Makanan dan Minuman, Industri yang Bertahan Saat Pandemi
Industri makanan dan minuman boleh dikatakan tak mati oleh pandemi Covid-19. Kendati masih bergulat dengan kendala bahan baku, kinerjanya tetap tumbuh positif dan dilirik para investor.
Oleh
Agustina Purwanti
·5 menit baca
Pandemi Covid-19 yang disusul dengan kebijakan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB berdampak pada terhambatnya sejumlah aktivitas ekonomi yang berujung pada melemahnya perekonomian negara. Hal itu ditunjukkan dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi menjadi 2,97 persen pada triwulan pertama tahun ini.
Perlambatan tersebut dipicu oleh melambatnya hampir semua sektor yang membentuk produk domestik bruto (PDB), termasuk sektor industri pengolahan, yang menjadi kontributor terbesar pada perekonomian nasional selama lebih dari 20 tahun. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, laju pertumbuhan industri pengolahan dalam tiga bulan pertama tahun ini hanya mencapai 2,06 persen. Angka tersebut melambat dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu (y-on-y), yakni 3,85 persen.
Sekalipun melambat, pertumbuhan industri pengolahan itu didukung oleh kinerja positif sejumlah industri. Salah satunya adalah industri makanan.
Tumbuh positif
Saat separuh dari industri di bawah industri pengolahan nonmigas mengalami penurunan, industri makanan dan minuman menjadi salah satu industri yang tetap mampu tumbuh positif hingga 3,94 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Meski melambat dibandingkan dengan tahun lalu, angka tersebut lebih tinggi dari laju pertumbuhan industri nonmigas secara keseluruhan.
Tak hanya mampu tetap tumbuh positif di tengah pandemi, industri makanan dan minuman juga konsisten memberi kontribusi yang besar pada perekonomian. Masih merujuk data BPS, kontribusi industri makanan dan minuman mendominasi pendapatan industri nonmigas pada triwulan pertama tahun ini, yakni lebih dari sepertiga dari total pendapatan industri nonmigas.
Jika dilihat sumbangannya terhadap PDB total, andil industri makanan dan minuman mencapai 6,52 persen pada periode yang sama. Kontribusi setara empat kali lipat di atas industri lain yang mempunyai andil tinggi, seperti kimia, farmasi, dan obat tradisional; industri alat angkutan; barang logam; serta industri tekstil dan pakaian jadi.
Indeks manufaktur
Fakta tersebut juga dibuktikan dengan nilai indeks manufaktur atau prompt manufacturing index (PMI) periode triwulan pertama 2020. PMI adalah indikator yang disusun oleh Bank Indonesia (BI), yang menyediakan gambaran umum mengenai kondisi sektor industri pengolahan, maka disebut PMI-BI. Indikator tersebut mengukur kinerja triwulan tertentu dan memperkirakan kinerja triwulan yang akan datang.
Pada triwulan I 2020, PMI-BI industri makanan dan minuman mencapai 50,44 persen. Industri makanan dan minuman menjadi satu-satunya industri yang mengalami ekspansi dibandingkan dengan tujuh kelompok industri lainnya.
Industri makanan juga tetap menyumbangkan devisa melalui kinerja ekspor.
Merujuk siaran pers Kementerian Perindustrian (Kemenperin), periode Januari hingga Mei tahun ini, nilai ekspor industri makanan menembus angka 11,4 miliar dollar Amerika Serikat. Nilai tersebut naik 8 persen jika dibandingkan dengan pencapaian periode yang sama tahun lalu.
Seiring kinerja tersebut, rasanya tidak berlebihan jika hasil PMI-BI menunjukkan adanya optimisme meningkatnya kembali kinerja industri makanan dan minuman meski masih banyak pembatasan di tengah pandemi. Bahkan, BI memperkirakan nilai PMI pada industri makanan dan minuman triwulan mendatang akan tetap ekspansi dengan nilai lebih tinggi, yakni 51,15 persen.
Magnet investasi
Keberhasilan industri makanan dan minuman mempertahankan kinerja juga diikuti dengan respons positif para investor. Hal itu ditunjukkan dengan tingginya realisasi nilai investasi untuk industri tersebut.
Mengacu pada data yang dirilis Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi penanaman modal dalam negeri (PMDN) untuk industri makanan mencapai Rp 7,3 triliun pada triwulan pertama tahun ini. Nilai itu mendominasi semua PMDN untuk industri pengolahan dalam periode yang sama, yakni 40 persen. Sementara jumlah proyek yang dikerjakan sebanyak 1.129 proyek.
Pada periode yang sama, industri makanan mendapat investasi asing (PMA) senilai 298,4 juta dollar AS dengan jumlah proyek yang dikerjakan sebanyak 743 proyek. Pada posisi ini, industri makanan masuk ke dalam tiga besar industri dengan nilai PMA tertinggi setelah industri logam dasar dan industri kimia.
Keberhasilan industri makanan dan minuman mempertahankan kinerja juga diikuti dengan respons positif para investor.
Investor juga menunjukkan ketertarikan konsisten terhadap sektor makanan dan minuman dalam beberapa tahun belakangan. Merujuk laporan BKPM, dalam kurun waktu lima tahun terakhir, industri makanan mampu menyerap investasi tertinggi hingga Rp 293,2 triliun. Nilai investasi itu mencapai 21,7 persen dari total semua investasi yang masuk ke sektor industri pengolahan.
Boleh jadi, keyakinan investor untuk tetap berinvestasi pada industri makanan meski berada di bawah ketidakpastian berakhirnya pandemi karena industri makanan adalah industri yang relatif aman. Keberadaannya yang bergerak di bidang penyediaan bahan pokok bagi manusia, boleh dikata, tak akan pernah mati.
Industri makanan dan minuman yang tetap tumbuh positif, sejalan dengan masih besarnya pengeluaran konsumsi masyarakat untuk makanan dan minuman. Data BPS menunjukkan, hampir separuh dari total 58,15 persen kontribusi pengeluaran rumah tangga dalam PDB bersumber dari makanan dan minuman. Dari sisi pertumbuhannya, pengeluaran rumah tangga untuk makanan juga tumbuh positif 0,93 persen sepanjang triwulan I tahun 2019-triwulan I tahun 2020.
Dukungan penuh
Melihat tidak adanya kepastian tentang berakhirnya pandemi, agaknya industri makanan dan minuman akan terus menggeliat. Pasalnya, ketidakpastian tersebut juga berdampak pada pendapatan masyarakat yang tidak sebesar biasanya. Hal itu sebagai dampak adanya penyesuaian pengeluaran perusahaan bagi pekerja formal. Hilangnya lahan pekerjaan atau berkurangnya pendapatan juga turut dirasakan pekerja informal.
Dalam situasi tersebut, masyarakat cenderung akan mengutamakan kebutuhan pokok, yakni makanan dan minuman, ketimbang kebutuhan lainnya. Apalagi, anjuran untuk sebisa mungkin berada di rumah membuat masyarakat boleh jadi cenderung memilih untuk membeli makanan dalam bentuk jadi. Tentu, industri makanan dan minuman turut berperan besar.
Pemerintah perlu memberikan perhatian penuh pada operasional industri makanan dan minuman. Kepastian ketersediaan bahan baku menjadi penting sebagai komponen utama bagi industri.
Pengurangan biaya impor menjadi signifikan pada masa sulit ini mengingat industri ini juga harus melakukan pengeluaran lebih untuk menyediakan sarana kesehatan demi menerapkan protokol kesehatan. Namun, di sisi lain, momentum ini bisa menjadi pengingat untuk kembali membangkitkan sektor hulu, khususnya di sektor makanan dan minuman, yang dalam beberapa tahun terakhir telah menghadapi kondisi global yang penuh ketidakpastian.