Kadin adalah rumah bersama bagi pengusaha dari skala mikro, kecil, menengah, hingga besar. Kepengurusan baru Kadin diharapkan tidak sekadar memberi janji manis dan serius dalam memperjuangkan aspirasi pelaku UMKM.
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Usaha mikro, kecil, dan menengah yang mendominasi dunia usaha menjadi motor pendorong pertumbuhan ekonomi. Kebijakan pemulihan ekonomi yang mengabaikan UMKM, khususnya mikro dan kecil, akan memperparah ketimpangan dan kemiskinan serta menghambat terciptanya pemulihan yang berkualitas.
Konsistensi Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia periode 2021-2026 di bawah kepemimpinan Arsjad Rasjid untuk mendukung kemajuan UMKM akan diuji di tengah krisis ekonomi akibat pandemi. Kadin diharapkan tidak sekadar memberi janji manis dan serius dalam memperjuangkan aspirasi pelaku UMKM ke pemerintah.
Arsjad Rasjid resmi dikukuhkan sebagai ketua umum menggantikan Rosan Roeslani pada penutupan Munas Kadin VIII di Kendari, Sulawesi Tenggara, Kamis (1/7/2021) sore. Pesaing Arsjad, Anindya Bakrie, resmi disahkan menjadi ketua dewan pertimbangan Kadin. Acara munas yang diadakan di tengah lonjakan kasus Covid-19 itu ditutup oleh Menteri Investasi Bahlil Lahadalia.
Dalam kata sambutannya seusai pengesahan, Arsjad yang merupakan pemain besar di sektor energi dan batubara mengatakan, Kadin adalah rumah bersama bagi pengusaha dari skala mikro, kecil, menengah, hingga besar. Ia pun berkomitmen menjadikan Kadin organisasi yang inklusif bagi para pelaku UMKM.
”Yang kita perlukan ke depan adalah lebih banyak pengusaha karena mereka yang akan menciptakan lapangan pekerjaan untuk mengatasi problem pengangguran dan kemiskinan,” ujar Arsjad.
Salah satu program yang ia canangkan adalah Inovasi Hub, sebuah warung inovasi bagi wirausaha baru dengan bekerja sama dengan rumah ibadah. ”Jadi, rumah ibadah tidak hanya untuk ibadah, tetapi dari situ kita menciptakan lebih banyak pengusaha mikro dan kecil,” katanya.
Program lainnya adalah mendorong realisasi program pemerintah sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yaitu kemitraan strategis antara investor besar, baik asing maupun dalam negeri, dengan pelaku UMKM setempat di daerah. Kerja sama jangka panjang dengan pengusaha UMKM harus menjadi syarat penanaman modal di daerah.
Menurut data Kementerian Investasi, sampai Mei 2021, nilai investasi hasil kemitraan usaha besar dengan UMKM sudah lebih dari Rp 10 triliun. Bentuknya bukan kerja sama berdasarkan proyek jangka pendek, melainkan konsesi yang sifatnya berkesinambungan.
”Semua investasi yang masuk harus punya partner lokal dengan pengusaha daerah. Investasi harus punya dampak menggerakkan roda ekonomi pengusaha kecil setempat,” kata Arsjad.
Mendominasi
Menurut data Kementerian Koperasi dan Usaha Mikro Kecil Menengah, pada 2018, jumlah pelaku UMKM sebanyak 64,2 juta atau 99,99 dari total pelaku usaha di Indonesia. Jumlah pelaku usaha besar hanya 5.550 orang atau 0,01 persen. Di tengah krisis saat ini, UMKM memegang kunci untuk pemulihan ekonomi.
UMKM menyerap 117 juta pekerja atau 97 persen dari daya serap tenaga kerja dunia usaha. Kontribusi UMKM terhadap perekonomian nasional (PDB) pun lebih signifikan dari usaha besar, yakni 61,1 persen. Dari 99 persen pelaku UMKM itu, mayoritas merupakan pelaku usaha mikro (98,68 persen) dengan daya serap tenaga kerja sekitar 89 persen.
Sharief Cicip Sutardjo, yang merupakan Ketua Dewan Penasihat Kadin periode 2015-2021 mengatakan, di tengah pandemi, UMKM lebih sulit beradaptasi dengan tantangan perubahan dibandingkan dengan usaha besar. Survei Bank Indonesia menunjukkan, hanya 12,5 persen UMKM yang tidak terdampak dan mampu beradaptasi selama pandemi.
Mayoritas pelaku UMKM masih sulit mengakses pembiayaan. Masih ada 69,5 persen UMKM yang tidak memiliki kredit perbankan dan hanya 6,1 persen yang memiliki kredit dari lembaga tekfin atau nonkeuangan lainnya. Sementara itu, hanya 40,4 persen UMKM yang tergabung dalam kelompok usaha.
Syarief mengatakan, kepengurusan Kadin yang baru harus memperjuangkan UMKM sebagai motor pendorong pemulihan ekonomi. Kadin harus mendorong pemerintah dan otoritas moneter untuk menaikkan rasio kredit bagi UMKM, khususnya usaha mikro dan kecil, serta mendorong politik anggaran yang pro pada UMKM.
”Pertumbuhan ekonomi tanpa menjadikan UMKM sebagai aktor utama akan menimbulkan persoalan ekonomi berupa ketimpangan dan kemiskinan berkepanjangan,” kata Syarief saat menyampaikan saran dan usulan kepada kepengurusan baru Kadin di acara Munas Kadin.
Eksklusif
Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Ikhsan Ingratubun berharap kepengurusan Kadin baru dapat konsisten dengan komitmennya untuk lebih berpihak pada UMKM. Menurut dia, selama ini, UMKM belum merasakan dukungan yang signifikan dari Kadin. Kadin terkesan eksklusif hanya untuk perusahaan-perusahaan besar.
Asosiasi UMKM sering kali harus berusaha sendiri untuk menyuarakan kebutuhan mereka ke pemerintah. ”Kadin tidak masuk dalam kebijakan pemerintah terkait UMKM, apa yang disampaikan lebih banyak mengambang. Dalam rapat-rapat dengan pemerintah, kami akhirnya menyuarakan sendiri, pemerintah juga lebih banyak langsung mengundang kami,” kata Ikhsan.
Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) Suroto mengatakan, jika dilihat dari strukturnya, UMKM lebih banyak didominasi oleh pelaku usaha mikro, bukan kecil-menengah. Usaha mikro yang umumnya berkecimpung di sektor informal saat ini sudah babak belur terpukul pandemi, tetapi sektor ini justru kerap paling luput dari perhatian.
Pemerintah telah meluncurkan sejumlah program untuk mendukung UMKM. Namun, usaha mikro masih sulit mengakses berbagai bantuan. Ia mengatakan, dari porsi rasio kredit yang diperuntukan untuk para pelaku UMKM sebesar 20 persen, realisasinya hanya 19,75 persen pada akhir tahun 2020. Dari realisasi itu, hanya 3 persen yang disalurkan untuk usaha mikro.
Suroto pesimistis Kadin dapat mengubah citra eksklusif yang selama ini dominan. Menurut dia, wajah kebijakan Kadin selama ini tidak berkontribusi terhadap pengembangan UMKM, apalagi usaha mikro. ”Justru menciptakan kesenjangan, antara pengusaha besar yang mendapat privilese (keistimewaan) dari negara, dengan mayoritas pelaku usaha yang sebenarnya adalah rakyat kecil,” kata Suroto.