Konsistensi Pelaksanaan Pembatasan Sosial Dibutuhkan bagi Industri Pariwisata
Pelaksanaan pembatasan kegiatan masyarakat berbasis mikro membutuhkan konsistensi masyarakat, pemerintah, sampai pelaku industri, seperti sektor pariwisata dan ekonomi kreatif.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Konsistensi pelaksanaan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM berbasis mikro menjadi kunci pemulihan usaha jasa pariwisata dan ekonomi kreatif. Oleh karena itu, masa pemberlakuan PPKM, 22 Juni-5 Juli 2021, bisa dipakai pelaku usaha melengkapi fasilitas protokol kesehatan serta sertifikasi kebersihan, kesehatan, keamanan, dan kelestarian lingkungan.
Hal itu mengemuka dalam webinar ”Optimisme Pariwisata di Tengah Pandemi” yang diselenggarakan oleh Forum Merdeka Barat 9, Rabu (23/6/2021), di Jakarta. Direktur Hotel Indonesia Natour Christine Hutabarat mengatakan, pihaknya menjadikan momentum PPKM, 22 Juni-5 Juli 2021, untuk mengevaluasi fasilitas protokol kesehatan serta pelaksanaan standar kebersihan, kesehatan, keamanan, dan kelestarian lingkungan (CHSE) di hotel. Hotel Indonesia Natour merupakan badan usaha milik negara yang memiliki 14 hotel di Sumatera, Jawa, dan Bali.
Apabila ada temuan kekurangan selama evaluasi, dia menyebut akan kembali menambahkan fasilitas hingga menggelar pelatihan bagi karyawan.
”Mulai dari lobi, kamar, toilet, sampai ruang publik akan dicek ulang penerapan fasilitas protokol kesehatan dan CHSE. Selama PPKM juga, kunjungan tamu terbatas. Kami berusaha mendorong manajemen hotel agar saling mengingatkan pekerja ataupun tamu untuk taat protokol kesehatan dan CHSE,” ujarnya.
Christine menceritakan, terlepas dari PPKM, selama pandemi Covid-19, Hotel Indonesia Natour berusaha berinovasi agar tetap bisa membiayai upah karyawan. Sebagai contoh, mengembangkan menu-menu makanan yang layak dijual ritel melalui platform e-dagang. Contoh lain, karyawan hotel yang memiliki kompetensi di bidang housekeeping bisa dilatih kembali, lalu mereka bisa membantu melayani permintaan jasa housekeeping bagi konsumen rumah tangga.
Hotel Indonesia Natour berusaha berinovasi agar tetap bisa membiayai upah karyawan.
Tingkat hunian kamar di semua hotel bagian dari Hotel Indonesia Natour telah anjlok menjadi 27 persen selama pandemi Covid-19. Adanya kebijakan pembatasan sosial, seperti PPKM, berpotensi semakin menurunkan tingkat hunian kamar.
”Kami berusaha meningkatkan fasilitas protokol kesehatan dan CHSE dengan harapan membantu pencegahan penularan Covid-19. Kami menyadari, kami bisa saja merasa telah bekerja keras mematuhi protokol kesehatan ataupun CHSE, tetapi tamu yang datang tidak bertindak sama. Ini yang mengkhawatirkan,” ujar Christine.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran mempunyai pandangan senada. Ada kecemasan jika manajemen hotel menegur tamu yang tidak patuh protokol kesehatan dan CHSE, tamu bersangkutan menilai hotel tidak ramah. Padahal, saat bersamaan, hotel amat membutuhkan pemasukan.
Berdasarkan pengamatan PHRI, sejak Indonesia mengumumkan pandemi Covid-19 pada Maret 2020, tingkat hunian kamar hotel segera anjlok hingga tersisa satu digit persen. Situasi itu menyebabkan sejumlah manajemen hotel menurunkan harga sewa demi menarik kunjungan tamu.
”Bisnis layanan pertemuan, insentif, konvensi, dan pameran (MICE) di hotel tidak tumbuh signifikan. Bisnis hotel mengandalkan kunjungan tamu, seperti model staycation. Situasi berat ini sudah kami jalani 1,5 tahun dan akan semakin berat jika penyebaran Covid-19 tidak bisa dikendalikan,” katanya.
PPKM mau tidak mau harus dijalani oleh anggota PHRI agar pemulihan sektor pariwisata dan ekonomi kreatif terjadi. Maulana berharap, Satuan Tugas Penanganan Covid-19 bisa berperan aktif mengawasi pelaksanaan PPKM di masyarakat. Pemerintah pusat dan daerah semestinya semakin gencar mempromosikan pentingnya protokol kesehatan dan CHSE kepada warga.
Satuan Tugas Penanganan Covid-19 bisa berperan aktif mengawasi pelaksanaan PPKM di masyarakat. Pemerintah pusat dan daerah semestinya semakin gencar mempromosikan pentingnya protokol kesehatan dan CHSE kepada warga.
”Hal tak kalah penting adalah implementasi program hibah dan bantuan insentif pariwisata yang amat dibutuhkan pelaku industri, terutama skala mikro,” ujarnya.
Pemilik Cyn Bali, usaha kreatif berupa tas dan perhiasan perak, Cokorda Istri Julyana Dewi, mengatakan, butik pemasarannya di Ubud, Bali, sudah tutup karena penjualan terus menurun selama pandemi Covid-19. Geliat pariwisata di Ubud pun sepi.
Dia tetap berusaha agar para mitra perajin Cyn Bali tetap bertahan. Oleh karena itu, dia memutuskan mendesain produk yang mudah dipakai sehari-hari, mudah dibersihkan, dan harga terjangkau.
Menurut dia, industri pariwisata dan ekonomi kreatif bergantung pada pergerakan orang. Ketika pandemi Covid-19 masih berlangsung, pembatasan sosial diberlakukan, pergerakan orang menjadi terbatas. Akibatnya, pemulihan industri ini akan lama.
”Kami berharap semua patuh protokol kesehatan dan CHSE. Pemerintah tetap membantu kemudahan akses berusaha bagi pelaku jasa pariwisata dan ekonomi kreatif,” tutur Cokorda.