Pemanfaatan Teknologi Sektor Makanan dan Minuman Masih Tertinggal
Sebanyak 99 persen pelaku industri mamin adalah pengusaha mikro-kecil yang beroperasi secara manual. Sementara 0,46 persen pelaku industri mamin berskala menengah-besar belum beranjak dari teknologi industri 3.0.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Industri makanan dan minuman atau mamin menyimpan potensi pasar serta kontribusi yang signifikan terhadap struktur ekonomi nasional. Kendati demikian, pemanfaatan teknologi di sektor ini masih jauh tertinggal. Pelaku industri yang mayoritas berskala mikro dan kecil masih beroperasi secara manual dari hulu sampai hilir.
Inovasi dan pemanfaatan teknologi penting dikembangkan untuk meningkatkan daya saing industri makanan-minuman nasional, termasuk terkait isu keamanan pangan (food safety) yang beberapa kali membuat ekspor produk mamin Indonesia dipersoalkan di pasar global.
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, 99 persen pelaku industri makanan-minuman adalah pengusaha mikro dan kecil. Secara keseluruhan, ada 1,68 juta pelaku industri berskala mikro dan kecil yang berkontribusi terhadap output industri makanan-minuman nasional sebesar 10 persen.
Sementara itu, pelaku industri berskala menengah-besar hanya mencakup 0,46 persen dari total pelaku industri atau sebanyak 7.712 unit usaha. Namun, mereka mendominasi kontribusi output industri sebesar 89,61 persen.
Menurut Sekretaris Direktorat Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Mohammad Ari Kurnia Taufik, Kamis (17/6/2021), belum ada pengusaha yang memanfaatkan teknologi digital dan siber untuk mengembangkan industri 4.0. Sebanyak 70 persen pelaku industri makanan-minuman berskala besar baru beroperasi di level 3.0, sementara 30 persen masih pada level industri 2.0.
Secara keseluruhan, ada 1,68 juta pelaku industri berskala mikro dan kecil yang berkontribusi terhadap output industri makanan-minuman nasional sebesar 10 persen.
Sementara itu, 70 persen pelaku industri mikro dan kecil masih beroperasi di level 2.0. Hanya 30 persen yang mulai beralih ke teknologi komputerisasi (industri 3.0). Mohammad mengatakan, proses menuju industri makanan-minuman yang berstandar 4.0 masih panjang dan menghadapi banyak kendala. Produktivitas di hulu masih buruk dan infrastruktur rantai dingin masih tertinggal.
”Perlu investasi besar untuk pembelian teknologi dan kerja sama teknologi agar industri kita yang masih di level 2.0 dan 3.0 ini bisa bermain di frekuensi yang sama dengan dunia. Sekarang bahkan beberapa negara mulai bergeser ke industri 5.0. Sebentar lagi kita juga tertinggal,” katanya dalam konferensi pers menjelang Pameran Virtual Krista Exhibitions.
Mohammad mengatakan, program pemanfaatan teknologi di industri makanan-minuman menjadi salah satu prioritas utama Kemenperin. Beberapa program di dalamnya adalah penguatan riset dan penelitian, pengembangan inovasi teknologi, serta pembelian dan kerja sama teknologi. Selain itu, program revitalisasi permesinan ditujukan untuk mendekatkan alat produksi ke teknologi baru.
”Perubahan ke arah lebih maju harus terus kita dorong agar industri makanan-minuman kita lebih berdaya saing. Jangan lupa, kita punya peluang pasar yang besar, baik domestik maupun global, karena pasar kita sudah mencakup 30 persen dari total pasar ASEAN,” ujar Mohammad.
Adapun Pameran Virtual Krista Exhibitions pada 22-26 Juni 2021 itu akan mengusung tema sektor makanan-minuman dan melibatkan 150 peserta yang sebagian besar merupakan pelaku industri dalam negeri. ”Kita akan menampilkan potensi produk kopi, teh, kakao, herbal, makanan laut, serta peralatan yang terkait dengan food service. Diharapkan ini bisa menjadi ajang untuk meningkatkan kinerja industri makanan-minuman di tengah pandemi,” kata CEO Krista Exhibitions Daud Salim.
Proses menuju industri makanan-minuman yang berstandar 4.0 masih panjang dan menghadapi banyak kendala. Produktivitas di hulu masih buruk dan infrastruktur rantai dingin masih tertinggal.
Data Kemenperin menunjukkan, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) industri makanan dan minuman pada triwulan I-2021 tumbuh positif 2,45 persen. Meski positif, kondisi itu masih di bawah triwulan I-2020 yang mencatat angka pertumbuhan 3,94 persen. Industri makanan-minuman juga masih jauh di bawah level sebelum pandemi yang pada 2019 tercatat tumbuh 7,78 persen.
Keamanan pangan
Secara terpisah, Ketua Komite Bidang Organisasi Hubungan Daerah dan Ketenagakerjaan Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Triyono Prijosoesilo mengatakan, meski industri mamin termasuk sektor yang bisa tumbuh positif selama pandemi, tantangan yang dihadapi untuk mempertahankan laju pertumbuhan itu juga besar.
”Di satu sisi, ini menjadi tantangan karena kita kembali dihadapkan pada realitas kondisi kasus Covid-19 yang kembali naik dan pasti akan berdampak lagi pada industri,” katanya.
Pemanfaatan teknologi juga bisa menjawab persoalan keamanan pangan yang di era pandemi ini menjadi perhatian utama negara tujuan ekspor.
Di sisi lain, ia mengakui, tantangan besar lainnya adalah mendorong industri kecil dan menengah yang mendominasi sektor makanan-minuman untuk naik kelas. Selain meningkatkan produktivitas dan efisiensi produksi, pemanfaatan teknologi juga bisa menjawab persoalan keamanan pangan yang di era pandemi ini menjadi perhatian utama negara tujuan ekspor.
Selama ini, industri kecil dan menengah cenderung memikirkan bagaimana bertahan hidup, bukan pada memajukan industri dan mengikuti standar regulasi. ”Namun, sekarang kita pelan-pelan melihat sudah semakin banyak industri kecil dan menengah yang mulai berubah dan berupaya memenuhi standar regulasi karena mereka melihat permintaannya memang tinggi dan mereka harus menyesuaikan diri,” katanya.