Kedaruratan dan Tambahan Anggaran Rp 55,21 Triliun
Pemerintah kembali mengubah prioritas anggaran untuk membantu rakyat menghadapi pandemi dan membantu dunia usaha untuk pulih kembali. Ketepatan sasaran dari anggaran ini menjadi kunci kesuksesan atasi pandemi.
Pemerintah melakukan refocusing lagi atau mengubah prioritas anggaran yang ditujukan untuk membantu rakyat menghadapi pandemi dan membantu dunia usaha untuk pulih kembali.
Data Kementerian Keuangan menunjukkan, terdapat tambahan anggaran sebesar Rp 45,32 triliun atau naik dari Rp 699,43 triliun menjadi Rp 744,75 triliun untuk pemulihan ekonomi nasional.
Namun, Presiden Joko Widodo dalam keterangannya pada 20 Juli 2020 menyebutkan ada tambahan anggaran sebesar Rp 55,21 triliun seiring dengan pemberlakuan PPKM Darurat dan perpanjangannya. Jika demikian, anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) akan menjadi Rp 754,64 triliun.
Sebagai respons terhadap lonjakan pasien yang terkonfirmasi positif Covid-19 dan pemberlakuan PPKM Darurat 3-20 Juli 2021, Kementerian Keuangan meningkatkan anggaran beberapa bidang program PEN. Peningkatan terutama diprioritaskan untuk bidang kesehatan dan perlindungan sosial.
Anggaran PEN yang semula Rp 699,43 triliun, naik menjadi Rp 744,75 triliun. Dengan adanya penambahan tersebut anggaran PEN mencapai 27 persen dari anggaran belanja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021.
Sekitar separuh (54 persen) dari anggaran PEN tersebut diperuntukkan bagi anggaran kesehatan dan perlindungan sosial. Anggaran untuk bidang kesehatan naik sebanyak Rp 38,65 triliun atau 22 persen dari Rp 176,3 triliun menjadi Rp 214,95 triliun. Sedangkan anggaran perlindungan sosial bertambah Rp 30,43 triliun atau 19,3 persen dari Rp 157,41 triliun menjadi Rp 187,84 triliun.
Anggaran untuk program insentif usaha hanya naik Rp 4,37 trilun atau 7,5 persen. Sedangkan anggaran untuk dukungan UMKM-korporasi dan program prioritas masing-masing turun sebanyak 12,8 persen dan 3,7 persen.
Anggaran bidang kesehatan ditingkatkan karena ada tambahan klaim perawatan pasien Covid-19 akibat kasus yang melonjak. Selain itu, karena ada kebutuhan penambahan fasilitas perawatan, juga diperlukan tambahan dana untuk konversi sejumlah asrama haji menjadi rumah sakit darurat.
Kebutuhan tenaga kesehatan juga bertambah, sehingga diperlukan tambahan insentif bagi tenaga kesehatan baru. Pemerintah berencana menambah 3.000 dokter baru dan 20.000 perawat.
Diperlukan pula dana untuk percepatan program vaksinasi melalui TNI-Polri dan bidan BKKBN. Juga penyediaan obat baik untuk pasien yang dirawat maupun bagi pasien yang menjalani isolasi mandiri, penyediaan suplai oksigen, insentif perpajakan, dan penanganan kesehatan lainnya.
Alokasi anggaran kesehatan terbesar ditujukan untuk membayar klaim perawatan pasien Covid-19 (30 persen) dan program vaksinasi (27 persen). Besaran alokasi ini cukup menjawab situasi kedaruratan yang muncul akibat lonjakan kasus.
Adanya penambahan anggaran untuk tenaga kesehatan sebesar Rp 1,08 triliun sehingga menjadi Rp 18,4 triliun diharapkan dapat mengakhiri persoalan keterlambatan pemberian insentif bagi nakes yang telah berjibaku bertaruh nyawa menangani pandemi.
Baca juga : Nasib Tenaga Kesehatan di Ujung Tanduk
Jangkauan perlindungan sosial
Anggaran perlindungan sosial meningkat karena adanya tambahan bantuan sosial (bansos) tunai, penyaluran kartu sembako, program bantuan beras, perpanjangan diskon listrik, dan tambahan alokasi anggaran prakerja.
Dari pemaparan Kemenkeu, Program Keluarga Harapan (PKH) berlanjut yang mencakup 10 juta kelompok penerima manfaat (KPM). Penyaluran kartu sembako bagi 18,8 juta KPM dengan besaran Rp 200.000 per bulan. Khusus di bulan Juli dan Agustus ada tambahan sehingga penerima mendapat Rp 400.000 per bulan.
Sementara itu, bagi penerima PKH dan kartu sembako ini juga akan mendapatkan bantuan beras Bulog sebesar 10 kilogram per keluarga. Hal ini berarti sebanyak 28,8 juta keluarga atau setara dengan 115,2 juta orang menjadi penerima dua program, yaitu PKH dan beras Bulog serta kartu sembako dan beras Bulog.
Program lainnya adalah target 10 juta keluarga atau setara dengan 40 juta orang yang mendapat bansos tunai di luar penerima PKH dan kartu sembako. Besaran bansos tunai adalah Rp 300.000 per keluarga. Ada pula sasaran bansos tunai usulan pemda yang mencakup 5,9 juta KPM.
Diskon listrik berlanjut yang menyasar 32,6 juta pelanggan. Sementara bantuan rekening minimum biaya beban atau abonemen ditargetkan untuk 1,14 juta pelanggan.
Program prakerja dan bantuan subsidi upah akan diberikan kepada 8,4 juta peserta. Subsidi upah, mengacu pada program yang sama tahun lalu, diberikan kepada pekerja yang memiliki upah di bawah Rp 5 juta per tahun atau Rp 600.000 per bulan.
Perpanjangan subsidi kuota internet diberikan kepada 38,1 juta siswa dan tenaga pendidik hingga Desember. Adapun program bantuan langsung tunai (BLT) desa ditujukan kepada 8 juta keluarga dengan besaran Rp 300.000 per bulan selama 12 bulan.
Baca juga : Tekanan Ekonomi Dari Dua Sisi
40 persen terbawah
Dari semua program di atas, terlihat program perlindungan sosial berusaha menjangkau 40 persen masyarakat bawah yang tergolong miskin. Pemerintah berusaha menjaga ketahanan ekonomi kelompok ini agar angka kemiskinan tidak bertambah banyak.
Namun, sasaran program-program tersebut tidak jauh berbeda dengan target tahun lalu sehingga belum sepenuhnya menjawab situasi kedaruratan di sisi sosial.
Masyarakat yang terdampak pandemi ketika mobilitas dibatasi dan diperketat bukan saja kelompok 40 persen terbawah. Tetapi juga masyarakat yang berada di kelompok 40 persen bagian tengah.
Itu sebabnya, imbauan pemerintah untuk masyarakat tetap tinggal di rumah tidak sepenuhnya ditaati masyarakat. Kelompok 40 persen di tengah ini tidak mendapat kompensasi dan bantuan secara langsung, sehingga tetap beraktivitas untuk mendapatkan upah atau penghasilan dari berdagang.
Di masa kedaruratan diterapkan, anggaran yang peka dengan dampak kedaruratan seharusnya bisa menjangkau masyarakat yang lebih luas. Keadaan di lapangan yang darurat harus tergambarkan dalam pengalokasian anggaran. Sehingga, kepatuhan rakyat bisa didapat untuk mengurangi mobillitas dan aktivitas demi menahan laju penyebaran virus.
Data dari Google Mobility Reports tanggal 12 Juli 2021 menunjukkan sampai dengan hari ke sepuluh penerapan PPKM Darurat, pergerakan masyarakat belum menurun secara signifikan. Bahkan, untuk beberapa area terjadi peningkatan mobilitas.
Pergerakan di wilayah permukiman dan wilayah yang menjadi tempat penjualan makanan dan obat-obatan, misalnya, justru meningkat masing-masing 14 persen dan 12 persen.
Penurunan mobilitas terjadi dalam rute ke area perkantoran, pusat perbelanjaan, taman hiburan/rekreasi, dan transportasi publik. Namun, angka penurunannya di bawah 50 persen. Penurunan yang cukup signifikan adalah dalam hal penggunaan transportasi publik sebesar 48 persen.
Kemampuan pemerintah untuk menambah anggaran PEN sebesar Rp 45,32 triliun (versi Kemenkeu) atau Rp 55,21 triliun (versi presiden) tidak terlalu signifikan menanggapi situasi kedaruratan yang menjadi pertimbangan pemberlakuan PPKM darurat. Anggaran hanya naik 6,5 persen hingga 8 persen.
Tambahan alokasi tersebut didapat dari menggeser atau menyisir anggaran-anggaran di kementerian-lembaga ataupun di daerah. Meskipun tambahan anggaran tidak besar, ujian terberatnya tetap terletak pada ketepatan sasaran dalam menyalurkan bantuan.
Kebijakan fiskal ini mengisyaratkan pemerintah gamang untuk meminta masyarakat berdiam diri di rumah, apalagi untuk jangka waktu yang lebih lama, tanpa kompensasi yang memadai. Dengan dukungan anggaran sebesar itu, publik pun bisa memahami mengapa pelonggaran kegiatan masyarakat harus segera dilakukan. (LITBANG KOMPAS).
Baca juga : Tantangan Menjadi Ekonomi Terbesar ke-7 di Dunia