”Sembodo” dan Refrein Swasembada Gula
Kebutuhan gula konsumsi dan industri pada 2030 sebanyak 9,5 juta ton. Jika tidak ada pembenahan industri gula, impor gula bisa melonjak hingga 6,6 juta ton. Program swasembada gula harus dipastikan terealisasi.
Setelah selama lima dekade tertatih-tatih dan kerap terlindas kebijakan impor, program swasembada gula, terutama gula konsumsi, mulai menunjukkan secercah harapan. Kementerian Pertanian dan badan usaha milik negara menggulirkan berbagai langkah konkret untuk mencapai target swasembada gula konsumsi.
Kementerian Pertanian menargetkan, Indonesia bisa memenuhi kebutuhan konsumsi 2,8 juta ton gula kristal putih pada 2023. Saat ini, Indonesia masih defisit gula konsumsi atau gula kristal putih sebanyak 620.000 ton. Hal ini mengingat produksi gula konsumsi dalam negeri baru sekitar 2,18 juta ton, sedangkan kebutuhannya mencapai 2,8 juta ton.
Dua strategi diterapkan sejak 2020, yaitu melalui intensifikasi lahan seluas 200.000 hektar (ha) di Jawa dan ekstensifikasi lahan seluas 50.000 ha di luar Jawa. Dengan begitu, diharapkan ada peningkatan produksi gula sebesar 676.000 ton per tahun.
Sementara dengan target internalnya, badan usaha milik negara (BUMN) juga turut menopang program tersebut. Salah satunya melalui pembentukan perusahaan induk atau holding perkebunan dan pangan, yaitu holding PT Perkebunan Nusantara III (Persero) atau PTPN Group dan holding BUMN Kluster Pangan yang dikomandani PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) atau RNI.
PTPN III sebagai induk usaha PTPN Group berencana membentuk perusahaan subholding Sugar Company (SugarCo) yang ditargetkan rampung pada akhir tahun ini. Ada tujuh anak usaha yang akan digabung, yaitu PTPN II, PTPN VII (PT BCAN), PTPN IX, PTPN X, PTPN XI, PTPN XII (PT IGG), dan PTPN XIV.
Direktur Utama PTPN III Mohammad Abdul Ghani, Senin (21/6/2021), mengatakan, pembentukan SugarCo diawali dengan pemecahan spin-off aset pabrik gula dengan lahan perkebunan. Total nilai aset pabrik-pabrik gula dari tujuh anak usaha tersebut Rp 17 triliun.
Aset ini nantinya akan dikelola oleh SugarCo dan ditawarkan kepada investor yang berminat untuk mengelola pabrik-pabrik gula tersebut. SugarCo juga akan menggandeng Indonesia Invesment Authority (INA) atau lembaga pengelola investasi milik Indonesia sebagai investor atau co-investor.
”PTPN Group akan melakukan divestasi saham SugarCo kepada investor. Porsi kepemilikan sahamnya akan diputuskan kemudian. PTPN Group menargetkan setidaknya menjadi pemegang 49 persen dengan opsi buyback (pembelian kembali) saham,” kata Ghani dalam rapat dengar pendapat PTPN III dengan Komisi VI DPR yang digelar secara hibrida di Jakarta.
Menurut Ghani, SugarCo membutuhkan investasi sebesar Rp 20 triliun untuk membangun lima pabrik gula dan merevitalisasi satu pabrik gula. Saat ini, PTPN Group memiliki 43 pabrik gula dan tujuh di antaranya tidak beroperasi. Skemanya nanti, sebanyak 35 pabrik gula yang masih beroperasi bisa dikelola oleh investor, sedangkan lahan tebu dan produksi tebu menjadi tanggung jawab PTPN Group.
PTPN Group juga berharap, investor yang nanti masuk tidak hanya memberikan modal, tetapi juga berpengalaman di bidang produksi gula dan produk turunan gula, serta memiliki jaringan pemasaran gula kristal putih. Hal ini dalam rangka menopang upaya diversifikasi usaha PTPN, yakni memperkuat pasar ritel gula konsumsi PTPN.
”Kami menargetkan bisa memprodukai gula kristal putih sebanyak 2 juta ton pada 2025 melalui revitalisasi bisnis tersebut. Produksi gula PTPN Group saat ini sebanyak 800.000 ton. Jumlah tersebut sekitar 11 persen dari pangsa pasar gula kristal putih dan gula rafinasi atau 34 persen dari total produksi domestik gula kristal putih,” tuturnya.
SugarCo membutuhkan investasi sebesar Rp 20 triliun untuk membangun lima pabrik gula dan merevitalisasi satu pabrik gula.
Baca Juga: Gula-gula Swasembada Gula
PTPN Group memperkirakan, kebutuhan gula konsumsi dan industri pada 2030 sebanyak 9,5 juta ton. Jika tidak ada pembenahan bisnis dan industri gula, impor gula bisa melonjak hingga 6,6 juta ton per tahun.
Saat ini, total kebutuhan gula konsumsi dan industri dalam setahun sebanyak 5,8 juta ton. Dengan total produksi sebanyak 2,18 juta ton, Indonesia masih mengalami defisit gula konsumsi dan industri sebanyak 3,62 juta ton.
Kebutuhan gula konsumsi dan industri pada 2030 sebanyak 9,5 juta ton. Jika tidak ada pembenahan bisnis dan industri gula, impor gula bisa melonjak hingga 6,6 juta ton.
Menjaga petani
PT RNI berkomitmen mengoptimalkan aset dan memperluas lahan tebu untuk meningkatkan produksi gula nasional. Hingga 2024 nanti, RNI menargetkan bisa memperluas lahan tebu hingga 20.000 ha. Dengan begitu, poduksi gula RNI bisa bertambah dari 230.000 ton pada 2020 menjadi 430.000 ton pada 2024.
Tahun lalu, RNI telah menyerap tebu petani rakyat sebanyak 3,3 juta ton dari sekitar 4.000 petani mitra Grup RNI dan mampu memproduksi gula sebanyak 231.000 ton. Tahun ini, RNI menargetkan produksi gula meningkat sebesar 22 persen menjadi 282.000 ton. Pada tahun ini, RNI juga berkomitmen menjaga harga gula petani dengan menjadi offtaker atau pembeli siaga gula tersebut. PT RNI akan membeli gula petani itu minimal Rp 10.500 per kilogram.
Direktur Utama PT RNI Arief Prasetyo Adi mengatakan, komitmen ini akan direalisasikan jika harga gula petani jatuh atau berada di bawah Rp 10.500 per kg. ”Namun, jika dalam proses lelang harganya lebih tinggi dari harga minimal jaminan serapan tersebut, RNI tetap akan menyerap dan membeli gula petani sesuai harga pasar atau lelang gula,” katanya.
Baca Juga: Antisipasi Harga Gula Petani Jatuh, Pemerintah Siapkan Pembeli Siaga
Tak hanya menjaga harga gula, RNI turut menjaga petani dengan membangun kemitraan. Pada peluncuran perdana pada 2018, jumlah petani yang mengikuti program kemitraan ini sekitar 900 kepala keluarga dengan lahan kurang lebih seluas 1.900 hektar.
Pada masa tanam 2019-2020, jumlah peserta kemitraan bertambah menjadi sekitar 1.800 kepala keluarga, dengan tambahan luas lahan menjadi 3.300 kektar. Kemudian pada musim tanam 2020-2021, RNI menargetkan jumlah petani yang menjadi mitranya bertambah menjadi 2.200 kepala keluarga dengan lahan yang dikelola kurang lebih seluas 4.300 hektar.
Anggota Komisi VI DPR, Nusron Wahid, berpendapat, swasembada gula tak cukup hanya dengan meningkatkan produktivitas dan menambah lahan tebu atau membangun dan merevitalisasi pabrik gula. Menjaga petani dan harga gula, termasuk dari serbuan rembesan gula rafinasi di pasar gula konsumsi, juga diperlukan.
Kerap kali yang terjadi harga gula petani selalu jatuh lantaran gula rafinasi untuk keperluan industri merembes ke pasar konsumsi. Membanjirnya gula impor itu juga kerap membuat gula petani menumpuk tak terserap pasar.
”Banyak gula kristal putih petani yang menumpuk pada tahun lalu hingga awal tahun ini. Mirisnya, pemerintah justru memberikan ’subsidi’ kepada petani negara lain dengan mengimpor gula kristal putih,” ujar Nusron.
Banyak gula kristal putih petani yang menumpuk pada tahun lalu hingga awal tahun ini. Mirisnya, pemerintah justru memberikan ’subsidi’ kepada petani negara lain dengan mengimpor gula kristal putih.
Pada 2021, pemerintah mengalokasikan kuota impor gula mentah sebanyak 3,2 juta ton untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri gula rafinasi. Kebutuhan itu akan dipenuhi dalam dua tahap, yakni 2,9 juta ton di semester I-2021 dan 1,3 juta ton di semester II-2021. Pemerintah juga mengeluarkan izin impor gula kristal putih sebanyak 646.944 ton guna mencukupi kebutuhan dan mengendalikan harga gula pada periode Ramadhan-Lebaran.
Baca Juga: Ada Celah Tekan Gula Petani
Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional APTRI Soemitro Samadikoen berharap pemerintah terus memberikan jaminan pasar dan harga gula dan pasar yang menguntungkan petani. Maraknya gula impor selama beberapa tahun belakangan ini membuat pasar gula petani bergerak lamban.
”Rembesan gula rafinasi impor dan mulai beralihnya pabrik-pabrik gula yang tidak lagi menggiling tebu, tetapi gula mentah, menyebabkan stok gula petani kerap menumpuk. Kami berharap agar hal itu tidak terjadi pada tahun ini,” ujarnya.
Swasembada gula juga tak sekadar usaha untuk mencukupi kebutuhan gula. Swasembada mengandung kata ”sembada” yang dalam bahasa Jawa sembodo atau perbuatan yang sesuai dengan tanggung jawab dan komitmen.
Semoga progran swasembada gula yang sudah berkali-kali digaungkan di berbagai era kepemimpinan sejak 49 tahun lalu benar-benar tak menjadi refrein yang selalu diulang. Kementerian Pertanian dan dua BUMN yang mengomandani holding ini diharapkan sembodo bersama-sama merealisasikan swasembada gula konsumsi.
Baca Juga: Sibuk Mengimpor, Lupa Menanam