Kurangnya Literasi Mengganjal Perluasan Pasar Keuangan Syariah
Kendati berpenduduk mayoritas Muslim, pangsa pasar keuangan syariah di Indonesia masih tergolong rendah.
Oleh
Nina Susilo
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia memiliki potensi menjadi pemain utama ekonomi dan keuangan syariah. Namun, pangsa pasar keuangan syariah di Indonesia masih relatif rendah. Edukasi untuk meningkatkan literasi dinilai bisa menjadi jawaban untuk tantangan tersebut.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin menyampaikan harapan positif pada potensi ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia saat memberikan sambutan di seminar daring berjudul ”The Future of Islamic Capital Market: Opportunities, Challenges, and Way Forward” yang diselenggarakan Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah, Kamis (15/7/2021). Hadir pula dalam acara ini Direktur Eksekutif KNEKS Ventje Rahardjo, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan Wakil Menteri BUMN Pahala Mansury.
Sektor ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia, menurut Wapres Amin, mengalami perkembangan cukup pesat. Indikator yang digunakan Wapres Amin adalah The State of Global Islamic Economy Report 2020/2021 yang menaikkan peringkat Indonesia ke nomor empat dunia. Pada 2018, Indonesia baru berada di peringkat kesembilan.
Indikator lain yang disebutkan adalah Islamic Finance Country Index (IFCI) 2020. Dari 42 negara yang disurvei terkait keuangan syariah, Indonesia berada di nomor dua setelah Malaysia.
Kendati demikian, diakui, pangsa pasar produk keuangan syariah di Indonesia masih relatif rendah. Dalam catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pasar modal syariah hanya 9,89 persen dari total aset keuangan nasional.
Dalam acara yang sama, Sri Mulyani menyampaikan, total aset keuangan syariah Indonesia, tidak termasuk kapitalisasi saham syariah, per Maret 2021 telah mencapai Rp 1.862,7 triliun. Ini adalah 9,96% dari seluruh total aset industri keuangan Indonesia.
Pangsa pasar saham syariah relatif baik. Data OJK per juni 2021 menunjukkan, aset saham syariah mencapai Rp 3.372,2 triliun. Ini adalah 47,32% dari total kapitalisasi indeks harga saham Indonesia.
Kendati demikian, kapitalisasi aset sukuk korporasi dan reksa dana syariah masih tergolong rendah. Pada 25 Juni, kata Sri Mulyani, sukuk korporasi yang masih beredar hanya Rp 32,54 triliun dengan pangsa pasar 7,44%. Reksa dana syariah yang nilainya secara nominal Rp 39,75 triliun hanya memiliki pangsa pasar 7,28 persen.
Stagnasi akibat pandemi
Pada 2020, aset keuangan syariah sempat tumbuh 13,9 persen dibandingkan pada 2019. Volume aset syariah yang pada 2019 sebesar 2,52 triliun dollar AS tumbuh menjadi 2,88 triliun AS.
Namun, Global Islamic Economic Report untuk tahun 2020 memperkirakan stagnasi pada perkembangan aset keuangan syariah. Pasar keuangan termasuk pasar keuangan syariah, lanjut Sri, juga akan terpengaruh.
Untuk itu, Indonesia perlu memperkuat ketahanan perekonomian dan keuangan termasuk pasar modal dan pasar modal syariahnya. Pengembangan pasar modal syariah dilakukan untuk mendorong kedalaman likuiditas sektor keuangan syariah.
Sejauh ini, menurut Sri Mulyani, pemerintah bersama OJK dan Bank Indonesia mendorong kebijakan, regulasi, serta menciptakan instrumen-instrumen supaya pasar modal syariah bisa tumbuh stabil dan berkelanjutan. Penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau sukuk negara menjadi salah satu manifestasi komitmen pemerintah. Sukuknegara berperan penting dalam pembiayaan APBN.
Berkontribusi
Sukuk negara sekaligus menjadi instrumen yang sangat penting, stabil, dan dipercaya investor dan masyarakat, baik di dalam negeri maupun dari luar negeri. Dari tahun ke tahun, sukuk negara terus berkembang. Volume dan kontribusi SBSN dalam pembiayaan APBN mengalami kenaikan dari hanya Rp 4,7 triliun pada awal penerbitan tahun 2008 menjadi Rp 360 triliun tahun 2020.
”Dibandingkan SBN biasa, sukuk negara berkontribusi 20-30 persen dari penerbitan surat berharga negara setiap tahunnya,” ujar Sri Mulyani.
Secara kumulatif, penerbitan SBSN dalam jangka waktu 2008 sampai Juni 2021 telah mencapai Rp 1.810,02 triliun atau setara 124,49 miliar dollar AS. Pada 1 Juli 2021, SBSN yang masih beredar mencapai Rp 1.075,83 triliun setara 73,99 miliar dollar AS. Angka itu merepresentasikan 19 persen dari total SBN yang masih beredar.
Untuk memenuhi kebutuhan investor, pengembangan dan perbaikan dilakukan dengan sukuk retail, sukuk tabungan, sukuk global, project financing sukuk, cash wakaf link sukuk, perkembangan akad sukuk, dan diversifikasi underline asset.
Sukuk wakaf atau cash wakaf link sukuk adalah surat utang syariah berbasis wakaf uang, juga disiapkan untuk memfasilitasi jumlah filantrofi yang semakin banyak. Sementara green sukuk disiapkan sebagai instrumen bagi investor yang berwawasan lingkungan dan berbasis syariah.
”Di tengah ketidakpastian pasar global akibat Covid-19, Pemerintah Indonesia berhasil menerbitkan global green sukuk senilai 3 miliar dollar AS, Juni ini.
Global green sukuk 2021 diterbitkan dengan tenor 30 tahun dan imbal hasil 3,55% pertahun,” kata Sri Mulyani.
Green sukuk ini juga berhasil menarik investor global. Nilai investasi investor global mencapai 57 persen dari total nilai penerbitan.
Dalam pertemuan tingkat menteri G-20 beberapa waktu lalu, kata Sri Mulyani, dibahas ptimalisasi peran pasar modal. Hal ini dinilai sangat penting dalam menjaga dan menciptakan good governance serta diyakini bisa mempercepat pemulihan ekonomi global.
Sebab, untuk itu, diperlukan penguatan tata kelola pemerintahan yang baik dan ada transparansi kepada investor yang ikut mendanai melalui saham di pasar modal. Hal ini menciptakan partisipasi dan inklusivitas serta kepercayaan yang kemudian mendorong pemulihan ekonomi.
Perluas investor
Kendati demikian, Sri Mulyani menambahkan, mayoritas SBSN masih dikuasai bank bukan kepemilikan individu. Untuk memperluas investor ke kalangan milenial dan ibu-ibu rumah tangga, diperlukan edukasi dan literasi keuangan.
Dalam survei Otoritas Jasa Keuangan, indeks literasi keuangan syariah Indonesia baru 8,93 persen. Wapres Amin juga menilai, dua tantangan utama dalam pengembangan dan perluasan pasar ke depan ialah peningkatan literasi dan edukasi kepada masyarakat, korporasi, dan investor potensial.
Karena itu, dia meminta ada sosialisasi kepada masyarakat terutama generasi milenial dan generasi Z secara mudah dipahami, menarik, dan relevan dengan kondisi kekinia.
Tantangan lain, menurut Sri Mulyani, ialah minimnya penerbitan sukuk dari korporasi. Ke depan, diharapkan sukuk bisa menjadi salah satu sumber pendanaan pembangunan sektor-sektor produktif.
Ventje dalam laporannya menambahkan, diharapkan dari seminar daring ini bisa diidentifikasi dan dielaborasi potensi pasar modal syariah, baik dari sisi persediaan maupun permintaannya. Berbagi pengalaman global dalam mengembangkan pasar capital syariah termasuk sukuk dan pengembangan lainnya juga bisa dilakukan dalam seminar. Selain itu, diperlukan pula platform bersama untuk saling berbagi pengalaman, baik dari para ahli maupun pelaku usaha dari berbagai sektor.