Tren pariwisata massal yang selama ini menjadi andalan untuk mengejar kuantitas turis kini seiring dengan kondisi pandemi Covid-19 mulai berubah menjadi pariwisata berkualitas. Konektivitas menjadi kuncinya.
Oleh
Stefanus Osa Triyatna
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tren pariwisata massal yang selama ini menjadi andalan untuk mengejar kuantitas turis mulai berubah menjadi pariwisata berkualitas (quality tourism) seiring pandemi Covid-19. Kualitas yang diharapkan wisatawan ke depan terkait dengan pelayanan, ketersediaan infrastruktur di daerah tujuan wisata, belanja, dan masa lama tinggal di daerah destinasi wisata.
Perubahan itu juga mendukung tatanan normal baru yang lebih mengutamakan interaksi dengan alam dan mementingkan cara menjaga lingkungan pada setiap destinasi wisata. Pariwisata berkualitas memberikan manfaat, tidak hanya bagi ekonomi negara, tetapi juga kemajuan masyarakat di destinasi wisata secara utuh dan berkesinambungan.
Kosmas Harefa, Asisten Deputi Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan Kemenko Kemaritiman dan Investasi, dalam webinar dengan topik ”Strategi Meningkatkan Angkutan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) dan Angkutan Pariwisata” di Jakarta, Kamis (24/6/2021), mengatakan, ”Seluruh kualitas wisata ini bisa dipengaruhi banyak hal. Kalau sarana angkutannya bagus, aman, dan nyaman, tentu memberikan kontribusi positif kepada wisatawan untuk mau datang kembali lagi.”
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia pada April 2021 sebanyak 127.512 orang atau menurun 19,33 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2020 sebanyak 158.066 orang. Kunjungan wisman di beberapa bandara internasional menurun drastis, seperti Lombok (Nusa Tenggara Barat) sebesar 100 persen dan Denpasar (Bali) sebesar 96,70 persen.
Dalam kepariwisataan secara global, citra pariwisata setiap negara digambarkan dalam Travel and Tourism Competitiveness Index (TTCI) yang dikeluarkan World Economic Forum. Tahun 2019, Indonesia menempati peringkat 40 dari 140 negara. Di tengah kondisi saat ini, wisatawan domestik menjadi andalan utama dengan syarat protokol kesehatan diterapkan secara ketat.
Pariwisata Indonesia masih memiliki kelemahan berdasarkan laporan TTCI, antara lain, menyangkut keselamatan dan keamanan, keberlanjutan lingkungan, infastruktur pelayanan wisata, serta kesehatan dan higienitas. Keempat pilar kelemahan ini menyebabkan posisi peringkat Indonesia lebih rendah dibandingkan negara kompetitor lainnya.
Pariwisata berkualitas memberikan manfaat, tidak hanya bagi ekonomi negara, tetapi juga kemajuan masyarakat di destinasi wisata secara utuh dan berkesinambungan.
”Indeks TTCI banyak diadopsi wadah internasional, termasuk oleh para calon investor, dalam berinvestasi di bidang pariwisata. Posisi kita masih di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand,” kata Kosmas.
Menurut Kosmas, implementasi perubahan ini perlu diterapkan pada pengembangan lima destinasi wisata superprioritas, yakni Danau Toba, Borobudur, Mandalika, Labuan Bajo, dan Likupang. Sebenarnya, sektor wisata sudah mulai berbenah, seperti penciptaan infrastruktur moda transportasi yang dilakukan Kementerian Perhubungan.
Direktur Angkutan Jalan Ditjen Perhubungan Darat Ahmad Yani memandang, pengembangan KSPN tentu tak terpisahkan dengan konektivitas. Untuk Danau Toba, pengembangan infrastruktur yang dipersiapkan sudah sebanyak 12 dermaga, termasuk kapal, dan mengubah pula sistem pelayanan dari tradisional yang membahayakan keselamatan menjadi profesional yang mengutamakan keselamatan.
Selain dermaga, dibenahi pula kendaraan yang terkoneksi dengan Bandara Silangit sebagai bandara terdekat Danau Toba. Pergerakan antar-obyek wisata di kawasan Danau Toba juga dilengkapi kendaraan-kendaraan yang disubsidi pemerintah.
Begitu pula penyediaan sarana angkutan wisata menuju Candi Borobudur, Ditjen Perhubungan Darat juga mulai menggandeng komunitas VW Safari dan Jeep di sekitar Magelang, Jawa Tengah, dengan cara menyubsidi komunitas ini agar dapat melayani wisatawan dengan baik. ”Insentif-insentif memang sangat perlu kita lakukan,” ujar Yani.
Di Labuan Bajo, menurut Yani, juga terus dikembangkan sarana angkutan sebagai konektivitas. Misalnya, konektivitas yang dibutuhkan wisatawan dari Pelabuhan Labuan Bajo menuju Bajawa, kawasan dataran tinggi yang dikenal keindahannya. Begitu pula koneksi dari Labuan Bajo ke Ende. Memang, sampai saat ini faktor keterisian wisatawan masih di bawah 30 persen.
Standar internasional
Subkoordinator Aksesibilitas dan Konektivitas Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Rickayatul Muslimah menegaskan, ”Dukungan pemangku kepentingan dalam pengembangan KSPN diperlukan untuk mewujudkan pariwisata Indonesia berdaya saing. Tentu, untuk bermain di internasional, pengembangan KSPN juga perlu menggunakan standar internasional.”
Menurut Rickayatul, pilar kuat dari pariwisata Indonesia berdasarkan TTCI terletak pada sisi harga (price), prioritas perjalanan dan wisatawan, keterbukaan pada internasional, sumber daya alam dan kebudayaan, serta perjalanan bisnis.
Fokusnya bukan pada jumlah wisawatan, melainkan pada banyaknya pengeluaran wisatawan, lama tinggal, dapat memberikan manfaat untuk kesejahteraan masyarakat, dan berlandaskan pariwisata berkelanjutan.
Dalam membangun pariwisata berkualitas, kata Rickayatul, paradigma pariwisata didorong untuk mampu meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat lokal serta kepuasan wisatawan sehingga tidak saja memberikan manfaat bagi generasi sekarang, tetapi juga generasi yang akan datang. Fokusnya bukan pada jumlah wisawatan, melainkan pada banyaknya pengeluaran wisatawan, lama tinggal, dapat memberikan manfaat untuk kesejahteraan masyarakat, dan berlandaskan pariwisata berkelanjutan.
Sekretaris Jenderal Organda Ateng Aryono memandang, pariwisata memang sangat mementingkan aksesibilitas. Walaupun KSPN ditetapkan sebagai superprioritas, semua itu takkan ada artinya tanpa ada aksesibilitas berupa sarana, prasarana, maupun sistem penyelenggaraan di lokasi destinasi wisata. KSPN superprioritas yang dilengkapi dengan berbagai sarana angkutan ini tentunya merupakan investasi luar biasa.
”Posisi industri angkutan jalan, sebagaimana transportasi yang lain, selama pandemi ini sebenarnya mengalami keterpurukan. Sektor transportasi terkoreksi 17-23 persen adalah kenyataan yang tak terbantahkan akibat Covid-19,” kata Ateng.
Setahun masa pandemi, lanjut Ateng, industri angkutan mengalami kerugian di seluruh moda baik antarkota antarprovinsi (AKAP), pariwisata, AKDP, AJAP, angkutan kota, taksi maupun angkutan lingkungan, mencapai sekitar Rp 33 triliun. Itu terjadi karena kebijakan pengaturan atau pembatasan mobilitas oleh pemerintah sehingga seluruh moda transportasi tidak bisa berjalan secara normal.