Surplus Produksi Bibit, Harga Jual di Peternak Kian Tertekan
Produksi bibit ayam (”final stock”) mencapai 294 juta ekor bulan ini. Padahal, kebutuhannya diperkirakan hanya 224,64 juta ekor. Kelebihan produksi bibit bakal semakin menekan harga jual ayam hidup di tingkat peternak.
Oleh
Mukhamad Kurniawan
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Produksi bibit ayam broiler di Tanah Air diperkirakan surplus 69,4 juta ekor selama Juli 2021. Hal ini dikhawatirkan bakal semakin menekan harga jual ayam di tingkat peternak hingga jauh di bawah ongkos produksinya pada bulan depan.
Kondisi itu bakal semakin menyusahkan peternak unggas rakyat. Sebab, harga jual ayam hidup telah berulang anjlok di bawah harga acuan pembelian di tingkat peternak yang ditetapkan pemerintah, yakni Rp 19.000 per kilogram (kg) hingga Rp 21.000 per kg, seperti terjadi satu bulan terakhir.
Rofii, Subkoordinator Produksi Unggas Direktorat Perbibitan dan Produksi Ternak Kementerian Pertanian, dalam diskusi yang digelar Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka), Kamis (22/7/2021), menyebutkan, produksi bibit ayam (day old chick final stock/DOC FS) pada Juli 2021 mencapai 294 juta ekor. Sementara kebutuhannya diperkirakan 224,64 juta ekor sehingga ada potensi surplus produksi DOC FS sebanyak 69,4 juta ekor.
Potensi kelebihan produksi bibit ayam sebenarnya telah diantisipasi dengan afkir dini parent stock (PS) sebanyak 2,185 juta ekor. Langkah itu mengurangi potensi produksi DOC FS dari 296,2 juta ekor menjadi 294 juta ekor bulan ini. Namun, produksi bibit ayam masih berlebih dan dampaknya bakal berlanjut pada Agustus 2021.
Dengan produksi DPC FS sebesar itu, potensi produksi daging ayam (karkas) bulan depan diperkirakan mencapai 324.241 ton atau setara 276,42 juta ekor. Padahal, selama Agustus 2021, kebutuhan daging ayam nasional diperkirakan 247.695 ton atau setara 211,16 juta ekor. Artinya, ada kelebihan produksi daging ayam sebanyak 76.546 ton.
Surplus produksi berpotensi menekan harga jual ayam di tingkat peternak. Padahal, situasinya kini sedang tidak menguntungkan, khususnya peternak rakyat. Sebab, harga jual ayam anjlok, sementara ongkos produksinya justru naik. Kenaikan ongkos produksi terutama didorong oleh kenaikan harga bibit dan pakan.
Harga tertekan
Kepala Bidang Pengembangan Agribisnis Peternakan Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Muhamad Mawardi menyebutkan, berdasarkan data Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian dan Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar), harga jual ayam di tingkat peternak turun di bawah harga acuan sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 7 Tahun 2020, yakni Rp 19.000-Rp 21.000 per kg. Harga rata-rata ayam di tingkat peternak secara nasional pada 13 Juli 2021 tercatat Rp 13.662 per kg.
Sementara itu, harga beli DOC di peternak berkisar Rp 8.000 hingga Rp 9.000 per ekor. Angka itu di atas harga acuan penjualan DOC Rp 5.000-Rp 6.000 per ekor. Harga pakan cenderung naik dan mencapai Rp 9.676 per kg per 19 Juli 2021, sementara harga jagung telah lebih dari Rp 5.000 per kg per 9 Juli atau jauh di atas acuannya yang ditetapkan Rp 3.150 per kg.
Ketua Dewan Pembina Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional, Tri Hadiyanto menyatakan, pemerintah telah memiliki instrumen untuk melindungi peternak ataupun konsumen, antara lain melalui peraturan tentang harga acuan pembelian dan penjualan. Namun, intervensi pemerintah mesti lebih kuat, terutama ketika harga jual di tingkat peternak anjlok di bawah atau harga di konsumen di atas harga acuan.
Peternak berulang menghadapi situasi sulit seiring naiknya biaya produksi karena kenaikan harga pakan, jagung, dan bibit. Pada saat yang sama, harga jual ayam turun karena suplai berlebih atau permintaan yang turun, seperti terjadi saat pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) saat ini.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan menyatakan, terkait anjloknya harga jual ayam di tingkat peternak, pemerintah melakukan intervensi dengan menugaskan badan usaha milik negara (BUMN) peternakan, yakni PT Berdikari (Persero), untuk menyerap ayam produksi peternak guna menstabilkan harga.
Pemerintah juga mendorong kemandirian peternak dalam penyediaan bibit. Menurut Direktur Utama PT Berdikari Harry Warganegara, sejak tahun lalu pihaknya telah bermitra dengan 1.700 peternak yang tergabung dalam koperasi atau badan usaha untuk memproduksi bibit ayam (FS). Guna membantu peternak, Berdikari menyediakan bibit dengan harga tetap, yakni Rp 5.750 per ekor, berikut vaksin.
”Saat harga (bibit di pasar) naik Rp 7.000-Rp 8.000 per ekor, kami tetap jual Rp 5.750 per ekor. Namun, ketika harga (pasar) turun, kami tidak bisa turunkan harga. Sebab, kami tak bisa menjual di bawah harga pokok,” kata Harry.
Berdikari juga menyerap ayam produksi peternak. Namun, karena sejumlah keterbatasan, termasuk modal, kerja sama itu baru sebatas dengan peternak yang telah bermitra dengan Berdikari.
Guru Besar Fakultas Peternakan IPB University Muladno Basar berpendapat, industri peternakan unggas nasional masih berkutat dengan problem yang sama satu dekade terakhir. Salah satunya karena peternak mandiri yang mesti bermain di lapangan yang sama dengan perusahaan peternakan terintegrasi atau integrator.
Persaingan menjadi serba tidak imbang. Peternak skala kecil menggantungkan sarana produksi, terutama bibit, pakan, dan obat, dari integrator. Sementara integrator yang bisa memproduksi bibit, obat, dan pakan juga diizinkan membudidayakan ayam.
”Ibarat pertandingan sepak bola, pemain besar kelas internasional dan pemain kelas RT (rukun tetangga) bertanding di lapangan yang sama. Pemerintah sebagai wasit bingung karena kesulitan mengatur pemain yang beda kelas. Hujan gol di gawang pemain kecil dan satu per satu pemainnya mati kelelahan,” ujarnya.
Dalam kondisi seperti itu, kata Muladno, pemerintah harus ikut bermain dan total membantu pemain kecil secara bijak. Caranya dengan mengintegrasikan para pelaku secara horizontal. Integrasi itu melibatkan peternak dan perusahaan peternakan mandiri, baik bibit, pakan, maupun sarana produksi lainnya.
Para peternak kecil juga harus membangun koperasi agar lebih berdaya. Dengan dukungan pemerintah, yakni melalui kebijakan yang mendukung, koperasi atau gabungan peternak kecil bisa menjadi penentu dalam integrasi.