Perilaku Belanja Konsumen Beradaptasi dengan Pandemi
Pandemi Covid-19 yang masih berlangsung menyebabkan pembatasan sosial tetap diterapkan. Pemilik merek barang dan jasa mesti menjadikan situasi itu untuk ikut berubah dan berinovasi.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Belum semua konsumen percaya diri untuk aktif beraktivitas di luar rumah karena pandemi Covid-19 masih berlangsung. Dalam pemilihan produk sehari-hari di tengah situasi ini, konsumen cenderung semakin menyukai merek yang mampu menjadi solusi saat hanya dapat berkegiatan di rumah saja.
Dalam riset Nielsen Indonesia yang dilakukan secara daring kepada 345 orang di 11 kota selama periode 14-21 April 2021 ditemukan, 76 persen responden mengaku dominan beraktivitas dari dalam rumah. Meski demikian, sebagian di antara responden itu mulai percaya diri berkegiatan di luar rumah, seperti berbelanja ke mal (51 persen), menghadiri kondangan (48 persen), dan bepergian ke luar kota (28 persen).
Executive Director of Media Nielsen Indonesia Hellen Katherina, Kamis (17/6/2021), di Jakarta, mengatakan, kepercayaan diri para responden ini diperkirakan mulai terbangun karena sejumlah tempat publik menyediakan fasilitas protokol kesehatan. Vaksinasi pun terus dijalankan oleh pemerintah. Sebanyak 75 persen responden setuju bahwa ketuntasan vaksinasi Covid-19 pada semua lapisan masyarakat menjadi acuan keadaan kembali normal.
Mengenai merek barang yang digunakan, 72 persen responden mengaku loyal terhadap merek yang telah mereka pakai sebelum pandemi Covid-19. Namun, 51 persen di antaranya merasa selama pandemi Covid-19 mereka menjadi lebih sensitif terhadap harga.
72 persen responden mengaku loyal terhadap merek yang telah mereka pakai sebelum pandemi Covid-19. Namun, 51 persen di antaranya merasa selama pandemi Covid-19 mereka menjadi lebih sensitif terhadap harga.
Hellen menjelaskan bahwa 345 responden yang diteliti berlatar belakang kelas ekonomi menengah dan atas. Karena beraktivitas dari rumah, 75 persen responden menyebut suka mendengarkan audio streaming, misalnya podcast.
Temuan riset lainnya yang juga menarik, para responden ini cenderung memilih menabung dan berinvestasi. Alasannya, pandemi Covid-19 tidak menunjukkan adanya kepastian kapan berakhir.
”Bagi pemilik merek layanan jasa keuangan, situasi itu bisa dipakai sebagai peluang untuk menggandakan iklan mereka. Pemilik merek barang dan jasa lainnya pun dapat memanfaatkan kondisi kebiasaan konsumen selama pandemi Covid-19, seperti merek produk hiburan," ujar Hellen.
Sejalan dengan temuan itu, di tempat terpisah, Kantar Indonesia merilis laporan studi tahunan ”Indonesia Brand Footprint 2021”. Laporan studi ini mengukur merek produk sehari-hari atau fast-moving consumer goods (FMCG) yang paling dipilih oleh konsumen Indonesia. Sasaran studi adalah 97 persen dari total rumah tangga baik di perkotaan maupun perdesaan yang merepresentasikan 68 juta rumah tangga.
Merek FMCG diteliti dan diurutkan berdasarkan metode consumer reach point (CRP), matriks yang mengalkulasikan jumlah rumah tangga yang membeli merek dengan berapa kali merek bersangkutan dibeli konsumen.
Lima kategori FMCG yang paling banyak dipilih oleh konsumen rumah tangga selama pandemi Covid-19 berlangsung, yaitu mi instan, diikuti biskuit, kopi instan, detergen, dan penyedap rasa. Sebanyak 95 persen rumah tangga yang diteliti membeli lima kategori barang tersebut 35 kali dalam setahun.
Commercial Director Kantar Indonesia Worldpanel Division Adisti Bramanti mengatakan, sebelum pandemi Covid-19, lima kategori FMCG itu telah banyak dicari oleh rumah tangga. Adanya pandemi Covid-19 membuat lima kategori FMCG itu semakin relevan.
Relevansi merek terhadap kebutuhan konsumen rumah tangga membuat bisnis merek FMCG bisa bertahan di tengah krisis pandemi Covid-19. Menurut dia, ada lima faktor relevansi yang mesti dipahami oleh pemilik merek FMCG, yakni karakter mudah dijangkau konsumen, inovatif, memberikan solusi, lebih hadir dalam setiap kebutuhan, dan komunikatif.
Relevansi merek terhadap kebutuhan konsumen rumah tangga membuat bisnis merek FMCG bisa bertahan di tengah krisis pandemi Covid-19.
Adisti lantas mencontohkan ”Sasa” sebagai salah satu merek bumbu masak yang mengalami kenaikan CRP 12 persen dan berhasil menarik 2,1 juta pembeli baru. Kampanye iklannya berusaha menonjolkan pesan memasak di rumah. Narasi pesan yang senada juga dimiliki oleh merek ”Ultra Milk” melalui konten tips masak di rumah. CRP merek ”Ultra Milk” tumbuh 13 persen.
”Pembatasan sosial karena pandemi Covid-19 mendorong konsumen rumah tangga mengubah perilaku sesuai dengan protokol kesehatan, seperti aktivitas diusahakan lebih banyak dari rumah. Merek FMCG yang bisa mengikuti perubahan perilaku konsumen itu yang akan bertahan. Kami belum bisa memproyeksikan jika kondisinya pandemi Covid-19 sudah usai,” ujar Adisti.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal saat dihubungi terpisah, mengatakan, beberapa subsektor industri manufaktur tetap mengalami pertumbuhan positif selama pandemi Covid-19 masih berlangsung, seperti FMCG, farmasi, dan logam dasar. Di luar ketiga subsektor itu, otomotif mengalami pertumbuhan saat ini, meskipun kecenderungannya melambat. Ada juga subsektor industri manufaktur yang pemulihannya masih berpotensi relatif lama, seperti tekstil dan elektronika.
Dalam struktur produk domestik bruto (PDB) Indonesia berdasarkan lapangan usaha, pada triwulan I-2021, industri pengolahan berkontribusi 19,84 persen. Dari keseluruhan subsektor industri yang berkontribusi besar terhadap PDB industri pengolahan nonmigas, yaitu subsektor industri makanan dan minuman (37,98 persen), diikuti industri kimia, farmasi, dan obat (11,23 persen).
Mengutip laman Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, pada 2 Juni 2021, data bulanan Purchasing Manufacture Index (PMI) menunjukkan, PMI Indonesia berada di atas 50,0 atau di level ekspansi.
Menurut Faisal, pertumbuhan positif kinerja FMCG dibarengi dengan pemulihan ritel. Mobilitas orang merangkak naik mulai triwulan I-2021. Artinya, orang sudah mulai berani keluar rumah untuk beraktivitas sehingga konsumsi naik.
”Jika ada pembatasan sosial kembali karena ada indikasi gelombang kedua penyebaran Covid-19, hal itu akan berpotensi menahan laju pertumbuhan manufaktur secara keseluruhan. Namun, kami rasa, baik pelaku industri maupun konsumen sudah belajar dari pengalaman tahun 2020,” kata Faisal.