Beban kelompok wirausaha bersifat ganda. Para wirausahawan harus memastikan nasib usahanya tetap berjalan, di samping tetap memenuhi hak para karyawan.
Oleh
Agnes Theodora & Yohan Wahyu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 yang sudah berjalan hampir satu setengah tahun ini telah mengoyak kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Hasil survei Litbang Kompas pada Juli ini merekam, kelompok wirausaha atau pengusaha tampak lebih skeptis menghadapi pandemi ini dibandingkan kelompok responden non pekerja maupun pekerja.
Beban kelompok wirausaha memang bersifat ganda. Para wirausahawan harus memastikan nasib usahanya tetap berjalan, di samping tetap memenuhi hak karyawan. Tingkat keyakinan kalangan ini untuk bertahan melewati pandemi, tecermin dari angka 81,3 persen.
Angka ini meski tampak tinggi, masih lebih rendah daripada tingkat keyakinan kelompok responden lainnya. Kelompok nonpekerja tercatat memiliki keyakinan 88,8 persen, dan responden kelompok pekerja bahkan hampir seluruhnya (93,6 persen) meyakini mereka akan melewati pandemi dengan selamat.
Pola yang sama juga terlihat dari pendapat mereka terkait solusi atau cara mempertahankan penghasilan. Kelompok responden pekerja maupun non pekerja cenderung memiliki skor lebih tinggi, 67,8 persen dan 57,9 persen ketimbang responden wirausaha/pengusaha yang hanya mencapai 45,1 persen.
Tidak heran jika dalam hal penyiasatan kondisi ekonomi, kelompok responden wirausaha/pengusaha cenderung lebih hati-hati dan banyak pertimbangan. Upaya mencari tambahan penghasilan baru, menggunakan tabungan, bahkan menjual barang (aset) untuk memenuhi kebutuhan keuangan, tampak cukup dominan dilakukan kalangan wirausahawan.
Dalam hal penghematan, misalnya, sebanyak 76 persen responden dalam kelompok wirausaha/pengusaha menyatakan hal itu mendesak dilakukan. Bagi wirausaha, apa pun harus dilakukan sebagai penyelamatan diri. Semua ini tidak lepas dari upaya untuk memperkuat daya tahan menghadapi pandemi.
Fase bertahan
Senada dengan temuan survei Litbang Kompas, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bob Azzam, Senin (26/7/2021), mengatakan, kondisi berat dan pesimisme dirasakan berbagai kalangan pengusaha, baik level mikro, kecil, menengah (UMKM), maupun pengusaha besar. Namun, tantangan paling berat dihadapi pengusaha UMKM, yang mendominasi 99 persen dari total pengusaha nasional.
”Saat ini pengusaha ada yang menghadapi fase survival (berusaha bertahan), ada yang masuk masa recovery (pemulihan), dan ada yang berpikir ke depan (new normal). Ini memang berbeda-beda tergantung sektornya, tetapi mayoritas pelaku UMKM itu masih ada di fase survival,” kata Bob.
Meski ikut terdampak pandemi, sejumlah perusahaan besar umumnya masih bisa bertahan dengan kekuatan sendiri. Beberapa sektor bahkan sudah bisa berpikir jauh ke depan untuk berinovasi, seperti sektor telekomunikasi dan farmasi yang tumbuh pesat selama pandemi.
Pembelajaran
Oleh karena itu, menurut Bob, skema dan implementasi kebijakan pemulihan ekonomi di masa-masa kritis ini sebaiknya diarahkan pada pengusaha UMKM serta pekerja mandiri yang bergerak di sektor informal. ”Dampak yang mereka rasakan itu tecermin betul selama penerapan PPKM darurat kemarin,” katanya.
Menurut Bob, pandemi harus dijadikan momen pembelajaran untuk segera membenahi infrastruktur dan pendataan terkait para pelaku ekonomi informal dan berskala kecil menengah. Pendataan yang masih lemah membuat bantuan sosial dan insentif sulit mencapai mereka yang memang membutuhkan.
Adapun terkait kebutuhan pengusaha berskala menengah-besar, pemerintah perlu menyesuaikan program dan kebijakannya dengan kebutuhan tiap sektor dan skala usaha.
”Untuk usaha yang lagi survival, yang dibutuhkan itu bantuan menjaga cash flow. Untuk yang lagi recovery, umumnya butuh modal kerja. Sementara yang sudah fokus pada new normal butuh insentif untuk investasi,” ucapnya.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah Ikhsan Ingratubun mengatakan, pengusaha pada intinya hanya menginginkan satu hal, yaitu iklim usaha yang kondusif. Namun, ia menyadari, selama pandemi belum dibereskan, iklim usaha akan terus tidak menentu.
Oleh karena itu, ia berharap kondisi saat ini tidak dibuat semakin berat dengan adanya kebijakan yang tidak pasti. Menurutnya, kebijakan PPKM sebenarnya dapat efektif diterapkan, asalkan sebelum pembatasan ketat diterapkan, pelaku usaha mikro dan kecil mendapat bantuan tunai yang memadai untuk mempertahankan usahanya.
”Sayangnya, saat PPKM diterapkan, jaring pengaman sosial itu tidak disiapkan dan langsung disalurkan. Justru PPKM duluan, urusan uang dan bantuan urusan belakangan. Kesehatan memang prioritas, tetapi urusan ekonomi yang berhubungan dengan urusan hidup masyarakat jangan dihiraukan,” kata Ikhsan.
Perlu terobosan
Menurut Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance Tauhid Ahmad, perlu ada perubahan besar terkait strategi pemerintah menangani situasi krisis. Sejauh ini, ia menilai, pemerintah belum memiliki terobosan untuk menangani kesehatan dan ekonomi.
”Sifatnya masih sebatas reaktif. Anggaran memang ditambah terus, tetapi beberapa program yang tidak efektif masih dipertahankan sehingga uang terbuang percuma. Birokrasi juga masih berjalan dengan ragu-ragu, tidak tangkas, akhirnya serapan anggaran rendah dan bantuan tidak sampai ke bawah,” katanya.
Lebih lanjut, berbagai perencanaan dengan skenario normal, seperti pembiayaan proyek infrastruktur, pembelian senjata, dan program lainnya, perlu dihentikan. Anggarannya dialihkan untuk penanganan kesehatan dan bantalan ekonomi.
”Kalau pemerintah melakukan terobosan seperti itu, baru terlihat ada langkah riil, yang pada akhirnya bisa menambah optimisme dan keyakinan masyarakat,” ujarnya.