhirnya, itu semua akan menggairahkan ekonomi digital.
”Mantan pendiri dan eksekutif senior kemungkinan akan mencari petualangan baru, dan mungkin mendirikan bisnis baru,” katanya.
Sejumlah perusahaan modal ventura di Singapura didirikan investor Indonesia yang profesional, misalnya East Ventures, Alpha JWC, Intudo Ventures, AC Ventures, dan Venturra Capital. Mereka berkontribusi terhadap lahirnya startup-startup baru.
Ekonomi digital Indonesia yang hanya bernilai delapan miliar dollar AS pada tahun 2015 meningkat lima kali lipat menjadi 44 miliar dollar AS pada 2020. Laporan ”SEA E-Economy 2020” yang dirilis Google, Temasek, dan Bain & Co memprediksi ekonomi digital di Indonesia tumbuh tiga kali lipat menjadi 124 miliar dollar AS pada 2025.
Golden Gate Ventures dalam laporan Southeast Asia Startup Ecosystem 2.0 memperkirakan total 468 perusahaan modal venturamelakukan strategi exit pada kurun 2020-2022. Jumlah ini lebih besar dibandingkan proyeksi yang ada di laporan edisi tahun 2019. Penyebabnya, kata Golden Gate Ventures, jumlah investor yang berinvestasi di fase lanjut usaha rintisan bidang teknologi lebih banyak, termasuk investor publik dan perusahaan cangkang yang didirikan khusus untuk menggalang dana melalui penawaran umum saham perdana.