Hadang Kapal Ikan Asing Ilegal, Kapal Pukat Diizinkan Beroperasi di Perbatasan
Guna menghadang pencurian ikan oleh kapal asing ilegal di wilayah perbatasan, pemerintah mengizinkan operasi kapal ikan dengan alat tangkap pukat. Wilayah itu antara lain Laut Natuna Utara dan Laut China selatan.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah sebenarnya telah melarang penggunaan alat tangkap pukat ikan dan sejenisnya di perairan teritorial. Namun, penggunaannya akan diizinkan untuk penangkapan di perairan perbatasan negara guna menghalau kapal asing yang kerap mencuri ikan dengan menggunakan pukat harimau atau trawl.
Larangan pemakaian alat itu tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18 Tahun 2021 yang diundangkan pada 4 Juni 2021. Di Pasal 7 Ayat (3) regulasi itu disebutkan, alat penangkapan ikan yang dikategorikan mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan untuk kategori jaring tarik meliputi cantrang dan sejenisnya.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Muhammad Zaini Hanafi menyatakan, pemanfaatan alat tangkap jenis pukat bertujuan mengatasi masalah pencurian sumber daya ikan oleh kapal asing di wilayah perbatasan. Kapal-kapal itu kerap memakai pukat harimau.
”Relaksasi ini untuk menyaingi kapal-kapal ikan asing ilegal di perbatasan yang menggunakan trawl,” kata Zaini dalam ”Bincang Bahari: Tata Kelola Penangkapan Ikan untuk Indonesia Makmur dan Kupas Tuntas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18 Tahun 2021”, secara daring, Selasa (27/7/2021).
Penggunaan pukat akan diizinkan di perairan perbatasan, antara lain di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 711 Laut Natuna Utara dan Laut China selatan, WPP-RI 572 meliputi perairan Samudra Hindia sebelah barat Sumatera dan Selat Sunda, serta WPP-RI 573 meliputi perairan Samudra Hindia sebelah selatan Jawa hingga sebelah selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian barat.
Terukur
Pemerintah juga mendorong penangkapan terukur guna mengurai ketimpangan pemanfaatan perikanan antarwilayah, terutama antara barat dan timur Indonesia. Terdapat sejumlah WPP yang dinilai masih bisa dioptimalkan untuk menggenjot produksi ikan.
Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Riza Damanik menyatakan, kebijakan pemerintah terkait penangkapan terukur perlu diakselerasi dengan percepatan penyediaan sarana dan prasarana. Selama ini, ada ketimpangan sarana dan prasarana perikanan yang menyebabkan pemanfaatan ikan tak sejalan dengan potensi sumber daya.
Potensi ikan di wilayah timur Indonesia mencapai 60 persen dari total potensi nasional, tetapi jumlah kapal ikan di sana hanya 41 persen dari total armada perikanan nasional. Sebaliknya, potensi ikan di barat Indonesia hanya 40 persen, sedangkan kapal ikan di wilayah barat mencapai 59 persen dari total armada.
Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB Univesity Ari Purbayanto berpendapat, penangkapan terukur harus berbasis validasi data dari Komisi Nasional Kajian Sumber Daya Ikan (Komnas Kajiskan). Hingga kini, Komnas Kajiskan masih menghadapi kendala mendapatkan data dengan validitas bagus.
Terkait penggunaan pukat, pemerintah perlu memastikan lokasi operasi serta mekanisme pengawasan guna mencegah pelanggaran dan melindungi nelayan kecil.