Arah Baru Ekonomi Berbasis Industri Hijau
Tahun 2019, Industri hijau nasional mampu menghemat kebutuhan energi mencapai Rp 3,5 triliun, dan menghemat air hingga Rp 228,9 miliar.
Upaya merealisasikan industri hijau semakin menguat sejak pandemi Covid-19. Hal ini merupakan transformasi dua sisi industri yang mendukung kemajuan ekonomi sekaligus perbaikan kualitas lingkungan.
Dorongan untuk segera merealisasikan industri hijau itu salah satunya muncul dari Inggris. Negara ini menyatakan akan melarang penjualan kendaraan baru berbahan bakar fosil mulai tahun 2030, sebagai bagian dari rencana revolusi industri hijau.
Upaya serupa juga muncul dari komitmen antara pemerintah Indonesia dan Uni Eropa. Melalui telekonferensi pertengahan 2020, Indonesia dan Uni Eropa menegaskan kembali kesepakatan untuk mendukung lingkungan dan perubahan iklim.
Komitmen tersebut akan direalisasikan secara kongkret di berbagai aspek. Indonesia dan Uni Eropa berupaya mewujudkan industri berkelanjutan, penerapan ekonomi sirkular, pengelolaan limbah. Kedua pihak juga mengupayakan pengelolaan berkesinambungan keanekaragaman hayati, dan mendorong penggunaan energi terbarukan.
Baca juga: Normal Baru di Industri Manufaktur
Sebelumnya, negara-negara di dunia termasuk Indonesia menerapkan pola industrialisasi yang lebih bertumpu pada persaingan ekonomi. Pada zaman orde baru, kebijakan ekonomi berorientasi pada pengembangan industri substitusi impor dan berorientasi ekspor dalam kerangka Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).
Sejak era reformasi industri pengolahan juga dipilih sebagai sektor prioritas dalam kerangka Making Indonesia 4.0 bersama dengan sektor pertanian, perikanan dan kelautan, energi, serta pariwisata.
Tak heran jika industri berkontribusi dominan terhadap perekonomian nasional selama dua dekade terakhir. Tahun 2020, seperlima PDB nasional disumbang oleh sektor industri pengolahan dengan nilai ekonomi mencapai Rp 2.209,92 triliun.
Baca juga: Penguatan Industri Manufaktur di Tengah Pandemi
Boros Energi
Meski demikian, industri juga disebut-sebut sebagai ekonomi yang boros energi dan sarat eksploitasi sumber daya. Kapasitas produksi massal dan masif membuat kebutuhan energi oleh sektor industri menjadi tinggi.
Publikasi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tahun 2018 menunjukkan, sektor industri Indonesia mengonsumsi sepertiga dari total konsumsi akhir energi seluruh sektor tahun 2018.
Dengan nilai sebesar 334,47 juta BOE (barrel oil equivalent) atau setara barrel minyak mentah, industri menjadi konsumen energi terbesar kedua setelah sektor transportasi. Sebagian besar energi yang dikonsumsi tidak dapat diperbarui.
Baca juga: Membuka Kotak Pandora Keterpurukan Industri Mikro dan Kecil
Industri pun telah berkembang sedemikian masif dalam hal bahan baku. Kekurangan bahan baku industri dalam negeri pun bahkan dipenuhi dari impor. Data Kementerian Perdagangan mencatat, tiga per empat impor bahan baku dan penolong tahun 2019 adalah untuk industri. Hal tersebut tidak lepas dari peningkatan kebutuhan seiring dengan terus meningkatnya jumlah penduduk, baik di Indonesia maupun dunia.
Eksploitasi energi dan bahan baku tersebut dibarengi dengan limbah industri yang berujung pada degradasi lingkungan. Dalam Laporan Climate Transparancy Indonesia 2020 disebutkan, sektor industri menyumbang 37 persen emisi karbon (CO2) Indonesia pada tahun 2019. Sektor ini menjadi penyumbang emisi karbon terbesar di antara sektor ekonomi lainnya.
Karbon merupakan bagian dari gas rumah kaca yang dominan di sektor industri dan menyebabkan pemanasan global yang bisa menyebabkan perubahan iklim. Data Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) menunjukkan bahwa rata-rata suhu global pada tahun 2019 adalah 1,1 derajat celcius di atas rata-rata pada masa pra-industri.
Transformasi
Dampak lingkungan yang terjadi membawa dunia pada kesadaran akan pemeliharaan lingkungan. Perubahan perilaku dalam produksi dan konsumsi semakin menguat sejak pandemi.
Salah satunya adalah dengan mengonsumsi barang bekas sebagai upaya mengurangi eksploitasi bahan baku dan energi. Hal tersebut merupakan salah satu wujud industri hijau yang menyinergikan aktivitas industri dengan lingkungan.
Namun demikian, upaya mewujudkan industri hijau tak hanya sebatas mengonsumsi produk bekas. Dalam skala luas, penerapan industri hijau menuntut komitmen kuat di kalangan dunia usaha. Selama ini konsep industri hijau masih bersifat sukarela, belum menjadi kewajiban pelaku usaha.
Baca juga: Dua Sisi Bisnis Barang Bekas
Hal ini tecermin dari rendahnya jumlah pelaku usaha yang mendaftar penghargaan industri hijau. Total pendaftar penghargaan industri hijau sepanjang 10 tahun terakhir tidak lebih dari 2.000 perusahaan, baik besar, menengah, dan kecil. Padahal, data Badan Pusat Statistik menunjukkan jumlah industri besar dan sedang di Indonesia tahun 2019 mencapai hampir 34 ribu unit.
Pada sisi lain, penerapan industri hijau sebenarnya mampu menghemat sumber daya. Industri hijau mampu menghemat kebutuhan energi sebesar Rp 3,5 triliun, berdasarkan data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional tahun 2019. Pada tahun yang sama, industri hijau juga menghemat air senilai Rp 228,9 miliar.
Sementara itu, perubahan pola produksi industri yang sudah lama berjalan juga merupakan sebuah proses yang tidak mudah. Mewujudkan industri hijau juga berhadapan dengan tantangan ribuan bahkan jutaan orang bisa jadi ikut terdampak jika transformasi itu berdampak kepada mereka.
Baca juga: Normal Baru dan Tantangan Penganggur Baru
Betapa tidak, sektor industri masih menjadi salah satu sektor padat karya yang menampung lebih dari 18 juta tenaga kerja Indonesia, menurut data Badan Pusat Statistik Februari 2020. Jumlah tenaga kerja sektor industri konsisten meningkat dari tahun ke tahun.
Industri nasional juga menjadi sektor penyerap tenaga kerja terbesar ketiga setelah pertanian dan perdagangan. Terlebih, Industri juga menjadi sektor yang menjembatani peningkatan nilai tambah ekonomi dari dua sektor tersebut.
Transisi menuju industri hijau juga semakin menantang mengingat besarnya kebutuhan investasi untuk memodifikasi peralatan dan teknologi. Hal ini menjadi salah satu pertimbangan pelaku usaha, sehingga masih enggan menerapkan industri hijau.
Tantangan yang ada tidaklah cukup diselesaikan dengan kesadaran pelaku usaha untuk melakukan transformasi industri yang ramah lingkungan. Dibutuhkan juga peran pemerintah untuk merumuskan kebijakan baru, khususnya terkait investasi, insentif usaha, dan ketegasan komitmen yang mendorong ke arah penerapan industri hijau.
(LITBANG KOMPAS)