Wapres Ma’ruf Amin Minta Percepatan Kodifikasi Produk Halal
Wakil Presiden Ma’ruf Amin meminta Kementerian Keuangan dan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal mempercepat proses kodifikasi produk halal Indonesia agar tercipta data produk halal yang akurat.
Oleh
Cyprianus Anto Saptowalyono
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah saat ini terus berupaya secara progresif mewujudkan Indonesia sebagai pusat halal dunia. Di sisi lain, selama ini banyak produk halal Indonesia yang diekspor ternyata tidak tercatat secara khusus sebagai produk halal.
Terkait hal tersebut, Wakil Presiden Ma’ruf Amin selaku Ketua Harian Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) meminta Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) mempercepat proses kodifikasi produk halal Indonesia agar tercipta data produk halal yang akurat.
”Selama ini banyak produk halal yang sebenarnya diekspor, tapi kemudian tidak dicatat sebagai bagian dari produk halal,” kata Juru Bicara Wapres Masduki Baidlowi, dalam keterangan persnya, Rabu (30/6/2021).
Selama ini, banyak produk halal yang diekspor, tapi kemudian tidak dicatat sebagai bagian dari produk halal.
Sehubungan dengan hal tersebut, Wapres Amin meminta Kemenkeu, dalam hal ini Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea dan Cukai, serta BPJPH melakukan kodifikasi produk-produk halal dari Indonesia yang diekspor. Produk halal yang diekspor ke luar negeri, terutama yang berbasis makanan, dicatat secara khusus sebagai produk halal. ”(Hal ini) agar tercatat dengan baik bahwa produk halal Indonesia itu sebenarnya besar,” ujarnya.
Masduki menuturkan, Kepala Sekretariat Wakil Presiden (Kasetwapres) Mohamad Oemar menindaklanjuti arahan Wapres Ma’ruf Amin dalam rapat KNEKS tanggal 11 Mei 2021 untuk mempercepat proses kodifikasi tersebut. Surat pun telah dikirimkan kepada Menkeu dan Pelaksana Tugas Kepala BPJPH.
Pada Kamis (24/6/2021), Kasetwapres Mohamad Oemar berkirim surat kepada Pelaksana Tugas Kepala BPJPH yang isinya menyampaikan arahan Wapres agar BPJPH segera mempercepat kodifikasi ekspor/impor produk halal. Hal ini ditempuh dengan merumuskan penyesuaian nomor sertifikasi halal mengikuti harmonized system (HS) yang berlaku secara internasional.
Surat Kasetwapres tersebut juga berisi permintaan agar BPJPH segera berkoordinasi dengan jajaran Kemenkeu terkait, yakni Ditjen Bea dan Cukai serta Lembaga National Single Window (LNSW), untuk membuat aturan teknisnya.
Secara paralel, di hari yang sama, Kasetwapres juga berkirim surat kepada Menkeu untuk menyampaikan arahan Wapres agar Menkeu segera menyelesaikan landasan hukum terkait kodifikasi ekspor/impor produk halal. Hal ini guna mendukung ketersediaan data perdagangan produk halal yang akurat.
Koordinasi antara KNEKS dan Ditjen Bea Cukai, Kemenkeu, serta BPJPH tersebut bernilai penting. ”Jadi, ini adalah bagian dari rangkaian upaya-upaya yang terus didorong pemerintah, dalam hal ini Wakil Presiden, yang bertanggung jawab meningkatkan produk halal di Indonesia supaya makin hari makin besar,” kata Masduki.
Potensi besar
Sebagai gambaran, State Global Islamic Economic Report 2020-2021 melaporkan tingkat konsumsi masyarakat Muslim dunia mencapai 2,02 triliun dollar AS di sektor makanan, farmasi, kosmetik, mode, perjalanan, media, dan rekreasi halal. Menilik data OIC Economic Outlook 2020, di antara negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), Indonesia menjadi eksportir terbesar kelima dengan proporsi 9,3 persen.
Posisi kinerja ekspor Indonesia ini berada di bawah Arab Saudi dengan proporsi 14,5 persen, Malaysia (13,3 persen), Uni Emirat Arab (12,3 persen), dan Turki (10,1 persen).
”Oleh karena itu, Indonesia harus lebih gigih berusaha menguasai pasar halal dunia, khususnya negara-negara OKI,” kata Wapres Amin saat memberikan sambutan secara virtual pada pembukaan Indonesia Industrial Moslem Exhibition (II-Motion) 2021, Kamis (3/6/2021).
Menutur Wapres, langkah strategis mewujudkan Indonesia sebagai pengekspor produk halal global, antara lain, pertama, mengembangkan riset halal dan meningkatkan substitusi impor. Kedua, membangun kawasan-kawasan halal yang terintegrasi dengan fasilitas logistik halal.
Ketiga, membangun sistem informasi halal, termasuk mempercepat proses penyelesaian sertifikat halal. Keempat, meningkatkan kontribusi produsen-produsen produk halal, baik skala mikro, menengah, maupun besar untuk ekspor produk halal ke seluruh dunia atau global halal value chain (rantai nilai halal global).
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman, beberapa waktu lalu, menuturkan adanya tren peningkatan permintaan pangan halal di Indonesia dan dunia. Halal bukan sekadar menyangkut kepercayaan. Banyak pihak atau konsumen yang menganggap produk halal sebagai suatu produk yang higienis, memperhatikan mutu, dan lain sebagainya.
”Jadi, sudah menjadi common trend (kecenderungan umum) di dunia bahwa banyak negara non-Muslim pun mencari produk-produk halal, baik untuk penduduk Muslim-nya maupun non-Muslim,” kata Adhi pada unjuk bincang bertajuk ”Mengangkat Potensi Unggulan Pangan Halal Lokal Melalui Inovasi untuk Mengisi Pasar Domestik dan Global.”
Jadi, sudah menjadi common trend (kecenderungan umum) di dunia bahwa banyak negara non-Muslim pun mencari produk-produk halal, baik untuk penduduk Muslim-nya maupun non-Muslim. (Adhi S Lukman)
Pada kesempatan unjuk bincang yang merupakan rangkaian Indonesia II-Motion 2021 tersebut, Adhi menuturkan banyak peluang yang bisa digarap di pasar domestik dan global. Peluang besar bagi produk pangan halal tidak terlepas dari populasi umat Islam di dunia ataupun Indonesia.
Berdasarkan Data World Population Review, populasi umat Islam dunia saat ini mencapai 1,9 miliar jiwa dan Indonesia menjadi negara Muslim terbesar dengan populasi 229 juta jiwa. Angka tersebut merupakan 87,2 persen dari populasi penduduk Indonesia yang berjumlah 276,3 juta jiwa atau 12,7 persen dari populasi Muslim dunia.
Potensi industri halal di dunia, lanjut Adhi, sangat luar biasa. Pada 2019, misalnya, tercatat 1,9 miliar penduduk Muslim di dunia mengeluarkan belanja untuk pangan cukup tinggi, yakni 1,17 triliun dollar AS atau meningkat 3,1 persen dari tahun 2018 yang 1,13 triliun dollar AS. ”Dan, diperkirakan sampai tahun 2024 belanja untuk pangan halal akan mencapai 1,38 triliun dollar AS. Ini potensi yang sangat besar,” ujarnya.
Sayangnya, di peringkat dunia, menurut Global Islamic Economy, pangan halal Indonesia ada di urutan keempat di bawah Malaysia, Singapura, dan Uni Emirat Arab.
”Menurut saya, sebenarnya, seharusnya, Indonesia itu nomor satu. (Hal ini) Karena kalau melihat total ekspor makanan minuman dan sawit kita tahun lalu mencapai 31 miliar dollar AS. Dan, saya yakin, 80 persen lebih produk pangan yang kita ekspor itu halal sebenarnya,” ujar Adhi.
Menurut Adhi, hal ini dimungkinkan akibat masalah pencatatan atau registrasi saja, yakni bahwa kita belum mendeklarasikan produk kita tersebut halal. Oleh sebab itu, kehalalan produk-produk ekspor Indonesia perlu dipromosikan bersama ke seluruh dunia.