Upaya mencapai industri berkelanjutan dan pengembangan energi bersih di Indonesia membutuhkan upaya ekstra yang lebih fundamental di luar skema pemberian insentif.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah sedang menyiapkan mekanisme insentif fiskal bagi industri yang melakukan langkah mewujudkan industri hijau. Namun, upaya mencapai industri berkelanjutan dan pengembangan energi bersih di Indonesia membutuhkan upaya ekstra yang lebih fundamental di luar skema pemberian insentif.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, Kamis (10/6/2021), mengatakan, pemerintah sedang menyusun mekanisme fasilitas insentif untuk pelaku industri yang mewujudkan prinsip-prinsip industri hijau dan berkelanjutan di perusahaan masing-masing.
Hal tersebut merupakan amanat dari Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2018 tentang Pemberdayaan Industri. Fasilitas yang diberikan bisa dalam bentuk fiskal dan nonfiskal.
Terkait bentuk insentif yang akan disediakan, pemerintah masih menggodoknya. ”Sekarang kami sedang melakukan kegiatan analisis biaya manfaat (cost benefit analysis) yang akan menjadi dasar pemberian insentif fiskal kepada industri,” kata Agus dalam acara peluncuran Penghargaan Industri Hijau di Jakarta.
Agus mengatakan, perencanaan pembangunan yang rendah karbon merupakan program prioritas yang sedang dikembangkan pemerintah. Pemerintah menetapkan target penurunan emisi gas rumah kaca pada 2030 sebesar 29 persen atau setara 834 juta ton CO2 dengan usaha mandiri atau 41 persen (setara 1,08 miliar ton CO2) dengan bantuan internasional.
Sektor industri sendiri berkontribusi terhadap tiga sumber emisi utama, yaitu energi, proses industri dan penggunaan produk, serta pengelolaan limbah industri. Kondisi pertumbuhan industri yang semakin ekspansif dan pesat dikhawatirkan bisa semakin menurunkan daya dukung lingkungan dan mempercepat krisis sumber daya alam.
”Pemerintah mendorong industri manufaktur existing untuk bertransformasi dari business as usual menjadi industri hijau. Kami juga terus berupaya membangun industri baru dengan prinsip-prinsip berkelanjutan,” katanya.
Salah satu upaya nonfiskal yang ditempuh untuk mendorong pengembangan industri hijau adalah pemberian Penghargaan Industri Hijau yang sudah berlangsung sejak tahun 2010 dan telah diberikan kepada 895 perusahaan. Pemerintah juga memberikan Sertifikasi Industri Hijau kepada 37 perusahaan manufaktur sejak tahun 2017.
Lewat program itu, pada tahun 2019, Kemenperin mencatat terjadi penghematan energi pada implementasi industri hijau Rp 3,5 triliun dan penghematan air Rp 230 miliar.
Upaya ekstra
Secara terpisah, dalam diskusi dengan Redaksi Kompas, CEO Sintesa Group Shinta W Kamdani mengatakan, untuk mendorong tumbuhnya industri hijau dan pengembangan energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia, dibutuhkan upaya ekstra melebihi skema-skema pemberian insentif.
Ia menilai insentif fiskal memang dibutuhkan untuk mendorong berkembangnya ekonomi sirkular. Namun, dalam skala besar, insentif bukan solusi mutlak karena ada tantangan mendasar yang harus terlebih dahulu dihadapi, yaitu faktor nilai keekonomian, aspek sosial, pengembangan teknologi, dan dukungan regulasi.
”Kita tidak perlu bicara insentif, kita butuh solusi yang beyond insentif. Sebab, persoalan fundamentalnya saja kita belum siap. Masih banyak hal yang perlu dicarikan solusinya, terutama dari segi selisih harga pengembangan EBT,” kata Shinta.
Menurut dia, faktor ekonomi tetap penting karena untuk mewujudkan ekonomi berkelanjutan, performa ekonomi tetap harus dijaga bersama-sama dengan tanggung jawab sosial dan lingkungan.
Selain faktor keekonomian yang diragukan, ekosistem berusaha di dalam negeri juga belum mendukung beroperasinya pengembangan industri energi bersih dan berkelanjutan. ”Road map pemerintah sebenarnya sudah bagus dan benar. Namun, jika melihat kenyataan di lapangan, justru jauh dari target-target yang dikomitmenkan,” katanya.
Mahal dan berisiko
Contohnya, pengembangan pembangkit listrik tenaga panas bumi/geotermal (PLTP) yang saat ini sedang dikembangkan Sintesa Group lewat PT Sintesa Banten Geothermal dan PT Meppo-Gen.
Menurut Vice President Energy Sintesa Group Rosar Mamara, secara fundamental, investasi di sektor geotermal membutuhkan nilai investasi yang tinggi dengan risiko yang besar.
Sebab, berbeda dengan pembangkit listrik lainnya, pengembang PLTP harus mengurusi sektor hulu untuk mencari bahan baku atau sumber panas bumi terlebih dahulu, serta mengembangkan sektor hilir untuk mengonversi bahan baku itu menjadi listrik. Hal itu membuat nilai investasi yang ditanamkan serta risiko yang dihadapi lebih besar.
Pemerintah berusaha memberikan kompensasi atas risiko yang besar itu dengan memberi tarif listrik relatif tinggi. Namun, menurut Rosar, hal itu kurang tepat karena tarif listrik itu baru bisa dinikmati untuk jangka panjang ketika proyeknya sudah jadi. Sementara risiko dan beban yang dihadapi lebih berat ketimbang mengembangkan pembangkit listrik dari energi fosil.
”Ke depan, kalau sudah berhasil menemukan sumber uap panas, harus langsung ada kalkulasi kompensasi secara cepat. Sampai hari ini, kompensasi kami hanya berupa tarif listrik. Padahal, itu baru bisa dinikmati 4-5 tahun setelah mulai mengebor. Bayangkan kalau selama itu tidak ada kompensasi, proyek geotermal menjadi terlalu mahal dan lama,” kata Rosar.