Redam Aji Mumpung Dagang
Harga sejumlah alat kesehatan, vitamin, dan obat-obatan melambung di tengah lonjakan kasus Covid-19 belakangan ini. Sebagian pedagang dinilai memanfaatkan situasi di tengah lonjakan permintaan dan kepanikan warga.
Hukum permintaan dan penawaran memang kaku. Harga naik atau turun menyesuaikan permintaan dan penawaran. Namun, dalam suasana duka di tengah lonjakan kasus Covid-19 belakangan, kenaikan signifikan harga obat-obatan, vitamin, dan alat kesehatan menambah beban masyarakat yang tengah diliputi kepanikan.
Seperti saat kasus Covid-19 merebak pada Maret 2020, harga sejumlah barang yang dibutuhkan masyarakat melonjak di tengah peningkatan kasus Covid-19 sebulan terakhir. Pemerintah memang telah menetapkan harga eceran tertinggi (HET) 11 obat untuk terapi Covid-19. Sejumlah pengelola platform lokapasar juga mengantisipasi dengan beberapa langkah.
Akan tetapi, lonjakan harga tetap terjadi. Penelusuran Kompas, harga beberapa jenis vitamin dan alat kesehatan naik signifikan. Harga sebotol vitamin D3 dosis 5.000 IU isi 120 softgel di salah satu toko di lokapasar, misalnya, naik dari Rp 107.000 pada 17 Juni 2021 menjadi Rp 325.000 pada 6 Juli 2021. Pada kurun yang sama, harga 100 tablet sebuah merek vitamin C dosis 250 mg naik dari Rp 35.000 menjadi Rp 49.000.
Sebuah oximeter, pengukur kadar oksigen darah, naik dari Rp 68.000 menjadi Rp 205.000. Produk lain yang diperlukan di tengah kebutuhan isolasi mandiri, seperti vitamin E, zinc, cairan pencuci hidung, dan obat kumur, juga naik harganya dengan rentang kenaikan yang beragam.
Pengawasan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di sejumlah toko, apotek, dan lokapasar di tujuh wilayah kerja KPPU juga menemukan sejumlah fakta lonjakan harga obat dan oksigen yang digunakan untuk penanganan Covid-19. Di DKI Jakarta, misalnya, KPPU menemukan beberapa pedagang menjual favipiravir 200 mg di kisaran Rp 55.000-Rp 80.000 per tablet atau melebihi HET yang ditetapkan pemerintah Rp 22.500 per tablet.
Begitu pula remdesivir 100 mg per vial (botol kemasan obat cair atau injeksi). Ada pedagang yang menjualnya Rp 2,2 juta per vial atau jauh di atas HET Rp 510.00 per vial. Dalam paparannya, Rabu (7/7/2021), KPPU juga menemukan oksigen merek Oxycan 500 cc yang dijual dengan harga rata-rata Rp 275.000 per kaleng. Harga jual oksigen merek itu naik 16 persen hingga 200 persen.
Baca juga: Pemerintah Tetapkan Harga Tertinggi Obat Terkait Covid-19
Menurut Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi, selama pandemi Covid-19, YLKI telah menerima sejumlah pengaduan tentang ketidakwajaran harga jual obat-obatan atau alat kesehatan pendukung penanganan Covid-19. Temuan ketidakwajaran harga jual produk itu terjadi di apotek luring ataupun di platform perdagangan secara elektronik (e-dagang). ”Kejadian ini mirip saat awal pandemi Covid-19,” ujarnya.
YLKI berharap pemerintah tegas menindak toko obat atau platform e-dagang yang mengakomodasi penjualan obat-obatan terapi dan produk kesehatan penanganan Covid-19 dengan harga tidak wajar. Tindakannya, misalnya, bisa ditempuh dengan memblokir akun pedagang.
Blokir akun
Sejumlah pengelola lokapasar merespons Keputusan Menteri Kesehatan tentang Harga Eceran Tertinggi Obat dalam Masa Pandemi Covid-19 dengan menurunkan dan memblokir akun mitra penjual yang terdeteksi melanggar ketentuan pemerintah itu. Pemilik platform juga berupaya meningkatkan verifikasi berlapis setiap proses alur penjualan dan pembelian obat-obatan.
Kepala Kebijakan Publik Shopee Indonesia Radityo Triatmojo menyatakan, tim internal Shopee telah menurunkan lebih dari 500 produk kesehatan yang tidak sesuai dengan regulasi. Ratusan produk itu meliputi kategori obat yang dijual dengan harga melebihi HET dan produk obat-obatan yang dilarang diperjualbelikan bebas tanpa resep dokter.
Shopee juga mengawasi perdagangan produk kesehatan, khususnya terkait Covid-19, beserta harga jualnya. ”Kami sediakan tombol ’Laporkan Produk Ini’ di aplikasi Shopee Indonesia,” ujarnya.
Baca juga: Pengelola Lokapasar Blokir Akun Penjual Obat Tak Sesuai Ketentuan
Assistant Vice President Marketplace Strategy and Merchant Policy Bukalapak Baskara Aditama juga menyebut sudah memblokir akun mitra yang menjual obat-obatan tidak sesuai regulasi. Pemblokiran juga diberlakukan kepada mitra yang menjual alat kesehatan, seperti tabung oksigen dan masker, dengan harga tidak wajar. Pengguna bisa ikut mengawasi dengan cara melaporkan temuannya melalui fitur BukaBantuan.
”Sejauh ini, kami mencatat transaksi produk alat kesehatan berupa pengukur suhu tubuh, masker medis, oxymeter, suplemen kesehatan, dan tabung oksigen naik dua kali lipat,” imbuh Baskara.
Fransisca K Nugraha, Executive Vice President of Consumer Goods Blibli.com, menyampaikan, Blibli.com memperketat pengawasan produk obat-obatan setelah Kementerian Kesehatan mengeluarkan keputusan itu. Siapa pun mitra yang terdeteksi melanggar akan langsung ditindak dengan cara menurunkan konten produknya. Setiap mitra yang menjual obat-obatan wajib mempunyai izin resmi, apalagi bagi mereka yang menjual produk dengan resep dokter.
Terkait perdagangan suplemen dan alat kesehatan, lanjut Fransisca, permintaan masih terkendali. Blibli.com belum menemukan gejala panic buying yang menyebabkan kenaikan volume transaksi. Mitra apotek Blibli.com pun disebut belum mengeluhkan kelangkaan barang.
External Communications Senior Lead Tokopedia Ekhel Chandra Wijaya menambahkan, Tokopedia bersifat user generated content yang memungkinkan setiap pihak dapat mengunggah produk secara mandiri. Kerja sama juga ditempuh untuk menjaga aktivitas di platform Tokopedia tetap sesuai dengan hukum yang berlaku, seperti bermitra dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) serta pemerintah.
Sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan menetapkan HET obat yang digunakan dalam masa pandemi Covid-19. Ada 11 produk obat yang harganya telah ditetapkan, yakni Favipiravir 200 mg dengan HET Rp 22.500, Remdesivir 100 mg injeksi dengan harga Rp 510.000 per vial, Oseltamivir 75 mg kapsul sebesar Rp 26.000 per kapsul, Intraveeous Immunoglobulin 5 persen 50 mililiter infus Rp 3.262.300 per vial, dan Intraveneous Immunoglobulin 10 persen 25 ml infus Rp 3.965.000 per vial.
Baca juga: Harga Obat dan Oksigen Melambung, KPPU Akan Tindak Tegas Penjual
Selain itu, Intraveneous Immunoglobulin 10 persen 50 ml infus Rp 6.174.900 per vial, Ivermectin 12 mg Rp 7.500 per tablet, Tocilizumab 400 mg per 20 ml infus Rp 5.710.600 per vial, Tocilizumab 80 mg per 4 ml infus Rp 1.162.200 per vial, Azithromycin 500 mg Rp 1.700 per tablet, dan Azithromycin 500 mg infus Rp 95.400 per vial.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan, jenis obat-obatan tersebut merupakan obat yang sering digunakan dalam masa pandemi Covid-19. Penetapan harga tertinggi ini diharapkan dapat menjamin keterjangkauan harga obat sebagai upaya memenuhi akuntabilitas dan transparasi kepada masyarakat.
Apotek
Direktur Utama PT Kimia Farma Apotek Nurtjahjo Walujo Wibowo menyatakan, Kimia Farma Group memastikan pihaknya, sebagai bagian dari Holding BUMN Farmasi, mematuhi ketentuan pemerintah, termasuk HET obat-obatan terapi Covid-19. Dia mengklaim tidak menaikkan harga produk-produk kesehatan, seperti obat-obatan, vitamin, suplemen, dan alat-alat kesehatan di luar 11 jenis obat terapi Covid-19 yang HET-nya telah ditetapkan pemerintah. ”Kami terus mengupayakan ketersediaan stok di apotek,” ujarnya.
Kimia Farma Apotek dan Kimia Farma Diagnostika memiliki apotek yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia dengan total mencapai 1.233 apotek, 422 klinik, dan 73 laboratorium. Stok obat dan suplemen masih aman dengan harga tetap pada batas normal, sesuai HET yang sudah ditetapkan.
Secara terpisah, Manajer Pemasaran PT K-24 Indonesia Burhan Bariton menyatakan, pihaknya tidak pernah menaikkan harga. Komitmen K-24 adalah menerapkan harga yang wajar. Hari libur ataupun malam hari, harga jual tidak dinaikkan. ”Jika ada produk kesehatan yang tidak ada HET-nya, kami akan memilihkan konsumen ke produk-produk yang masih wajar harganya,” ujarnya.
Apabila harga dari distributor naik dan perusahaan nilai dalam batas wajar, pihak Apotek K-24 akan menjual dengan menerapkan margin secara normal. Sikap perusahaan ini berlaku bahkan saat terjadi fenomena lain di luar kenaikan harga dari distributor, seperti lonjakan kebutuhan dari masyarakat.
Menurut Burhan, tantangan berat yang dihadapi apotek yang berperan di hilir industri farmasi adalah memastikan harga yang wajar dari pemain di hulu berupa principle dan distributor obat-obatan.
”Hal yang berat adalah memastikan harga dari hulu karena terkadang ritel (konsumen) kurang bisa pahami harga dari distributor. Ada beberapa distributor yang menaikkan harga karena stok yang langka,” kata Burhan.
Simak juga: Efektifkah Harga Eceran Tertinggi 11 Obat Terapi Covid-19 yang Ditetapkan Menkes?