Pembiayaan untuk Ekonomi Hijau Butuh Definisi Terpadu
Definisi dan indikator usaha sektor ekonomi lestari yang belum seragam menjadi tantangan dalam pelaporan industri jasa keuangan. OJK tengah berkoordinasi dengan 12 kementerian untuk menyeragamkannya.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Definisi dan indikator usaha yang bergerak di sektor ekonomi hijau masih beragam dan bergantung pada kementerian yang menaungi. Agar industri jasa keuangan dapat menyalurkan permodalan untuk usaha sektor ekonomi hijau tersebut, sebaiknya mengacu pada standar yang seragam. Otoritas Jasa Keuangan tengah memadukan definisi dan indikator tersebut.
Analis Senior Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Istiana Maftuchah mengatakan, pihaknya tengah menyelesaikan taksonomi hijau yang menyatukan definisi usaha yang bergerak di perekonomian lestari. Ia berharap perumusan taksonomi hijau tersebut dapat selesai tahun ini.
”Persepsi yang satu ini menjadi salah satu kunci penting bagi sektor jasa keuangan karena saat ini treshold ekonomi hijau masih ’berserakan’ di berbagai kementerian,” katanya dalam webinar ”Transisi Energi dan Pembiayaannya: Kontribusi Indonesia Menuju Global Net Zero Emission 2050” yang diadakan Environment Institute, Jumat (2/7/2021).
Definisi dan indikator sektor ekonomi lestari yang belum seragam menjadi tantangan dalam pelaporan industri jasa keuangan. Istiana menggambarkan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) memiliki definisi industri bersih dan indikator pengelolaan limbahnya, sedangkan Kementerian Perindustrian punya pemeringkatan industri hijau tersendiri.
Pendanaan hijau dari perbankan mencapai Rp 809,75 triliun berdasarkan survei dan rencana aksi pada 2020.
Oleh sebab itu, OJK berkoordinasi dengan 12 kementerian sebagai pemangku kepentingan untuk membentuk definisi, indikator, dan standar usaha yang memenuhi prinsip-prinsip ekonomi lestari secara terpadu.
Data OJK menunjukkan, pendanaan hijau dari perbankan mencapai Rp 809,75 triliun berdasarkan survei dan rencana aksi pada 2020. OJK juga mencatat, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk dan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk menerbitkan surat utang keberlanjutan skala mancanegara (global sustainability bond) dengan nilai total Rp 12,25 triliun.
Istiana menilai, pandemi Covid-19 patut menjadi alarm untuk memperkuat industri jasa keuangan dalam menyalurkan pembiayaan-pembiayaan bagi sektor usaha yang memenuhi prinsip ekonomi lestari. Salah satu indikatornya tampak dari riset Accenture yang menyebutkan 60 persen konsumen membeli produk ramah lingkungan selama pandemi.
Selain itu, mempertimbangkan kecenderungan perbankan internasional yang menawarkan pembiayaan untuk perusahaan yang menerapkan prinsip-prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG), Istiana berpendapat, pelaku industri jasa keuangan dalam negeri sebaiknya mengarah ke hal yang sama. Dengan demikian, industri jasa keuangan Indonesia tetap memiliki daya saing dan bertahan saat berhadapan dengan pemain-pemain global.
Salah satu indikatornya tampak dari riset Accenture yang menyebutkan 60 persen konsumen membeli produk ramah lingkungan selama pandemi.
Di sisi lain, ESG & Infrastructure Finance Director PricewaterhouseCoopers Indonesi, Julian Smith berpendapat, Indonesia patut memiliki instrumen keuangan, seperti asuransi risiko politik dan jaminan risiko parsial, dalam pembiayaan untuk transisi ke pembangunan emisi bebas karbon. Semakin mudah risiko tersebut dimitigasi, penghimpunan ekuitas dan utang sebagai salah satu sumber pembiayaan juga bakal makin mudah.
Julian memaparkan, penerbitan surat utang global yang memenuhi prinsip-prinsip ESG di pasar obligasi cenderung meningkat signifikan. Berdasarkan data yang dihimpun, 46 persen penerbitan tersebut untuk pembangunan ekonomi hijau.
Secara spesifik, dosen Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia sekaligus pendiri dan CEO Environment Institute Mahawan Karuniasa menyebutkan, kebutuhan investasi untuk sektor energi ramah lingkungan hingga 2030 mencapai Rp 3.500 triliun berdasarkan data yang dihimpun dari peta jalan Nationally Determined Contribution (NDC) Kementerian LHK.
”Dengan demikian, apabila kita ingin mereduksi (emisi gas rumah kaca) lebih banyak, kita membutuhkan uang yang lebih banyak pula dan teknologi yang lebih baik,” katanya pada kesempatan yang sama.
Guru Besar Institut Teknologi Bandung Purnomo Yusgiantoro menyebutkan, pembiayaan untuk transisi ke energi hijau, khususnya pengembangan energi baru terbarukan (EBT), di skala korporasi besar juga dapat memanfaatkan Sovereign Wealth Fund (SWF). Di skala usaha mikro, kecil, dan menengah, pembiayaan EBT dapat mengandalkan grant atau hibah.
”Kami punya pengalaman pembangunan energi mikrohidro yang investasinya berasal dari grant, sedangkan biaya operasionalnya menjadi tanggung jawab koperasi pengelola,” tuturnya.
Ke depannya, Purnomo menilai, pemerintah dapat mengembangkan skema dana minyak bumi (petroleum fund). Dana tersebut berasal dari penyisihan pendapatan minyak dan gas bumi, lalu dikelola dan menjadi dana pengembangan EBT.