Gugatan Peternak Rakyat, Alarm Industri Perunggasan
Selain ketentuan soal harga acuan, pemerintah dinilai mengabaikan amanat konstitusi soal perlindungan petani. Gugatan peternak rakyat merupakan alarm bagi kelangsungan industri perunggasan nasional di masa depan.
Oleh
Mukhamad Kurniawan
·3 menit baca
Kamis (22/7/2021) pekan lalu, para peternak yang tergabung dalam Paguyuban Peternak Rakyat Nusantara resmi menggugat pemerintah ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Mereka menilai pemerintah gagal menstabilkan harga ayam hidup di tingkat produsen sesuai regulasi.
Mereka menuntut ganti rugi Rp 5,4 triliun atas kerugian yang diderita peternak rakyat selama kurun waktu 2019-2020. Derita timbul karena harga jual ayam hidup berulang anjlok, sementara harga sarana produksi cenderung tinggi, seperti pakan, obat, bibit, dan jagung.
Sebelum gugatan itu, selama kurun waktu Maret-Mei 2021, para peternak menyomasi Menteri Pertanian, Menteri Perdagangan, dan Presiden RI terkait harga jual ayam hidup yang anjlok di bawah harga acuan pemerintah. Sesuai dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 7 Tahun 2020, harga acuan pembelian di tingkat produsen ditetapkan Rp 19.000 per kilogram (kg) hingga Rp 21.000 per kg, sementara harga bibit ayam (DOC FS) Rp 5.000 per ekor hingga Rp 6.000 per ekor.
Akan tetapi, ketentuan soal harga acuan hanya berlaku di atas kertas. Sebab, situasi di lapangan kerap berlaku sebaliknya. Harga jual ayam hidup anjlok di bawah harga acuan, sementara harga bibit lebih tinggi dibandingkan dengan acuan. Kerugian peternak berlipat karena harga jual turun di tengah kenaikan ongkos produksi.
Data yang dipaparkan perwakilan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dalam diskusi yang digelar Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi, Kamis (22/7/2021), misalnya, menunjukkan, harga jual ayam hidup di tingkat peternak per 13 Juli 2021 hanya Rp 13.662 per kg, sementara harga DOC FS berkisar Rp 8.000 per ekor hingga Rp 9.000 per ekor.
Sejumlah upaya memang telah ditempuh pemerintah, antara lain pengendalian produksi melalui kebijakan afkir dini induk ayam umur kurang dari 58 minggu dan pemusnahan telur tetas fertil (cutting hatched egg fertil) umur 19 hari. Langkah serupa telah berulang ditempuh pemerintah sejak beberapa tahun lalu.
Akan tetapi, problem fluktuasi harga masih berulang, sementara produksi sering surplus sehingga turut menekan harga jual ayam di tingkat peternak. Akibatnya, industri perunggasan nasional, penyerap sekitar 12 juta tenaga kerja dengan perputaran uang sekitar Rp 400 triliun per tahun, meredup beberapa tahun terakhir.
Tahun lalu, ketika sektor pertanian secara umum berkinerja baik, yakni tumbuh 1,75 persen di tengah kontraksi ekonomi nasional 2,07 persen, subsektor peternakan tumbuh negatif 0,33 persen. Situasi itu terutama dipicu oleh rendahnya harga daging ayam dan telur ayam di tingkat peternak.
Selain menyerap tenaga kerja dan memutar uang dalam jumlah yang cukup besar, industri perunggasan nasional juga berjasa menyediakan sumber pangan protein hewani. Para pelaku subsektor ini mampu memenuhi kebutuhan daging dan telur ayam nasional selama bertahun-tahun.
Akan tetapi, ada problem laten yang belum tertangani dan menggembosi industri, yakni ”pertempuran” tidak seimbang antara perusahaan peternakan terintegrasi (integrator) dan peternak skala kecil (rakyat). Guru Besar Fakultas Peternakan IPB University Muladno Basar menganalogikannya dengan pertandingan sepak bola antara pemain kelas rukun tetangga (RT) dan pemain kelas internasional.
Kedua pemain dengan kapasitas yang jauh berbeda itu bertanding di lapangan yang sama. Integrator yang menguasai lini produksi bibit, pakan, dan obat bisa membudidayakan ayam. Sementara peternak kecil yang menggantungkan bibit, pakan, dan obat dari integrator mesti menjual ayam di pasar yang sama. Akibatnya mudah ditebak, permainan jadi tidak seimbang. Hujan gol di gawang pemain kecil dan satu per satu pemainnya mati kelelahan.
Situasi itu telah bertahun-tahun terjadi. Sudah tak terhitung peternak kecil bangkrut dan menutup kandang. Situasi itu pula yang melatari gugatan. Sebab, bukan hanya soal harga acuan, pemerintah juga dinilai telah mengabaikan konstitusi. Pasal 7 Undang-Undang No 19/2013, misalnya, mengamanatkan pemerintah melindungi petani, termasuk peternak, melalui strategi harga komoditas. Kini, melalui gugatannya, peternak seolah sedang membunyikan alarm.