Bursa Efek Indonesia menghentikan sementara perdagangan saham perusahaan teknologi yang tengah melesat tinggi. Namun, ada risiko tinggi yang membayangi, yaitu fluktuasi yang sangat tajam.
Oleh
joice tauris santi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sektor teknologi di Bursa Efek Indonesia atau BEI menarik dicermati karena harga saham anggotanya naik sangat tinggi hingga ribuan persen. Bisnis data center menjadi salah satu bisnis yang dikembangkan oleh perusahaan teknologi tersebut. Namun, saham pada sektor ini juga berisiko tinggi karena fluktuasi yang naik turun cukup dalam.
Pada perdagangan Selasa (15/6/2021), BEI menghentikan perdagangan saham sementara PT DCI Indonesia Tbk terkait dengan peningkatan harga saham yang sangat signifikan.
”Dalam rangka cooling down, BEI memandang perlu melakukan penghentian sementara perdagangan saham DCI Indonesia pada perdagangan tanggal 15 Juni 2021,” demikian pengumuman dari BEI.
Suspensi biasa dilakukan bursa agar para pelaku pasar dapat mempertimbangkan keputusan investasi berdasarkan informasi. Pada hari yang sama, BEI mencabut suspensi terhadap saham PT Multipolar Technology Tbk yang mulai disuspensi pada Senin (14/6/202).
Pada perdagangan Senin sebelum disuspensi, harga saham DCII mencapai Rp 50.250 per saham atau naik 11.864 persen dari harga perdana.
Saham DCII pertama kali ditawarkan kepada publik pada 6 Januari 2021 dengan harga Rp 420 per saham. Pada perdagangan Senin sebelum disuspensi, harga saham DCII mencapai Rp 50.250 per saham atau naik 11.864 persen dari harga perdana.
Tidak hanya saham DCI Indonesia, sebagian besar saham perusahaan teknologi juga naik pesat sepanjang tahun ini. Indeks saham perusahaan teknologi sudah naik sekitar 400 persen dari awal tahun. Setidaknya, ada lima saham dengan kenaikan terbesar. Misalnya saja saham PT Multipolar Technology Tbk (504 persen), PT Kioson Komersial Indonesia Tbk naik 484 persen, PT Indointernet Tbk (309 persen), PT NFC Indonesia Tbk (117 persen), dan PT MCAS Integrasi Tbk (74 persen).
Namun, kenaikan saham-saham teknologi tersebut juga harus diwaspadai lantaran tetap mengandung risiko. Head of Investment Reaserch Infovesta Wawan Hendrayana memperingatkan, saham teknologi berfluktuasi cukup tinggi dengan volume perdagangan yang tidak terlalu besar.
”Harap dipahami kenaikan saham-saham tekonologi ini umumnya sentimen ekspektasi bisnisnya akan berkembang di masa yang akan datang. Fundamental pendapatan saat ini umumnya masih kecil, perubahan sentimen atau penundaan proyek bisa menjadi katalis untuk ambil untung dan dan harga bisa turun tajam,” kata Wawan.
Saham teknologi berfluktuasi cukup tinggi dengan volume perdagangan yang tidak terlalu besar.
Wawan menyarankan investor yang mau berinvestasi pada sektor ini haruslah memiliki horizon investasi dalam jangka panjang. Jika ingin bertransaksi secara cepat atau trading, investor harus memiliki titik untuk menentukan kerugian yang jelas. ”Saham teknologi sebaiknya dibeli untuk diversifikasi saja,” ujarnya.
Saham pada sektor ini juga belum banyak diminati investor institusi, seperti manajer investasi yang mengelola reksa dana saham.
Kerja sama
Sementara itu, pengusaha Anthoni Salim bekerja sama dengan DCI Indonesia mendirikan kompleks pusat data (data center) berstandar global yang diberi nama H2. Komplek digital ini berada di Pertiwi Lestari Industrial Park, Karawang, Jawa Barat.
H2 merupakan salah satu kompleks pusat data terbesar di Asia Tenggara dengan luas puluhan hektar. Pada Senin (14/6/2021) lalu sudah dilakukan topping off dari gedung pusat data pertama H2. Gedung ini memiliki 10 lantai dengan 6 lantai di antaranya ruang data dengan total kapasitas 3.000 rack dengan daya listrik 15 megawatt. Pembangunan gedung ini telah dimulai sejak triwulan IV-2020.
Pembentukan pusat data juga akan dilakukan oleh Multipolar Technology. Dalam penjelasannya kepada bursa, Multipolar Technology menyebutkan sedang menjajaki potensi kemitraan untuk anak usahanya yang bergerak dalam bidang pusat data, yakni PT Graha Teknologi Nusantara.