Teknologi dan Diversifikasi Perkuat Nilai Ekonomi Panas Bumi
Pencapaian target pengembangan panas bumi tergantung dari daya saing harga listrik yang dihasilkan oleh pembangkit. Teknologi dan diversifikasi menjadi penentu daya saing tersebut.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemanfaatan teknologi dan diversifikasi produk pada pembangkit listrik tenaga panas bumi atau PLTP bisa berdampak pada pembentukan harga listrik di tingkat pengguna. Harga listrik yang berdaya saing mampu mempermudah pencapaian target nasional untuk pembangunan PLTP.
Menurut Direktur Panas Bumi pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Harris Yahya, pencapaian target pengembangan panas bumi salah satunya tergantung dari daya saing harga listrik PLTP. ”Oleh sebab itu, pemerintah mengupayakan deregulasi harga listrik yang saat ini (aturannya) sedang diproses di Sekretariat Negara,” katanya dalam webinar bertajuk ”Sinergi Mendukung Pengembangan Panas Bumi”, Kamis (6/5/2021).
Pemerintah menargetkan pengembangan PLTP dapat mencapai 3,2 gigawatt (GW) pada 2025 dan 4,5 GW pada 2030. Menurut Harris, target itu juga akan dikaji ulang lantaran adanya penurunan permintaan listrik sekitar 2,4 persen akibat pandemi Covid-19.
Pencapaian target pengembangan panas bumi salah satunya tergantung dari daya saing harga listrik PLTP.
Agar berdaya tarik untuk dimanfaatkan, Direktur Utama PT Geo Dipa Energi (Persero) Riki Firmadha Ibrahim menilai, harga listrik yang dihasilkan panas bumi mesti kompetitif terhadap energi baru dan terbarukan lainnya. Dia menggarisbawahi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Waduk Cirata, Jawa Barat, yang harga listriknya berpotensi 5 sen dollar AS per kilowatt jam (kWh).
Berdasarkan data yang dihimpun, Riki menyebutkan, harga listrik PLTS di California, Amerika Serikat, sebesar 2-3 sen dollar AS per kWh pada siang hari dan 5-6 sen AS per kWh pada malam hari, sedangkan harga listrik PLTP 6-8 sen AS per kWh. ”Jangan ada lagi harga listrik sebesar dua digit. Harga listrik (di tingkat pengguna) tidak boleh terbebani,” kata Riki dalam kesempatan yang sama.
Geo Dipa Energi telah membangun PLTP di Patuha, Jawa Barat, dan Dieng, Jawa Tengah. Per akhir 2020, total kapasitas terpasang kedua PLTP tersebut 130 megawatt (MW).
Chief Technology Officer sekaligus Chief Operation Officer KS Orka Riza G Pasikki menyebutkan, perusahaannya telah mencapai harga listrik PLTP kurang dari 10 sen AS per kWh di Sorik Marapi Geothermal Power, Sumatera Utara. Kapasitas potensial area pengembangan tersebut mencapai 240 MW dengan tarif yang tercantum pada perjanjian jual beli tenaga listrik (PPA) sebesar 81 dollar AS per megawatt jam (MWh). Harga itu dapat tercapai karena adanya analisis karakterisasi reservoir dan teknologi turbin yang berdampak pada efisiensi proses.
Perusahaan tak hanya fokus pada pemanfaatan uap panas bumi, tetapi juga potensi geowisata, produksi hidrogen hijau (green hydrogen), hingga mineral ikutan yang dapat diekstraksi, seperti silikon.
Direktur Utama Pertamina Geothermal Energy Ahmad Yuniarto menambahkan, perusahaan tak hanya fokus pada pemanfaatan uap panas bumi, tetapi juga potensi geowisata, produksi hidrogen hijau (green hydrogen), hingga mineral ikutan yang dapat diekstraksi, seperti silikon. Dengan demikian, pengembangan panas bumi dapat lebih efisien dari segi investasi dan belanja modal, sekaligus mampu mendongkrak nilai keekonomiannya.
Di sisi lain, Ketua Umum Asosiasi Panas Bumi Indonesia Priyandaru Effendi berpendapat, harga listrik yang dihasilkan panas bumi tidak dapat langsung dibandingkan dengan sumber energi baru dan terbarukan lainnya. Menurut dia, harga listrik PLTP mesti mengacu pada imbal hasil (rate of return) internal. Salah satu pertimbangannya ialah suku bunga pinjaman semikomersial yang berkisar 7 persen.
Selain itu, Priyandaru menyebutkan, proses pengembangan panas bumi yang dapat selesai dalam waktu tujuh tahun, rata-rata realisasinya di Indonesia menjadi 12 tahun. Dampaknya adalah ada biaya tambahan dan hasil yang tertunda (delayed return) yang mesti ditanggung dalam lima tahun.
Secara spesifik, Direktur Utama Medco Energi Indonesia Eka Satria berpendapat, harga listrik PLTB tidak bisa dibandingkan dengan PLTS. Rata-rata imbal hasil yang ditargetkan pengembang swasta PLTB berkisar 7-12 persen.