Belenggu Bahan Baku di Industri Makanan dan Minuman
Keterkaitan antarsektor dari hulu ke hilir sangat penting dilakukan guna menciptakan industri yang kompetitif, khususnya pada industri makanan dan minuman.
Konsisten memberikan kontribusi yang besar pada kinerja manufaktur, industri makanan dan minuman dipilih sebagai salah satu industri prioritas. Namun, perlu diperhatikan ketersediaan bahan baku dalam negeri untuk mendukung industri ini.
Industri makanan dan minuman merupakan salah satu industri yang menjanjikan. Bergerak pada produksi barang yang menjadi kebutuhan pokok manusia, makanan dan minuman, bisa dibilang menjadi industri yang tidak akan pernah mati.
Industri ini memberi kontribusi paling besar pada sektor manufaktur nonmigas. Menelusuri data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang lima tahun terakhir, kontribusi industri makanan dan minuman pada manufaktur nonmigas konsisten meningkat dari tahun ke tahun.
Tahun 2015, industri ini berkontribusi sebesar 31,44 persen pada manufaktur nonmigas. Hingga 2019, industri ini terus meningkat dan mampu berkontribusi 36,14 persen. Dalam lima tahun, kontribusi industri makanan dan minuman pada manufaktur nonmigas tumbuh 14,96 persen.
Sangat meyakinkan untuk menjadi industri prioritas. Pasalnya, kontribusi industri makanan dan minuman pada perekonomian total juga konsisten meningkat pada periode yang sama.
Bahkan, pada 2019, industri ini mampu menyumbang 6,80 persen pada produk domestik bruto (PDB) total. Kontribusi ini terbesar ketiga setelah subsektor perdagangan besar dan eceran (bukan mobil dan sepeda motor) dan subsektor pertanian, peternakan, perburuan, dan jasa pertanian.
Pertumbuhan
Industri makanan dan minuman menjadi penyedia produk yang dibutuhkan oleh semua orang di segala kalangan dan usia. Tak mengherankan, jumlah industri besar dan sedang (IBS) di sektor ini paling tinggi di antara industri lainnya.
BPS mencatat, industri IBS untuk makanan dan minuman berjumlah 8.158 unit pada 2017. Dengan kata lain, seperempat dari total IBS di Indonesia dikuasai oleh industri ini.
Jumlah industri yang tinggi berdampak pula pada penyerapan tenaga kerjanya. Tahun 2017, tenaga kerja pada industri makanan dan minuman, khususnya IBS, sebanyak 1,13 juta pekerja atau setara dengan 17,19 persen dari seluruh pekerja pada IBS. Lagi-lagi, jumlah ini tertinggi dibandingkan dengan industri lainnya.
Kendati demikian, pertumbuhan industri ini melambat selama dua tahun terakhir. Tahun 2017 merupakan pertumbuhan tertinggi sepanjang lima tahun terakhir, mencapai 9,23 persen. Sayangnya, tahun 2018 turun menjadi 7,91 persen dan makin melemah pada 2019 menjadi 7,78 persen.
Menurut laporan Kementerian Perindustrian tahun 2019, melambatnya pertumbuhan industri ini utamanya terjadi pada industri makanan. Pada 2017, pertumbuhan industri makanan sebesar 9,79 persen, turun menjadi 7,74 tahun 2018. Sementara, industri minuman justru meningkat menjadi 12,49 persen pada 2018.
Menurunnya kinerja industri makanan erat kaitannya dengan penurunan harga minyak sawit dunia. Hal ini berdampak pada penurunan ekspor kelapa sawit dan industri makanan secara keseluruhan.
Selain itu, perlambatan pertumbuhan industri makanan sejalan dengan semakin meningkatnya volume impor pada industri ini. Tahun 2018, kenaikan volume impor sebesar 23,34 persen, sedangkan pada 2017 turun 2,96 persen.
Keterkaitan industri
Berbicara tentang industri sudah tentu ada keterkaitan dengan sektor lainnya. Keterkaitan antarsektor dibagi menjadi dua, keterkaitan ke belakang (backward linkages) dan keterkaitan ke depan (forward linkages).
Backward linkages adalah keterkaitan suatu sektor terhadap sektor lain yang menyumbang input. Backward linkages yang terdekat dengan industri makanan dan minuman adalah sektor pertanian, di mana bahan-bahan utama industri ini disokong oleh produk dari pertanian, utamanya subsektor pertanian dan perikanan.
Namun, agaknya hal ini menjadi tantangan bagi industri makanan dan minuman di Indonesia. Pasalnya, sektor pertanian yang menjadi penyokong utama industri makanan dan minuman terus mengalami perlambatan pertumbuhan dua tahun belakangan. Tahun lalu, pertumbuhannya hanya 3,80 persen, sedangkan pertumbuhan tahun sebelumnya 3,95 persen dan tahun 2017 sebesar 4,01 persen.
Menurut laporan Kementerian Perindustrian tahun 2019, melambatnya pertumbuhan industri ini utamanya terjadi pada industri makanan.
Perlambatan tersebut salah satunya disebabkan oleh perlambatan pada tanaman hortikultura. Komoditas yang dihasilkan berupa sayuran dan buah-buahan.
Bahkan, tanaman pangan mengalami penurunan pada tahun lalu. Tanaman pangan menghasilkan komoditas yang mengandung karbohidrat dan protein, di antaranya padi, jagung, kedelai, kacang tanah, dan ubi.
Komoditas-komoditas tersebut sering dijadikan bahan baku untuk industri makanan dan minuman. Bahan baku merupakan bahan mentah utama yang diperlukan untuk membuat barang hasil produksi.
Kedelai misalnya, data termutakhir yang dirilis oleh Kementerian Pertanian menunjukkan, terjadi penurunan produksi kedelai pada 2017. Pada tahun itu Indonesia hanya mampu memproduksi 538.728 ton kedelai. Padahal, tahun sebelumnya mampu memproduksi 859.653 ton, bahkan tahun 2015 sebesar 963.183 ton.
Begitu juga dengan produksi buah-buahan. Tahun 2018 terjadi penurunan produksi pada beberapa jenis buah. Penurunan terbesar di antaranya terjadi pada jeruk, salak, dan anggur.
Bukan hanya bahan baku, industri makanan dan minuman tidak lepas dari bahan penolong yang menjadi pelengkapnya, untuk menjadi produk yang siap dikonsumsi. Bahan penolong yang sering digunakan untuk industri makanan dan minuman adalah gula dan garam.
Kemenperin mencatat, tahun 2018 produksi gula dalam negeri sebesar 2,17 juta ton, sementara kebutuhan gula nasional mencapai 6,6 juta ton. Begitu pula dengan garam.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mencatat, tahun 2017, produksi garam dalam negeri hanya 1,1 juta ton, sementara kebutuhan 3,9 juta ton.
Terbelenggu impor
Solusi untuk memenuhi kebutuhan gula bagi sektor industri adalah dengan melakukan impor. Hal ini dapat dilihat dari tingginya impor bahan baku dan bahan penolong makanan dan minuman untuk industri. Laporan BPS menunjukkan bahwa terjadi tren peningkatan selama tahun 2014 hingga 2018.
Pola ini diikuti oleh tren impor kedelai yang juga kian meningkat pada periode yang sama. Mengacu pada data BPS, tahun 2018 impor kedelai Indonesia sebesar 2,59 juta ton. Angka ini meningkat dari tahun 2014 yang hanya 1,97 juta ton.
Demikian pula pada buah-buahan. Volume impor buah pada 2018 meningkat tiga kali lipat dari tahun 2014, dari 0,55 juta ton menjadi 1,57 juta ton. Impor tinggi juga terjadi pada bahan baku lainnya.
Untuk bahan penolong, khususnya garam dan gula, juga terjadi impor yang tinggi. Tahun 2018, impor garam Indonesia sebesar 2,84 juta ton. Terus meningkat sejak 2015 yang hanya 1,86 juta ton.
Tak berbeda dengan gula, Statista mencatat, Indonesia menjadi negara importir gula terbesar di dunia pada tahun 2017/2018, diikuti oleh China dan Amerika Serikat. Tahun tersebut, Indonesia mengimpor sebesar 4,45 juta ton gula.
Apalagi, mengingat peningkatan tren industri minuman, permintaan gula akan terus meningkat. Hal ini akan semakin mendorong impor jika produksi dalam negeri tak kunjung dibenahi.
Hal ini berlaku juga untuk bahan baku dan bahan penolong lainnya yang menjadi penyokong industri makanan dan minuman. Perlu adanya kesinambungan antarsektor untuk mewujudkan tujuan dari industri prioritas ini. (LITBANG KOMPAS)