Peritel Kian Terimpit, 200 Swalayan Tutup di Semester I-2021
Tekanan berat di sektor ritel dikhawatirkan berujung pada pemutusan hubungan kerja dan menimbulkan efek berantai di sektor usaha mikro, kecil, dan menengah yang menjadi mitra peritel. Penutupan toko berlanjut tahun ini.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaku usaha ritel dan pusat perbelanjaan berharap ada stimulus di tengah tekanan akibat pandemi Covid-19. Usaha kian tergerus dan pengusaha sulit bertahan sehingga memaksa mereka menutup toko. Asosiasi memperkirakan hampir 200 toko swalayan tutup selama Januari-Juni 2021.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mande mengemukakan, kondisi peritel modern semakin berat sejak pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat. Dana cadangan untuk bertahan sudah hampir habis.
Menurut dia, hingga kini sektor swalayan dan mal yang menyerap tenaga kerja hampir tidak mendapat bantuan dan insentif untuk bertahan di tengah pandemi Covid-19. Ritel modern mencakup pasar swalayan, minimarket, supermarket, hypermarket, dan pedagang grosir.
Akibat pandemi Covid-19, sekitar 1.300 toko diperkirakan tutup tahun 2020. Pada 2021, penutupan toko berlanjut. Selama Januari-Juni 2021 hampir 200 toko swalayan diperkirakan tutup, di mana pada Januari-Maret 2021 terdata baru 88 toko swalayan yang tutup.
Tekanan berat di sektor hilir ini dikhawatirkan berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK) dan memiliki multiefek di sektor usaha mikro, kecil, dan menengah yang menjadi mitra peritel.
Roy berharap pemerintah menempatkan sektor perdagangan ritel modern sebagai prioritas bantuan atau stimulus. Harapannya, peritel dapat merestrukturisasi kredit dan bertahan di tengah pandemi serta melayani kebutuhan pokok dan sehari-hari masyarakat.
”Tidak ada bantuan terhadap sektor swalayan dan mal, sedangkan kami melibatkan banyak mitra dan menyerap tenaga kerja. Jika dibiarkan semakin jatuh, dampaknya akan jauh lebih besar,” kata Roy dalam pertemuan dengan media secara daring, Jumat (22/7/2021).
Sebelumnya, indeks penjualan riil (IPR) sempat menunjukkan pertumbuhan positif pada April 2021, yakni 15,6 persen secara tahunan, sedangkan bulan Mei tumbuh 12,9 persen (yoy). Pada Juni-Juli 2021, IPR diprediksi turun seiring PPKM darurat. PPKM Darurat itu berbarengan dengan siklus penjualan ritel yang umumnya rendah pada bulan Juli karena masyarakat cenderung menahan belanja selepas Lebaran dan fokus pada biaya tahun ajaran baru sekolah.
Roy mengemukakan, untuk mendorong daya tahan sektor ritel dan pusat belanja di tengah pandemi, dukungan pemerintah diperlukan, berupa insentif perpajakan, bantuan operasional subsisdi tarif listrik bagi gerai ritel modern, serta subsidi gaji bagi pekerja dengan upah minimum.
Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja, mengemukakan, pendapatan pusat belanja selama ini bersumber dari tarif sewa dan biaya layanan (service charge) terhadap penyewa (ritel). Adapun selama PPKM darurat, potensi kehilangan pendapatan pusat perbelanjaan akibat peritel tidak membayar sewa mencapai Rp 5 triliun per bulan untuk 350 pusat perbelanjaan di seluruh Indonesia.
Adapun di Jawa dan Bali, yang paling terdampak PPKM darurat, potensi kehilangan pendapatan untuk pusat perbelanjaan sekitar Rp 3,5 triliun per bulan.
Di masa pandemi tahun lalu, pengembang pusat perbelanjaan masih mampu bertahan dengan sisa dana cadangan, meskipun ada beberapa pusat belanja skala kecil tutup. Namun, pandemi yang berkepanjangan hingga tahun 2021 membuat sebagian besar pengembang hampir tidak lagi memiliki dana cadangan.
”Kami meminta bantuan pemerintah untuk pelaku usaha karena tidak punya kemampuan bertahan. Kondisi saat ini sudah sangat berat sekali,” ujarnya.
Ia menyoroti kebijakan pemerintah yang cenderung terlambat untuk menolong pusat perbelanjaan. Penghapusan ketentuan minimum listrik bagi mal yang tutup, misalnya, baru diberlakukan pada Oktober 2020, ketika mal sudah boleh kembali dibuka. Akibatnya, kebijakan itu menjadi tidak efektif. Adapun biaya-biaya lain tetap dikenakan tanpa keringanan, seperti listrik, gas, dan pajak reklame.
Corporate Communication Director & Corporate Secretary di PT Matahari Putra Prima, Danny Kojongian, mengemukakan, grup ritel hipermarket dan pasar swalayan itu terimbas pandemi Covid-19. Kunjungan pelanggan ke toko sangat menurun. Imbas terhadap pasar ritel modern dikhawatirkan menimbulkan efek bola salju jika tidak diperhatikan pemerintah.
Di sisi lain, upaya untuk bertahan telah dilakukan dengan mengadopsi metode belanja secara daring. Cara itu untuk mengakomodasi kebutuhan belanja pelanggan secara nyaman tanpa harus keluar rumah. Namun, kontribusi belanja daring belum signifikan menopang pasar.
”Kami terus upayakan bisnis tetap bergulir karena padat karya, banyak karyawan dan mitra bisnis UMKM. Ini tidak mudah,” ujarnya.