Harga Obat dan Oksigen Melambung, KPPU Akan Tindak Tegas Penjual
Penetapan harga obat dan oksigen yang tinggi mengindikasikan persaingan usaha yang tidak sehat. KPPU akan menyelidikinya secara lebih mendalam. Jika terbukti melanggar, pelakunya akan ditindak secara hukum.
Oleh
Hendriyo Widi
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pengawas Persaingan Usaha menemukan sejumlah fakta lonjakan harga obat dan oksigen yang digunakan untuk penanganan Covid-19. Temuan ini akan dikembangkan lebih lanjut ke tahap penegakan hukum.
KPPU mulai mengawasi peredaran serta harga obat-obatan dan oksigen untuk penanganan Covid-19 sejak awal penerapan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat pada 3 Juli 2021. Pengawasan tersebut dilakukan secara langsung di sejumlah toko dan apotek, serta lokapasar (marketplace) di tujuh wilayah kerja KPPU.
Di DKI Jakarta, misalnya, KPPU menemukan beberapa pedagang di sejumlah lokapasar menjual favipiravir 200 miligram (mg) dengan harga Rp 55.000-Rp 80.000 per tablet atau melebihi harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 22.500 per tablet. Begitu pula remdesivir 100 mg per vial (botol kemasan obat cair atau injeksi). Ada yang menjualnya Rp 2,2 juta per vial atau jauh di atas HET yang sebesar Rp 510.00 per vial.
Oksigen merek Oxycan 500 cc dijual dengan harga Rp 58.000-Rp 450.000 per kaleng dengan harga rata-rata Rp 275.000 per kaleng. Harga jual oksigen merek tersebut naik 16 persen hingga 200 persen.
Kepala Kantor KPPU Wilayah III (DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten) Aru Armando, Rabu (7/7/2021), mengatakan, untuk toko yang menjual Oxycan di bawah harga rata-rata Rp 275.000 per kaleng, ketersediaan barangnya tidak lebih dari 10 buah. Sementara yang menjualnya di atas rata-rata itu, stok barangnya berkisar 17-280 buah.
”Ini mengindikasikan perilaku pedagang yang memanfaatkan tingginya permintaan untuk menaikkan harga oksigen portabel tersebut,” kata Kepala Kantor KPPU Wilayah III Aru Armando dalam telekonferensi pers di Jakarta.
Ini mengindikasikan perilaku pedagang yang memanfaatkan tingginya permintaan untuk menaikkan harga oksigen portabel tersebut.
Di Surakarta, Semarang, Magelang, DI Yogyakarta, Gunung Kidul, dan Sleman, KPPU juga mendapati ketersediaan obat-obat dan oksigen portabel di sejumlah apotek dan distributor oksigen kosong. Untuk obat, hanya tersedia azithromycin di Surakarta dan Semarang dengan harga Rp 10.000-Rp 12.000 per tablet atau di atas HET Rp 1.700 per tablet. Adapun oksigen, stok yang tersedia hanya di Semarang.
Komisioner KPPU Guntur Saragih menuturkan, disparitas harga tertinggi banyak terjadi di DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, dan Jawa Timur. Sementara stok obat dan oksigen memang belum merata di wilayah-wilayah zona merah Covid-19 karena masih difokuskan bagi penanganan kasus Covid-19 di rumah sakit-rumah sakit.
Berdasarkan temuan itu, KPPU memutuskan untuk menindaklanjutinya ke tahap penegakan hukum karena dari sisi penetapan harga yang tinggi saja sudah mengindikasikan persaingan usaha yang tidak sehat. Tentu saja hal ini perlu dibuktikan lebih jauh sehingga dalam waktu dekat ini KPPU akan memanggil para penjual obat dan oksigen dengan harga di atas HET.
”Kami akan memastikan apakah perbedaan disparitas harga obat Covid-19 ini memang disebabkan tingginya permintaan sehingga tidak mampu disuplai oleh produksi yang ada atau memang ada pelanggaran persaingan usaha di dalamnya. Jika terbukti ada pelanggaran, kami akan menindaknya secara hukum,” ujarnya.
Dari sisi penetapan harga yang tinggi saja sudah mengindikasikan persaingan usaha yang tidak sehat. Jika terbukti ada pelanggaran, kami akan menindaknya secara hukum.
Sementara itu, dalam rapat dengar pendapat Holding BUMN Farmasi dengan Komisi VI DPR, Rabu, perusahaan-perusahaan farmasi milik pemerintah berkomitmen menjaga stok, distribusi, dan harga obat-obatan. Perusahaan-perusahaan tersebut adalah PT Bio Farma (Persero), PT Kimia Farma (Persero) Tbk, PT Phapros Tbk, dan PT Indofarma (Persero) Tbk.
Direktur Utama PT Kimia Farma Verdi Budidarmo mengatakan, Kimia Farma memproduksi dan menyuplai obat terapi Covid-19, seperti favipiravir, remdesivir, dan azithromycin. Untuk favipiravir, ditargetkan produksinya bisa 7 juta tablet sampai dengan 23 Juli 2021.
Sementara untuk remdesivir, Kimia Farma diminta untuk menyediakan 1,4 juta vial, baik dengan cara mengimpor maupun memproduksi sendiri. Indonesia akan mendapatkan suplai remdesivir dari India setelah larangan ekspornya dibuka sehingga pasokannya akan mulai bergulir lagi pada Juli hingga Desember tahun ini.
”Kami juga memproduksi azithromycin pada Juni lalu sebanyak 58.800 dus (1,18 juta tablet). Mulai Juli ini, kami akan gulirkan sekitar 294.000 dus atau sekitar 6 juta tablet per bulan untuk memenuhi kebutuhan nasional,” kata Verdi
Kimia Farma juga telah membanderol harga obat-obatan tersebut sesuai dengan HET yang ditetapkan pemerintah. HET tersebut telah ditempel di kasir apotek-apotek milik Kimia Farma agar pembeli bisa mengetahuinya.
Kimia Farma juga telah membanderol harga obat-obatan tersebut sesuai dengan HET yang ditetapkan pemerintah. Informasi HET tersebut telah ditempel di kasir apotek-apotek milik Kimia Farma agar pembeli bisa mengetahuinya.
Direktur PT Indofarma Arief Pramuhanto menuturkan, permintaan oseltamivir saat ini sangat tinggi. Oleh karena itu, Indofarma meningkatkan kapasitas produksinya dari 5 juta butir pada Juli menjadi 8 juta butir pada Agustus dan September 2021.
”Kami juga telah mendapatkan 230.000 vial remdesivir yang diimpor dari India. Selanjutnya nanti akan menyusul 140.000 vial pada 11 Juli 2021 dan 90.000 vial pada 15 Juli 2021,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur PT Phapros Hadi Kardoko menambahkan, permintaan multivitamin untuk meningkatkan daya tahan tubuh juga sangat tinggi. Pada Juni lalu, permintaannya melonjak 150 persen dari rata-rata permintaan pada Januari-Mei 2021. Untuk itu, Phapros akan menyiapkan 14 juta tablet multivitamin untuk memenuhi permintaan tersebut.
Selasa lalu, Menteri BUMN Erick Thohir telah meminta perusahaan-perusahaan milik negara berkontribusi untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan obat-obatan. Holding BUMN Farmasi diminta untuk memastikan ketersediaan obat-obatan pendukung perawatan pasien Covid-19, baik di rumah sakit maupun apotek, dengan harga yang telah ditetapkan pemerintah.
Perusahaan-perusahaan BUMN strategis, seperti Pertamina Group termasuk PT Perusahaan Gas Negara Tbk, PT Krakatau Steel (Persero) Tbk, dan Pupuk Indonesia Group, juga telah diminta memasok oksigen. Pupuk Indonesia Group, misalnya, sudah mengirimkan 96.73 ton oksigen ke sejumlah rumah sakit di Jakarta, Jawa Tengah, dan DI Yogyakarta.
”Selain itu, Krakatau Steel yang memiliki alokasi oksigen yang cukup besar yang selama ini digunakan untuk proses produksi baja juga mengalihkan oksigen ke sejumlah rumah sakit,” kata Erick melalui siaran pers.