Tren Bepergian Solo atau Grup Kecil Makin Diminati
Bepergian dalam kelompok kecil atau sendirian jadi cara adaptasi berwisata di normal baru pandemi Covid-19. Ada kecenderungan wisatawan makin mengeksplorasi destinasi di dalam negeri yang bisa dijangkau dengan cara itu.
Oleh
Mediana
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perjalanan dalam grup kecil atau bepergian solo akan menjadi cara adaptasi yang dilakukan warga agar tetap berwisata di normal baru pandemi Covid-19. Pelaku industri pariwisata beserta sektor terkait, seperti transportasi, segera beradaptasi dengan tren itu.
”Kami menganggap, situasi ketidakpastian pandemi Covid-19 sebagai saatnya restart alias memulai pengembangan bisnis pariwisata mulai dari nol. Kami menjadikan situasi ini untuk riset cara baru berbisnis,” ujar Co-Founder dan Chief Marketing Officer Tiket.com Gaery Undarsa saat menghadiri webinar Indonesia Tourism & Creative Industry Forum 2021: Challenge & Opportunities, di Jakarta, Rabu (21/7/2021).
Orang bepergian di tengah ketidakpastian pandemi Covid-19 tidak terelakkan. Namun, berdasarkan pengalaman dan pengamatannya, warga memilih bepergian solo atau bepergian dengan orang lain dalam jumlah kecil, seperti bepergian berdua.
Warga semakin menyadari bahwa cara pelesiran seperti itu tidak harus sampai ke luar negeri. Ada kecenderungan, warga semakin ingin mengeksplorasi destinasi di dalam negeri yang bisa dijangkau dengan cara bepergian solo atau berkelompok dalam jumlah kecil.
Sebagai perusahaan agen perjalanan daring atau online travel agent (OTA), Gaery mengatakan, Tiket.com mulai berbenah. Pembenahan itu, misalnya, Tiket.com menyediakan fitur Tiket Flexi yang memungkinkan orang memesan kamar hotel tanpa terlebih dulu menentukan tanggal menginap. Contoh lainnya ialah penawaran asuransi di setiap perjalanan.
”Bepergian wisata dalam jumlah kecil berarti fleksibilitas amat jadi acuan, tetapi tetap mengutamakan asuransi untuk keselamatan. Kami belum pernah melihat perilaku turis Indonesia seperti ini waktu sebelum pandemi Covid-19,” katanya.
Gaery menambahkan, pihaknya juga telah merintis fitur layanan pemesanan tes usap dan tes kesehatan jenis lain terkait Covid-19 di platform Tiket.com. Fitur layanan ini banyak diminati pengguna Tiket.com.
Berdasarkan survei daring yang dilakukan oleh Inventure-Alvara pada Juni 2021 kepada 532 orang berusia 21-35 tahun, 59 persen responden menyebut setelah divaksin Covid-19, mereka merasa lebih aman bepergian wisata bersama keluarga atau sendirian. Sebanyak 65,4 persen dari total responden menyebut setelah divaksin, mereka tetap lebih memilih berwisata domestik dibandingkan dengan ke luar negeri.
Orang bepergian di tengah ketidakpastian pandemi Covid-19 tidak terelakkan. Namun, warga memilih bepergian solo atau bepergian dengan orang lain dalam jumlah kecil, seperti bepergian berdua.
Sebanyak 59,4 persen dari total responden mengaku setelah divaksin Covid-19, mereka lebih memilih tidak berwisata saat akhir pekan panjang atau long weekend. Sebanyak 61,8 persen dari keseluruhan responden menyebut setelah divaksin Covid-19 akan lebih memilih wisata yang berhubungan kebugaran, yoga, dan meditasi dibandingkan dengan wisata petualangan.
”Lebih dari setengah dari responden memilih bepergian memakai kendaraan darat pribadi dibandingkan dengan pesawat terbang, apalagi bepergian dalam durasi pendek,” kata Managing Partner Inventure Indonesia Yuswohady.
Sebanyak 43,2 persen responden berlatar belakang karyawan swasta dan perusahaan milik negara. Sisanya merupakan wirausaha, ibu rumah tangga, mahasiswa, aparatur sipil negara, guru, dan petugas militer. Sebanyak 53,6 persen responden berpenghasilan Rp 2,5 hingga Rp 4 juta, 30,5 persen responden Rp 4-Rp 6 juta, dan 15,6 persen di atas Rp 6 juta per bulan.
Senada dengan Gaery, berdasarkan survei itu, Yuswohady menyimpulkan bahwa pelaku industri pariwisata harus bersiap menghadapi tren mobilitas turis solo ataupun kelompok kecil, jarak pendek, dan tidak menyukai keramaian. Sejalan dengan normal baru pandemi Covid-19, pengusaha perlu menyediakan amenitas yang bersih dan minim interaksi/sentuhan manusia. ”Transaksi di destinasi pariwisata sebaiknya mulai disediakan memakai digital,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran menyampaikan, sektor industri pariwisata berupa hotel dan restoran amat tergantung dari pergerakan orang. Oleh karena itu, mereka sekarang mengalami penurunan penjualan yang besar. Selisih antara pendapatan dan beban usaha semakin meningkat, khususnya yang memiliki kewajiban terhadap perbankan.
Metode penjualan menu makanan melalui daring mulanya bukan menjadi yang utama. Selama pandemi Covid-19, penjualan secara daring menjadi lebih menjanjikan daripada berjualan di tempat makan. Namun, beradaptasi dengan cara mengubah pemasaran ke digital tidak bisa serta-merta cepat dilakukan pengusaha restoran.
”Dari sisi pengusaha perhotelan, mereka sekarang tengah berhadapan dengan situasi anjloknya harga sewa kamar. Hal ini dilakukan demi tetap menarik tamu,” kata Maulana.
Lentur
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani berpendapat, sejak tahun 2008 perekonomian global hingga sekarang berada dalam posisi ketidakpastian sampai sekarang. Hal ini semestinya menjadi kesadaran baru pemerintah dan pelaku industri pariwisata dan ekonomi kreatif. Keduanya harus lentur membuat strategi.
Untuk jangka pendek, perilaku bepergian solo ataupun berkelompok dengan anggota kecil harus jadi perhatian pelaku industri pariwisata. Mereka bisa menggarap destinasi dengan harga terjangkau.
Trennya adalah wisata ke destinasi domestik dengan jumlah kecil ataupun bepergian solo sehingga akan berpengaruh ke industri transportasi. Menurut dia, menggarap tren pariwisata seperti itu sebaiknya tidak sektoral.
”Jika sudah melihat tren perilaku wisatawan kelak seperti itu, pemerintah semestinya saling kerja sama, bukan melulu Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang bergerak,” ujarnya.
Desa wisata diperkirakan jadi opsi utama. Menurut Aviliani, pengembangan desa wisata tidak bisa asal-asalan. Momentum ketidakpastian pandemi Covid-19 dapat dipakai oleh setiap aparat desa berkolaborasi. ”Kerajinan beserta produk ekonomi kreatif lokal lainnya tetap perlu dioptimalkan. Salah satu caranya adalah meningkatkan narasi budaya di balik produk tersebut,” ujarnya.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), seperti dikutip dalam buku Outlook Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia 2020/2021 yang dirilis hari ini, jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang masuk ke Indonesia sepanjang 2020 hanya 4,052 juta orang. Jumlah itu 25 persen lebih sedikit dari pencapaian tahun 2019.
Jika dilihat dari jalur masuk wisatawan mancanegara, penurunan terbesar datang dari jalur udara (-83 persen), laut (-75 persen), baru diikuti jalur darat (-37 persen). Jika dibandingkan antara 2019 dan 2020, kunjungan wisatawan mancanegara beberapa negara secara drastis turun dengan adanya pembatasan-pembatasan. Indonesia mencatat mayoritas kehilangan wisatawan mancanegara berasal Malaysia (1,9 juta orang), China (1,8), Singapura (1,6), dan Australia (1,1).