Pelaku Usaha Makanan dan Minuman Berharap Pemerintah Berikan Insentif
PPKM darurat bakal memukul pelaku usaha makanan dan minuman, seperti restoran dan warung makan karena ada larangan makan di tempat. Sebagai kompensasi, mereka meminta pemerintah memberikan insentif.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaku usaha makanan dan minuman berharap pemerintah memberikan insentif selama penerapan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM mikro. Kebijakan tersebut bakal memukul usaha mereka, sedangkan menggeser layanan dari makan di tempat ke pesan-antar tidak mudah dilakukan.
PPKM mikro darurat di Jawa-Bali pada 3-20 Juli 2021 mengamanatkan pusat perbelanjaan/mal/pusat perdagangan ditutup. Kemudian, pelaksanaan kegiatan makan/minum di tempat umum, seperti warung makan, rumah makan, kafe, pedagang kaki lima, dan lapak jajanan, baik yang berada di lokasi tersendiri maupun di pusat perbelanjaan/mal, hanya boleh menerima pesan-antar ataupun bawa pulang dan melarang makan di tempat.
Wakil Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Emir Arifin saat dihubungi pada Kamis (1/7/2021), di Jakarta, mengatakan, kebanyakan restoran didesain tidak melayani secara dominan pesan-antar. Kecuali, restoran yang sejak awal konsep pembangunannya diperuntukkan untuk juga dominan melayani pesan-antar makanan, seperti Pizza Hut Delivery dan gerai makanan martabak.
”Sebab, restoran hadir untuk memberikan pengalaman makan di tempat. Tidak heran, 90 persen pendapatan restoran berasal dari layanan makan di tempat dan hanya 10 persen pemasukan bersumber dari pesan-antar,” ujarnya.
Kebanyakan restoran didesain tidak melayani secara dominan pesan-antar. Kecuali, restoran yang sejak awal konsep pembangunannya diperuntukkan untuk juga dominan melayani pesan-antar makanan.
Kebijakan seperti itu, menurut Emir, kembali memukul pengusaha restoran. Apalagi, mereka yang punya tempat di pusat perbelanjaan/mal. Mereka harus tetap membayar biaya operasional, mulai dari karyawan sampai sewa tempat. Ia menggambarkan, kerugian tempat makan di mal-mal, jika PPKM mikro darurat diterapkan, bisa mencapai sekitar Rp 8 triliun per bulan.
”Belum lagi kerugian restoran yang punya sewa atau punya gedung di luar mal/pusat perbelanjaan. Mereka, kan, umumnya harus bayar biaya Pajak Bumi dan Bangunan kepada pemerintah daerah,” katanya.
Dewan Penasihat Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan (Hippindo) Tutum Rahanta saat dihubungi terpisah mengatakan, menggeser layanan makan di tempat ke pesan-antar secara daring tidak mudah. Apalagi, situasi sekarang sudah banyak pengusaha tempat makan dari berbagai latar belakang skala usaha terjun ke daring.
”Promosi yang diberikan oleh penyedia aplikasi pesan-antar makanan dan lokapasar tidak selalu membawa untung. Margin tipis. Artinya, pengusaha tempat makan tetap butuh tambahan untuk menutup biaya operasional,” ucapnya.
Emir dan Tutum sepakat agar pemerintah punya kebijakan yang membantu pengusaha tempat makan membayar biaya operasional. Misalnya, pajak sewa, reklame, bumi dan bangunan, sampai berlangganan listrik diberikan insentif. ”Kalau pemerintah (pusat dan daerah) tidak ada uang, pemerintah bisa mengeluarkan kebijakan yang berdampak langsung meringankan beban operasional kami,” ujar Tutum.
Kalau pemerintah (pusat dan daerah) tidak ada uang, pemerintah bisa mengeluarkan kebijakan yang berdampak langsung meringankan beban operasional kami.
CEO Hangry Abraham Viktor mengatakan, pihaknya akan menyesuaikan waktu operasional tiap outlet dengan PPKM mikro darurat. Semua outlet Hangry yang lebih dari 40, termasuk tempat makan, hanya akan menyediakan pesan-antar dan layanan bawa pulang makanan. Semua kru dan staf Hangry tetap diharuskan menjaga protokol kesehatan dan ikut vaksinasi Covid-19.
Krisis terburuk
Firma konsultan manajemen global Kearney melalui laporan terbarunya, ”Food for thought: evolution of food services post-Covid-19 in Asia”, menyebutkan, pandemi Covid-19 merupakan krisis terparah yang dialami oleh industri jasa makanan di Asia selama 50 tahun terakhir. Sampai akhir tahun 2020, pasar layanan makanan di Asia menyusut sebanyak 25-30 persen menjadi sekitar 952 miliar dollar AS. Khusus untuk Indonesia, pasar layanan makanannya turun 35-45 persen. Posisi Indonesia sejajar dengan India dan Filipina.
Partner di Kearney Siddharth Pathak berpendapat, PPKM mikro darurat akan berdampak pada pengusaha makanan skala kecil. Namun, dia memperkirakan, dampaknya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan pembatasan sosial yang pernah dikeluarkan Pemerintah Indonesia tahun lalu.
Asumsi dia, selama 12 bulan terakhir, sudah banyak pengusaha makanan berskala usaha kecil dan menengah (UKM) telah menyadari pentingnya model pesan-antar. Mereka telah membangun kemampuan berusaha secara mandiri ataupun melalui agregator jasa makanan yang membantu menghimpun data serta informasi dalam memperlancar pemesanan, pelacakan pembayaran, pengiriman, serta pengalaman konsumen.