Lanskap industri rintisan bidang teknologi di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, memasuki generasi kedua. Kemunculan mereka bisa dioptimalkan untuk menghasilkan ekonomi digital yang lebih baik bagi rakyat.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
Kabar perusahaan teknologi bervaluasi 1 miliar dollar AS (unicorn) dan 10 miliar dollar AS (decacorn) yang melantai di bursa saham selalu menarik diikuti. Apalagi jika menyimak deretan valuasi dan prediksi nilai pendanaan yang bakal mereka hasilkan setelah penawaran saham umum perdana atau IPO di pasar modal.
Sebutlah Grab yang pada April 2021 telah mengumumkan rencana IPO di Amerika Serikat melalui merger dengan perusahaan cangkang. Valuasi perusahaan ini diperkirakan hampir 40 miliar dollar AS. Kemudian, GoTo, grup hasil kolaborasi Gojek dan Tokopedia, akan melakukan IPO di dua bursa saham (dual listing) di Indonesia dan AS. Dengan jumlah pendanaan sekitar 18 miliar dollar AS atau sekitar Rp 261 triliun, pada kurs Rp 14.500 per dollar AS, grup ini masuk dalam jajaran 10 emiten berkapitalisasi besar di Bursa Efek Indonesia. Selanjutnya, Bukalapak yang akan IPO pada 6 Agustus 2021 di Bursa Efek Indonesia menargetkan pendanaan 1,3-1,5 miliar dollar AS atau setara Rp 19,32 triliun-Rp 21,9 triliun.
Selain itu, sejumlah start-up generasi pertama tersebut di atas tumbuh cepat dan menarik banyak talenta terampil. Founding Partner Jungle Ventures Amit Anand menyebutkan, dalam satu dekade terakhir, transaksi rekrutmen talenta terampil naik dari kisaran 250-300 orang pada 2012 menjadi hampir mendekati 3.000 orang pada 2021.
Keberadaan start-up generasi pertama sebenarnya bisa dikatakan berfungsi sebagai ”akademi” untuk melatih dan menginspirasi generasi wirausaha teknologi berikutnya yang mungkin bisa memberikan solusi baru yang tidak dapat dilakukan generasi sebelumnya.
Founding Partner Jungle Ventures Amit Anand menyebutkan, dalam satu dekade terakhir, transaksi rekrutmen talenta terampil naik dari kisaran 250-300 orang pada 2012 menjadi hampir mendekati 3.000 orang pada 2021.
Memang, kalau berbicara mengenai kondisi wirausaha teknologi di Indonesia tidak bisa serta-merta dibandingkan dengan negara lain, seperti Singapura atau AS dengan Silicon Valley yang kerap jadi rujukan. Keduanya menjadikan sumber daya manusia sebagai aset yang terus dikembangkan melalui kebijakan dan infrastruktur pendidikan memadai.
Di Silicon Valley, perubahan besar terjadi di era 1995-2000, ketika Gen X baru memulai karier (Jeff Bezos, Elon Musk, Sergey Brin, Jerry Yang, dan lainnya) menggantikan generasi sebelumnya yang dimulai oleh Bill Joy, Bill Gates, Paul Allen, dan Steve Jobs. Kedua generasi ini tentunya sangat berbeda karakternya sesuai zaman masing-masing. Gen Y atau milenial dimulai dari era Mark Zuckerberg dan Brian Chesky. Hal yang dapat ditarik benang merah dari budaya Silicon Valley adalah sikap yang menerima perubahan dan pay-it-forward atau pendiri start-up menjadi bagian dari ekosistem yang berkelanjutan.
Mereka juga melakukan inkubasi, investasi, dan mentoring kepada generasi berikutnya. CEO BRI Ventures Nicko Widjaja pernah menyampaikan bahwa budaya pay-it-forward juga menggejala pada generasi kedua start-up di sini. Sepanjang 2020-2021, sejumlah pendiri start-up mapan menjadi investor bagi start-up yang baru. Beberapa dari pendiri tersebut juga menjadi investor di program Dana Ventura Sembrani Nusantara milik BRI Ventures.
Sejumlah laporan riset memprediksi transaksi ekonomi digital di Asia Tenggara terus meningkat. Laporan E-Economy SEA 2020 yang dirilis Google, Temasek, dan Bain & Co menyebut, nilai ekonomi digital Indonesia naik lima kali lipat dari 8 miliar dollar AS pada 2015 menjadi 44 miliar dollar AS pada 2020. Pertumbuhan pesat ini didukung sejumlah start-up besar generasi pertama. Diperkirakan nilainya akan meningkat tiga kali lipat menjadi 124 miliar dollar AS pada 2025.
Hal yang dapat ditarik benang merah dari budaya Silicon Valley adalah sikap yang menerima perubahan dan pay-it-forward atau pendiri start-up menjadi bagian dari ekosistem yang berkelanjutan.
Dengan proyeksi potensi perolehan ekonomi digital sebesar itu, Pemerintah Indonesia turut mendorong kemunculan start-up baru generasi kedua dan seterusnya. Menurut pengacara teknologi firma hukum global Withers, Joel Shen, pemerintah sebenarnya dapat menawarkan kepada pihak ketiga untuk menyediakan layanan yang berguna bagi start-up baru. Sebagai contoh, layanan mentoring, konsultasi bisnis, hukum, akuntansi, dan pajak.
Gagasan di balik rencana pengembangan proyek ”Silicon Valley” Indonesia dan ide-ide sejenisnya juga semestinya tidak terjebak politik praktis. Ide semacam itu perlu ditekankan dengan perumusan kebijakan yang mengakomodasi lahirnya talenta terampil, perusahaan rintisan baru generasi kedua dan seterusnya, bahkan riset teknologi baru.
Start-up generasi pertama yang sudah mapan dan punya program mentoring patut diapresiasi. Wirausaha bidang teknologi baru dan masih berskala kecil harus mampu meraih koneksi kolaborasi dengan pemain lebih besar. Dengan demikian, prediksi dampak ekonomi digital bagi kesejahteraan rakyat benar adanya, bukan lagi berkutat soal potensi. Apalagi, hanya suguhan nilai-nilai fantastis valuasi ataupun perolehan pendanaan dari pasar saham.