Harga Tak Kunjung Stabil, Peternak Rakyat Gugat Pemerintah Rp 5,4 Triliun
Pemerintah seolah-olah membiarkan nasib peternak rakyat semakin terpuruk dengan tidak pernah mengeluarkan terobosan kebijakan yang benar-benar berpihak dan melindungi peternak rakyat.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Akibat harga ayam hidup siap potong di tingkat peternak selalu di bawah acuan, peternak menggugat pemerintah ke pengadilan tata usaha negara dan menuntut ganti rugi Rp 5,4 triliun. Peternak rakyat menilai, pemerintah tidak menjalankan kewajiban konstitusinya dalam melindungi produsen ayam pedaging.
Ketua Paguyuban Peternak Rakyat Nusantara (PPRN) Alvino Antonio, yang mewakili pribadi dan peternak rakyat di tingkat nasional, menjadi penggugat dengan didampingi Hermawanto selaku kuasa hukum. Alvino melayangkan gugatan pada Kamis (22/7/2021) dengan nomor 173/6/TF/2021/PTUN-JKT menyusul tiga nota keberatan yang diajukan kepada Menteri Pertanian sebagai tergugat I, Menteri Perdagangan sebagai tergugat II, dan Presiden RI sebagai tergugat III.
Alvino mengatakan, peternak melayangkan gugatan kepada pemerintah karena menilai pemerintah tidak berhasil menstabilkan harga ayam hidup siap potong (livebird) di tingkat produsen sesuai regulasi. ”Padahal, sudah ada permendag (peraturan menteri perdagangan) yang menjadi acuan,” ujarnya saat dihubungi, Jumat (23/7/).
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 7 Tahun 2020 tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat Petani dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen menyebutkan, harga acuan daging ayam ras di tingkat peternak sebesar Rp 19.000-Rp 21.000 per kilogram. Adapun harga bibit ayam pedaging umur sehari (DOC) senilai Rp 5.000-Rp 6.000 per kilogram.
Peternak melayangkan gugatan kepada pemerintah karena menilai pemerintah tidak berhasil menstabilkan harga ayam hidup siap potong (livebird) di tingkat produsen sesuai regulasi.
Akibat abai melindungi peternak dengan menjaga kestabilan harga daging ayam di tingkat produsen dan DOC sepanjang 2019-2020, Alvino menuntut pemerintah mengganti kerugian sebesar Rp 5,4 triliun. Dia merinci, kerugian selama dua tahun yang ditanggung tersebut mencakup populasi ayam di tingkat peternak rakyat mandiri yang sebesar 20 persen dari populasi ayam nasional. Dia memperkirakan, peternak rakyat mandiri merugi Rp 2.000 per kilogramnya.
Hermawanto menambahkan, tuntutan lain yang diajukan adalah peternak mendesak pemerintah menstabilkan suplai ayam hidup siap potong, pakan, dan DOC. Dengan demikian, peternak dapat merasakan kestabilan harga dari tiga komponen tersebut.
Menurut dia, Menteri Pertanian dan Menteri Perdagangan tidak melakukan tindakan hukum sesuai kewajibannya dalam stabilisasi ketersediaan harga ayam hidup, DOC, dan pakan. ”Pemerintah seolah-olah membiarkan nasib peternak rakyat semakin terpuruk dengan tidak pernah mengeluarkan terobosan kebijakan yang benar-benar berpihak dan melindungi peternak rakyat. Padahal, pemerintah punya kontrol kuat terhadap perusahaan integrator besar yang memiliki usaha dari hulu sampai hilir,” tuturnya.
Terkait perlindungan terhadap peternak, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian berkomitmen dalam menjaga stabilitas dan keseimbangan pasokan dan permintaan ayam pedaging. Hal itu terwujud melalui pengaturan dan pengendalian produksi DOC ayam siap potong (final stock/FS) yang menyesuaikan dengan permintaan.
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Nasrullah menyatakan, pengendalian produksi DOC FS dilakukan dengan penerapan afkir dini induk ayam siap potong (parent stock/PS) yang berusia lebih dari 58 minggu serta pemusnahan telur tetas fertil umur 19 hari. Menurut dia, dua langkah tersebut berdampak efektif dan signifikan terhadap perbaikan dan stabilitas harga ayam potong di tingkat peternak.
Tuntutan lain yang diajukan adalah peternak mendesak pemerintah menstabilkan suplai ayam hidup siap potong, pakan, dan DOC. Dengan demikian, peternak dapat merasakan kestabilan harga dari tiga komponen tersebut.
Sepanjang Januari-Juli 2021, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan telah menerbitkan sembilan surat edaran mengenai pengendalian produksi DOC FS melalui pemusnahan telur tetas fertil dan afkir dini PS. Dalam periode itu, realisasi telur yang dimusnahkan sebanyak 349,94 juta butir dan DOC berkurang hingga 325,79 juta ekor.
Nasrullah menambahkan, Kementerian Pertanian berupaya melindungi peternak dengan mengendalikan produksi DOC. ”Dampaknya, DOC menjadi terbatas sehingga kami juga menjembatani kepentingan para peternak dengan perusahaan pembibit supaya dapat memenuhi kebutuhan DOC peternak,” ujarnya melalui siaran pers.
Sementara itu, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menyatakan, pihaknya terus berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan serta mendengarkan masukan dari sejumlah asosiasi perunggasan. ”Selain itu, upaya pengawasan pengendalian produksi DOC FS dilakukan bersama Satgas Pangan Polri untuk memastikan tidak ada pelanggaran atau kecurangan yang dilakukan oleh perusahaan pembibit,” ujarnya.