Kebersihan dan Kesehatan Syarat Penting Wisata di Perdesaan
Sebelum pandemi Covid-19, daya saing pariwisata Indonesia menyangkut kesehatan, kebersihan, dan lingkungan keberlanjutan termasuk rendah. Pandemi menjadi momentum memperbaiki aspek tersebut yang dimulai dari desa wisata.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebelum pandemi Covid-19, pengelolaan kesehatan, kebersihan, dan lingkungan berkelanjutan di destinasi wisata masih menjadi persoalan sehingga memengaruhi performa daya saing Indonesia. Permasalahan ini semestinya terus diperbaiki di tengah pandemi yang tidak berkesudahan dan tren pemulihan pariwisata dari desa.
Laporan dua tahunan Peringkat Daya Saing Pariwisata yang diterbitkan Forum Ekonomi Dunia (WEF) merujuk pada empat faktor beserta pilar turunannya. Keempat faktor itu adalah lingkungan, kebijakan pariwisata dan penerapannya, infrastruktur, serta sumber daya alam dan budaya.
Pada tahun 2019, peringkat daya saing pariwisata Indonesia berada di posisi ke-40 dari 140 negara, membaik 10 peringkat dibanding 2017. Di balik pencapaian positif ini, Indonesia masih menyimpan persoalan lingkungan. Pada faktor lingkungan, khususnya pilar kesehatan dan kebersihan, Indonesia masih berada di peringkat ke-102. Adapun faktor kebijakan pariwisata, khususnya pilar lingkungan berkelanjutan, Indonesia berada di peringkat ke-135.
Dari skala 1 (terendah) sampai 7 (tertinggi), total skor yang diraih Indonesia adalah 4,3 untuk penilaian pilar kesehatan dan kebersihan, keselamatan dan keamanan, keberlanjutan lingkungan, dan infrastruktur pelayanan wisatawan.
”Infrastruktur kesehatan dan kebersihan penting sekali bukan hanya di perkotaan, melainkan juga di perdesaan. Infrastruktur ini semakin penting di tengah pandemi Covid-19. Ini bukan semata-mata untuk menjaga kesehatan warga ataupun calon wisatawan, tetapi untuk kelangsungan masa depan desa itu sendiri,” ujar Pendiri dan CEO Yayasan Berbangsa Vitria Ariani dalam webinar ”Membangun Daya Saing Desa Wisata Berbasis Potensi Lokal, UMKM, Digitalisasi, dan Ekonomi Kreatif”, Rabu (28/7/2021), di Jakarta.
Pada tahun 2019, peringkat daya saing pariwisata Indonesia berada di posisi ke-40 dari 140 negara, membaik 10 peringkat dibanding 2017. Di balik pencapaian positif ini, Indonesia masih menyimpan persoalan lingkungan.
Kampung, nagari, gampong, dan sebutan lainnya untuk desa, apabila dikembangkan menjadi desa wisata, tidak bisa disamakan dengan konsep wisata desa. Konsep desa wisata berarti warga harus berpartisipasi aktif mengembangkan daya tarik, infrastruktur, sampai menjaga kesehatan, kebersihan, dan lingkungan keberlanjutan. Sementara konsep wisata desa berarti atraksi pariwisata dikelola oleh entitas dari luar desa, seperti perusahaan swasta.
Mengutip buku Pedoman Desa Wisata yang diterbitkan oleh delapan kementerian/lembaga (Juni 2021), jumlah desa wisata di Indonesia mencapai 7.275 desa di 34 provinsi.
Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Pariwisata Yapari Bandung, Diana Simanjutak, mengatakan, berdasarkan pengalamannya mendampingi pembinaan pondok wisata (homestay) di desa wisata, masih ada pemilik yang belum memahami cara mengelola, mulai dari urusan keuangan hingga lingkungan. Sebagian pemilik pondok wisata menjalankan bisnisnyasebagai aktivitas sosial dan ada yang semata-mata mencari keuntungan. Kedua kasus ini berpengaruh terhadap aspek kesehatan, kebersihan, dan keberlanjutan lingkungan.
”Pemahaman kesehatan, kebersihan, dan keberlanjutan lingkungan warga di desa wisata seringkali berbeda dengan wisatawan yang datang dari luar desa, seperti dari perkotaan,” ujar Diana. Perbedaan pandangan ini dia khawatirkan terjadi ketika di situasi normal baru pandemi Covid-19.
Konsep desa wisata berarti warga harus berpartisipasi aktif mengembangkan daya tarik, infrastruktur, sampai menjaga kesehatan, kebersihan, dan lingkungan keberlanjutan.
Oleh karena itu, imbuh Diana, sertifikasi penting diterapkan mulai dari sertifikasi desa wisata hingga kebersihan, kesehatan, dan keberlanjutan lingkungan. Apabila memungkinkan, pemerintah desa bisa mengakomodasi pengurus desa wisata beserta layanan akomodasi di dalamnya untuk mengambil sertifikasi keterampilan.
”Sebenarnya, implementasi keberlanjutan lingkungan di desa wisata bisa mengambil nilai kearifan lokal. Warga desa dapat mengoptimalkan sumber daya alam yang ada untuk dikelola dengan prinsip ramah lingkungan. Siapa tahu malah mampu menciptakan produk ekonomi kreatif yang bisa dijual secara daring selama pembatasan sosial karena pandemi Covid-19,” ucap Diana.
Deputi Bidang Sumber Daya dan Kelembagaan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Wisnu Bawa Tarunajaya mengatakan, pihaknya telah melakukan pendampingan terhadap 67 desa wisata di 16 provinsi. Kementerian bekerja sama dengan 17 asosiasi/komunitas dan 20 perguruan tinggi. Pendampingan berlangsung selama dua minggu sampai sebulan.
Mengenai kompetensi sumber daya manusia di desa wisata, kementerian menargetkan akan memfasilitasi sertifikasi 16.300 orang tenaga kerja pada 2021. Hingga sekarang, jumlah tenaga kerja pariwisata yang sudah tersertifikasi dari target itu sebanyak 9.000 orang.
”Sertifikasi profesi pekerja pariwisata tetap mengacu ke Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) yang sudah ada. Hal yang paling dibutuhkan oleh desa wisata sekarang ini pendampingan. Makanya, kami gencarkan pendampingan dengan mengajak akademisi yang kompeten tentang isu desa wisata,” kata Wisnu.