PPKM Darurat Diterapkan, Pusat Perbelanjaan Makin Terpuruk
Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat dinilai semakin memukul usaha ritel dan pusat perbelanjaan. Penegakan sanksi tegas diperlukan agar kebijakan tidak mengorbankan pelaku usaha.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menerapkan kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM darurat mulai 3 Juli hingga 20 Juli 2021. Pengetatan aktivitas itu bertujuan menurunkan penambahan kasus konfirmasi Covid-19 menjadi kurang dari 10.000 kasus per hari.
Pemberlakuan PPKM mencakup 48 kabupaten/kota dengan asesmen situasi pandemi level 4 serta 74 kabupaten/kota dengan asesmen situasi pandemi level 3 di Pulau Jawa dan Bali.
Pengetatan aktivitas, antara lain, 100 persen bekerja dari rumah (WFH) untuk sektor non-esensial. Adapun sektor esensial diberlakukan 50 persen maksimum staf bekerja dari kantor (WFO) dengan protokol kesehatan, meliputi keuangan dan perbankan, pasar modal, sistem pembayaran, teknologi informasi dan komunikasi, perhotelan non-penanganan karantina, serta industri orientasi ekspor.
Sementara supermarket, pasar tradisional, toko kelontong, dan pasar swalayan yang menjual kebutuhan sehari-hari dibatasi jam operasionalnya sampai pukul 20.00 waktu setempat dengan kapasitas pengunjung 50 persen. Restoran dan rumah makan hanya menerima pesan antar. Adapun kegiatan pada pusat perbelanjaan/mal/pusat perdagangan ditutup.
Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja mengemukakan, kebijakan PPKM darurat akan semakin memukul usaha pusat perbelanjaan di tengah kondisi usaha yang belum pulih. Selama satu setengah tahun pandemi Covid-19, pusat perbelanjaan praktis berjuang sendiri untuk bertahan tanpa bantuan pemerintah.
Memasuki tahun 2021, pusat perbelanjaan mengalami kondisi usaha yang jauh lebih berat dibandingkan dengan 2020 karena hampir semua dana cadangan sudah terkuras habis pada tahun lalu untuk sekadar bertahan. Tahun ini, pusat perbelanjaan juga hanya boleh beroperasi terbatas dengan kapasitas maksimal 50 persen.
Kebijakan PPKM darurat yang menutup operasional pusat perbelanjaan hingga 20 Juli 2021 akan membuat pusat perbelanjaan kembali mengalami kesulitan besar. Ia menyayangkan pelaku usaha yang tidak dilibatkan untuk memberikan masukan dalam penetapan PPKM darurat.
”Dengan ditutupnya kembali operasional pusat perbelanjaan, maka akan kembali banyak pekerja yang dirumahkan dan jika kondisi terus berkepanjangan, akan terjadi banyak pemutusan hubungan kerja,” kata Alphonzus, dalam keterangan tertulis, Kamis (1/7/2021).
Menurut Alphonzus, pusat perbelanjaan selama ini telah mampu menerapkan serta memberlakukan protokol kesehatan secara ketat, disiplin, dan konsisten sehingga dapat dikategorikan sebagai salah satu fasilitas yang aman dan sehat untuk dikunjungi masyarakat yang berbelanja berbagai kebutuhan hidup sehari-hari.
Sementara lonjakan kasus yang terjadi berulang lebih banyak akibat tidak adanya konsistensi penegakan hukum yang kuat terhadap pelanggaran pembatasan kegiatan masyarakat selama ini.
Lonjakan kasus terjadi berulang akibat tidak adanya konsistensi penegakan hukum terhadap pelanggaran.
”Kejadian (PPKM darurat) ini telah mengambil pengorbanan besar akibat lemahnya penegakan (hukum) atas berbagai penerapan pembatasan yang diberlakukan selama ini. Seharusnya protokol kesehatan dilaksanakan secara ketat, disiplin, dan konsisten,” ujar Alphonsus.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mande mengemukakan, pihaknya mendukung dan mengapresiasi usaha pemerintah menanggulangi pandemi Covid-19 dengan memutus penularan Covid-19. Akan tetapi, penerapan PPKM darurat masih perlu diperjelas untuk supermarket dan pasar swalayan agar tidak menimbulkan multitafsir. Sebab, sebagian supermarket berada di pusat perbelanjaan, sedangkan pusat perbelanjaan ditutup.
”Perlu ada definisi jelas, operasional pusat perbelanjaan di luar mal dan di dalam mal. Jangan sampai toko swalayan boleh dibuka di luar mal, tetapi toko swalayan di dalam mal ikut ditutup. Padahal, swalayan diperlukan untuk menyediakan kebutuhan pokok masyarakat sehari-hari,” katanya.
Roy menambahkan, pemerintah perlu memerangi Covid-19, tetapi jangan sampai mengorbankan pelaku usaha ritel dan mal. Mal dan ritel modern selama ini terbukti bukan kluster pandemi karena konsisten menjaga protokol kesehatan. Sejak lonjakan kasus, tingkat kunjungan ke pusat perbelanjaan dan ritel sudah menurun 20 persen. Oleh karena itu, penutupan mal dinilai tidak akan efektif karena sektor esensial terdapat di mal.
Di sisi lain, ia menilai masih terdapat kelemahan pemerintah dalam hal pengawasan dan penegakan sanksi terhadap pelanggaran pembatasan kegiatan masyarakat. Penegakan protokol kesehatan lebih ketat seharusnya diimbangi dengan penegakan dan sanksi hukum tegas oleh pemerintah. ”Yang sekarang terjadi, prokes ingin ditingkatkan, tetapi minim pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelanggaran,” kata Roy.
Menurut Roy, penerapan PPKM darurat akan disikapi pelaku usaha ritel untuk berusaha bertahan ataupun melakukan langkah strategis menutup gerai sebagai upaya terakhir. Dampaknya, akan terjadi PHK, pelemahan usaha mikro, kecil, dan menengah serta berimbas pada penurunan daya beli masyarakat.