Penyerapan Pemda Rendah, Pemerintah Memintas Dana Vaksinasi Langsung ke TNI/Polri
Pemerintah akan memintas penyaluran anggaran kesehatan di daerah untuk mengejar target tiga juta dosis vaksinasi Covid-19 per hari. Langkah ini merupakan respons atas lambatnya penyerapan anggaran kesehatan di daerah
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah akan memintas penyaluran anggaran kesehatan di daerah untuk mengejar target tiga juta dosis vaksinasi Covid-19 per hari. Anggaran vaksinasi akan disalurkan langsung ke TNI dan Polri yang menjalankan program vaksinasi di daerah. Langkah ini merupakan respons atas lambatnya penyerapan anggaran kesehatan di sejumlah daerah.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, Kementerian Keuangan telah mengalokasikan anggaran Rp 57,84 triliun untuk keperluan vaksinasi. Jumlah itu terdiri dari Rp 47,65 triliun untuk pengadaan vaksin dan Rp 6,5 triliun untuk biaya pelaksanaan vaksinasi.
Untuk mempercepat program vaksinasi, pemerintah merealokasi anggaran sebesar Rp 1,96 triliun untuk keperluan vaksinasi yang akan dilaksanakan oleh TNI/Polri, dan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Melalui dana itu, TNI dan Polri ditargetkan untuk melakukan vaksinasi kepada 30 juta orang. Sementara BKKBN ditargetkan melakukan vaksinasi kepada 37 juta orang.
Dengan alokasi dana Rp 1,96 triliun, TNI dan Polri ditargetkan untuk melakukan vaksinasi kepada 30 juta orang. Sementara BKKBN ditargetkan melakukan vaksinasi kepada 37 juta orang.
”Mulai pekan depan, TNI/Polri serta bidang BKKBN akan membantu pelaksanaan vaksinasi di daerah untuk mendorong pelaksanaan vaksinasi bisa mencapai 3 juta dosis per hari,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers evaluasi pelaksanaan PPKM darurat secara virtual akhir pekan lalu.
Pemintasan dilakukan karena sejumlah daerah lamban menyerap anggaran kesehatan yang telah disalurkan pemerintah pusat. Padahal, penanganan kesehatan merupakan hal sangat krusial dalam menangani pandemi Covid-19.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan, terdapat 19 provinsi yang memiliki permasalahan dalam penyerapan anggaran kesehatan salah satunya insentif untuk tenaga kesehatan.
Ke-19 provinsi tersebut adalah Aceh, Sumatra Barat, Kepulauan Riau, Sumatera Selatan, Bengkulu, Kepulauan Bangka Belitung, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Bali, dan NTB, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, dan Papua.
”Bisa saja kepala daerah memang tak mengetahui persoalan realisasi anggaran penanganan Covid-19. Kami beberapa kali ke daerah banyak yang tidak tahu posisi saldonya seperti apa. Justru Badan Keuangan suatu daerah lebih memahami persoalan anggaran tersebut,” ujarnya. Menteri Tito telah mengirim surat teguran kepada 19 pemerintah provinsi bersangkutan.
Berdasarkan hasil monitoring yang dilakukan Kementerian Dalam Negeri, banyak daerah yang belum merealisasikan sepenuhnya bantuan operasional kesehatan tambahan (BOKT) tahun anggaran 2020. Selain itu, realisasi anggaran intensif tenaga kesehatan daerah juga masih minim. Padahal, pemerintah telah memperbolehkan 8 persen dari Dana Alokasi Umum (DAU) atau Dana Bagi Hasil (DBH) tahun anggaran 2021 yang diperoleh daerah digunakan untuk anggaran kesehatan termasuk intensif tenaga kesehatan.
Simpanan pemda
Karena lamban menyerap anggaran yang telah disalurkan pemerintah pusat, saldo simpanan pemerintah daerah di bank pun membengkak.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, total simpanan pemda di perbankan pada akhir Mei 2021 mencapai Rp 172,55 triliun. Rinciannya total simpanan pemda tingkat provinsi sebesar Rp 55,02 triliun, pemda kota Rp 27,36 triliun, dan pemda kabupaten senilai Rp 90,17 triliun.
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Astera Primanto Bhakti sebelumnya mengatakan, dari data saldo rekening pemda di bank, terlihat ruang fiskal di daerah masih cukup luas untuk penanganan Covid-19. Namun, faktanya, penyerapan anggaran untuk penanganan Covid-19 di daerah masih minim.
”Jadi, daerah harusnya lebih progresif lagi dalam rangka melakukan refocusing anggarannya dengan memprioritaskan penanganan Covid-19,” kata Primanto.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Forum Indonesia untuk Transparan Anggaran (FITRA), Misbah Hasan, menyarankan agar Kementerian Dalam Negeri membuat regulasi batas minimal serapan anggaran bagi pemerintah daerah per semester.
”Bagi pemerintah daerah yang dapat memenuhinya (target serapan anggaran) sebaiknya diberikan insentif. Sebaliknya bagi pemerintah yang tidak sanggup memenuhi akan dikenakan hukuman,” ujarnya.
Bagi pemerintah daerah yang dapat memenuhinya (target serapan anggaran) sebaiknya diberikan insentif. Sebaliknya bagi pemerintah yang tidak sanggup memenuhi akan dikenakan hukuman. (Misbah Hasan)
Regulasi tersebut diperlukan mengingat tradisi serapan tinggi di akhir tahun masih kuat melekat di birokrasi daerah. Hal ini juga menunjukkan bahwa pemerintah daerah belum terbiasa untuk memanfaatkan mekanisme pengadaan barang atau jasa yang disederhanakan saat kondisi darurat.
”Dengan adanya regulasi yang menjadi mandatori, pemerintah daerah baik provinsi ataupun kabupaten atau kota akan dipaksa untuk melakukan terobosan dalam pengelolaan anggaran agar anggaran bisa terserap dengan baik dan tepat sasaran,” ujarnya.
Secara total, pemerintah menambah alokasi anggaran untuk program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2021 dari semula Rp 699,43 triliun menjadi Rp 744,75 triliun. Penambahan anggaran paling tinggi diberikan untuk sektor perlindungan sosial dari semula Rp 153,86 triliun menjadi Rp 187,84 triliun; serta sektor kesehatan dari semula Rp 193,93 triliun menjadi Rp 214,95 triliun.
Tambahan anggaran di sektor kesehatan akan dialokasikan untuk tambahan insentif tenaga kesehatan (nakes) sebesar Rp 1,08 triliun; penyediaan paket obat isoman Rp 400 miliar; pembangunan rumah sakit darurat Rp 2,75 triliun; percepatan vaksinasi oleh TNI/Polri Rp 1,96 triliun; operasional penebalan PPKM mikro oleh TNI di daerah Rp 790 miliar; pengadaan oksigen dari dalam dan luar negeri Rp 370 miliar; serta tambahan alokasi klaim perawatan pasien Rp 25,87 triliun.