Desa Wisata di Indonesia Masih dalam Tahap Rintisan dan Berkembang
Keberadaan desa wisata hanya dilihat sebatas potensi alam dan budaya. Lantaran terpaku pada potensi, urusan tata kelola hingga sumber daya manusia terabaikan.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah desa wisata yang telah tersertifikasi saat ini baru 16 desa. Sebanyak 70 persen di antaranya merupakan desa wisata rintisan dan berkembang.
Ketua Umum Asosiasi Desa Wisata Indonesia (Asidewi) Andi Yuwono, Jumat (16/7/2021), di Jakarta, menyampaikan hal tersebut. Sisanya, desa wisata tersertifikasi masuk kategori desa wisata maju dan mandiri.
”Di Indonesia, hingga sekarang, keberadaan desa wisata hanya dilihat sebatas potensi alam dan budaya. Pandangan ini tidak salah karena kenyataannya memang demikian. Sayangnya, karena terpaku pada potensi, urusan tata kelola hingga sumber daya manusia desa wisata menjadi kurang diperhatikan,” ujarnya.
Sejalan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2016 tentang Desa, terdapat fenomena desa mengklaim sebagai desa wisata. Beberapa peraturan turunan mengenai penggunaan dana desa pun memperbolehkan pemanfaatan dana desa untuk pengembangan wisata.
Menurut Andi, hal itu tidak salah karena indikator baku untuk membangun desa wisata belum ada. Sertifikasi yang dilakukan pemerintah bersama asosiasi bertujuan untuk menilai standar pelayanan kepada wisatawan, seperti standar akomodasi pondok wisata (homestay).
”Makanya, banyak desa yang mengklaim desa wisata akhirnya mati dan hidup. Hanya mengandalkan potensi, tetapi manajerial hingga sumber daya manusia desa tidak terkelola yang berakibat kunjungan wisatawan lama-lama berkurang,” katanya.
Desa wisata terbagi menjadi tingkatan rintisan, berkembang, maju, dan mandiri. Desa wisata tersertifikasi yang masuk ke kategori maju dan mandiri berarti pengelolanya menyadari pentingnya tata kelola dan pembinaan sumber daya manusia.
Ketua Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia (ICPI) Azril Azahari menambahkan, ke-16 desa wisata tersertifikasi tersebut dominan berada di Jawa. Tingkatan desa wisata rintisan, berkembang, maju, dan mandiri bersifat ”cair”. Dengan kata lain, suatu desa wisata yang sudah tersertifikasi lalu masuk kategori maju dapat turun tingkatan menjadi berkembang apabila desa bersangkutan abai terhadap tata kelola.
”Desa wisata bisa naik ke tingkatan sebagai desa wisata maju dan mandiri karena komunitas warga dikuatkan, bukan menggantungkan bantuan dari luar desa. Istilahnya, pariwisata berbasis komunitas dari dalam desa bersangkutan sudah kuat. Komunitasnya paham bagaimana mengelola serta memajukan potensi alam, budaya, dan membina keterampilan warga desa,” ujarnya.
Azril lantas mencontohkan desa yang kaya perkebunan kopi. Komunitas warganya dapat mengoptimalkan potensi kekayaan alam itu sebagai daya tarik wisata, seperti menjual produk minuman kopi dan kerajinan batik berbahan dasar ampas kopi.
Di sela-sela pembukaan bimbingan teknis Anugerah Desa Wisata 2021, Deputi Bidang Pengembangan Destinasi dan Infrastruktur Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf/Baparekraf), Vinsensius Jemadu menyebutkan akan ada sertifikasi desa wisata kepada 60 desa pada tahun 2021. Harapannya, sampai 2024 sudah ada lebih dari 200 desa wisata yang tersertifikasi.
”Sertifikasi Desa Wisata akan menilai aspek keberlanjutan lingkungan, pengelolaan, dampak ekonomi, serta sosial budaya,” katanya.
Vinsensius mengatakan, pemerintah tetap menyelenggarakan Anugerah Desa Wisata tahun 2021 sebagai bagian dari fokus kebijakan pengembangan desa berkualitas dan berdaya saing, meski pandemi Covid-19 masih berlangsung. Lebih dari 1.600 desa mendaftar. Pengumuman pemenang dilakukan pada 7 Desember 2021 mendatang.
Desa-desa yang telah mendaftar Anugerah Desa Wisata akan dinilai dari daya tariknya, standar pondok wisata, fasilitas digital, souvenir, toilet, sampai protokol kesehatan kebersihan, kesehatan, keamanan, dan lingkungan keberlanjutan (CHSE).
Desa-desa yang telah mendaftar Anugerah Desa Wisata akan dinilai daya tarik pariwisata, standar pondok wisata, konten, fasilitas digital, souvenir, toilet, sampai protokol kesehatan kebersihan, kesehatan, keamanan, dan lingkungan keberlanjutan (CHSE).
Andi menambahkan, di tengah pandemi Covid-19, desa wisata juga terdampak. Desa tidak boleh menerima kunjungan wisatawan. Akibatnya, perekonomian desa pun terganggu.
Pemerintah telah menetapkan tiga prioritas penggunaan dana desa 2021 dengan mempertimbangkan pandemi Covid-19, yakni pemulihan ekonomi, program nasional sesuai kewenangan desa, dan adaptasi kebiasaan baru desa aman Covid-19.
”Hal yang sebenarnya paling dibutuhkan oleh desa wisata sekarang adalah bantuan langsung tunai. Adanya program Anugerah Desa Wisata sebenarnya untuk menjaga asa komunitas desa wisata agar tidak padam di tengah pandemi Covid-19,” imbuhnya.