Indonesia Belajar Atasi Pelanggaran Muatan Berlebih dari Negara Lain
Indonesia belajar mencari bentuk terbaik mengatasi pelanggaran kelebihan dimensi maupun beban muatan. Banyak pelajaran dari praktik di Amerika Serikat, Perancis, Korea Selatan, dan Thailand yang bisa diadopsi Indonesia.
Oleh
Stefanus Osa Triyatna
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia belajar mencari bentuk yang tepat untuk mengatasi pelanggaran kelebihan dimensi dan muatan guna mewujudkan target bebas kendaraan dengan dimensi dan muatan berlebih tahun 2023. Bukan sekadar merusak jalan dan menyebabkan kerugian negara hingga Rp 43 triliun per tahun, problem kelebihan muatan dan dimensi juga berdampak pada pengabaian keselamatan pengguna jalan.
Berbagai upaya untuk menuju bebas kendaraan dengan kelebihan muatan dan dimensi di Indonesia tahun 2023. Upaya itu mulai dari menumbuhkan komitmen antara industri kendaraan komersial dan perusahaan karoseri untuk merancang desain sesuai ketentuan, menindak secara administratif bagi para pelanggar muatan dan dimensi berlebih (over dimension and overload/ODOL) di jalan, hingga memotong badan kendaraan komersial yang melanggar aturan.
Selain itu, Kementerian Perhubungan juga menggali berbagai strategi yang dilakukan sejumlah negara di Asia ataupun Eropa dalam webinar internasional ”Benchmarking On The Regulation And Policy On Overdimension And Overloading Trucking Against Other Countries”, Kamis (3/6/2021) malam.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Budi Setiyadi, mewakili Menteri Perhubungan, mengatakan, salah satu tantangan terkait keberadaan kendaraan angkutan barang di Indonesia adalah mengurangi kendaraan dengan muatan dan dimensi berlebih. Hingga November tahun 2019, berdasarkan hasil pengawasan truk angkutan barang di 73 UPPKB (Unit Pelaksana Penimbangan Kendaraan Bermotor), ada sekitar 2.073.698 kendaraan yang masuk UPPKB. Sebanyak 39 persen atau 809.496 unit truk di antaranya dikategorikan melanggar ketentuan.
Dari hasil pengawasan terhadap 2.073.698 kendaraan di unit penimbangan, sebanyak 39 persen di antaranya dikategorikan melanggar ketentuan.
”Pelanggaran terbanyak yang ditemukan adalah truk dengan muatan berlebih, yakni 84,43 persen. Truk ODOL ini menimbulkan biaya sosial yang cukup besar, di antaranya, biaya bahan bakar tinggi, berkontribusi besar pada kerusakan jalan, bahkan polusi dan kecelakaan. Seperti yang kita ketahui, berdasarkan laporan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, dalam satu tahun kerugian negara akibat truk ODOL mencapai Rp 43 triliun,” kata Budi.
Menurut Budi, saat ini angkutan jalan masih menjadi primadona kegiatan logistik dengan porsi mencapai 90,4 persen. Beberapa upaya mengurangi aktivitas kendaraan dengan muatan atau dimensi berlebih adalah dengan melarang kendaraan dengan kriteria itu masuk ke jalan tol juga dengan memaksimalkan pengoperasian UPPKB di jalan nasional. Upaya ini juga ditujukan untuk keselamatan dan mengalihkan sebagian angkutan jalan ke moda lain, seperti angkutan kereta dan angkutan laut.
”Upaya lain sebagai bentuk keseriusan dalam pemberantasan pelaku ODOL, Kementerian Perhubungan bekerja sama dengan Kepolisian RI dan Pemerintah Daerah telah melakukan upaya serius, di antaranya normalisasi kendaraan truk overdimensi. Selain itu, inovasi dalam bentuk pemulihan keadilan bagi pelaku yang berniat baik untuk mengembalikan kendaraannya ke kondisi semula pada bengkel resmi juga sedang digalakkan. Ditargetkan, Indonesia dapat bebas ODOL pada tahun 2023,” ujar Budi.
Direktur Lalu Lintas Jalan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Suharto menuturkan, sebelum menentukan regulasi yang tepat, Indonesia ingin melihat pengalaman negara lain dalam mengatur pengoperasian kendaraan angkutan barang di jalan, terutama implementasi aturan yang telah dilakukan negara-negara lain.
”Hal ini sangat penting agar sistem angkutan barang kita mengikuti kebijakan standar keselamatan dan keamanan. Karena itu, kita perlu memahami regulasi nasional dan internasional saat ini,” kata Suharto.
Pelanggaran kendaraan dengan kelebihan muatan dan dimensi rupanya juga terjadi di sejumlah negara. Berbagai cara dilakukan untuk menindak para pelanggar. Tak sekadar denda, sanksi pidana penjara pun diterapkan bagi pelanggar.
Di satu sisi, denda dianggap dapat membuat jera para pelanggar. Namun, di lain sisi, sebesar apa pun denda atas pelanggaran kelebihan muatan/dimensi justru dipandang mentolerir terjadinya pelanggaran. Akibatnya, kerusakan jalan harus ditanggung negara dan dampak sosial turut dialami oleh pengemudi kendaraan lain karena kemacetan lalu lintas dan terancamnya keselamatan pengguna jalan lainnya.
Duane Pearce, Manager of Motor Carrier – Departemen Transportasi Maryland, Amerika Serikat, membagikan pengalaman mengatasi ODOL sesuai aturan di Maryland. Pertama-tama, ketentuan dimensi dan berat angkut kendaraan yang sesuai aturan dijabarkan. Ukuran maksimum lebar kendaraan sebesar 102 inci dengan maksimum tinggi sekitar 13 kaki 6 inci. Sementara ketentuan berat kendaraan yaitu 20.000-22.400 pon untuk kendaraan sumbu tunggal, 34.000 pon untuk sumbu dua, dan 80.000 pon untuk traktor dan trailer sumbu 5.
Kedua, penentuan denda terhadap para pelanggar, baik dimensi maupun muatan angkut kendaraan. Besar denda sangat berjenjang. Mulai denda sebesar 1 sen dollar AS per 1 pon kelebihan dalam 1.000 pon pertama berat di atas berat yang diizinkan, kemudian denda 5 sen dollar AS akan dikenakan per pon untuk kelebihan muatan 1.000-5.000 pon dan denda 12 sen per pon dollar AS untuk kelebihan 5.001-10.000 pon. Kemudian, untuk kelebihan 10.001-20.000 pon akan didenda sebesar 20 sen dollar AS per pon dan denda sebesar 40 sen dollar AS untuk setiap pon yang melebihi muatan di atas 20.000 pon.
Dalam praktik di lapangan, Duane menjelaskan, inspeksi lebih banyak dilakukan oleh polisi. Truk yang melintas di jalan utama diarahkan menuju jembatan timbang. Bahkan, apabila pengendara truk menolak diarahkan, polisi berhak menahan kendaraan. Dalam waktu 90 hari tidak membayar denda, pengadilan berhak melelang kendaraan tersebut.
General Manager ITS Korea Selatan Sue Park mengatakan, tidak sekadar memperlihatkan besaran denda dan ancaman penjara, melainkan lebih dominan menunjukkan perangkat teknologi yang digunakan Pemerintah Korea Selatan. Bahkan, apabila pelanggar memanipulasi alat dalam kendaraan dan tidak mematuhi aturan beban, sanksi pidana penjara satu tahun atau denda di bawah 10 juta won atau sekitar 10.000 dollar AS siap dikenakan kepada pelanggarnya.
Korea Selatan lebih memperlihatkan sistem pengukuran berteknologi canggih yang dapat merekam kelebihan beban maupun dimensi. Bahkan, pelanggar tidak dapat berkelit karena sistem ini dapat mencatat secara detil dan langsung mencetak jenis pelanggarannya. Apabila truk melarikan diri, polisi pun segera mengejarnya untuk mengenakan sanksi lebih berat lagi.
”Untuk menjaga kredibilitas dan akurasi penggunaan alat ini, Pemerintah Korea Selatan telah lebih dahulu melakukan sertifikasi agar memenuhi standar internasional. Teknologinya dapat mengukur beban kotor kendaraan maupun beban sumbu kendaraan,” ujar Park.
Sementara Managing Director Suwanpisarn Transportation 2010 CoLtd Suratin Tunyaplin mengatakan, sekitar 20 tahun lalu banyak perbedaan pendapat antara pemilik perusahaan jasa transportasi kendaraan komersial dan pemerintah. Perusahaan yang melanggar aturan dipastikan berani banting harga untuk jasa transportasinya sehingga biasanya memiliki pesanan yang begitu banyak.
”Saat itu, penegakan hukum tidak cukup kuat untuk mengatasi pelanggaran. Akibatnya, pemerintah harus mengeluarkan anggaran besar untuk perbaikan jalan,” kata Suratin.
Denda yang ditetapkan di Thailand bisa mencapai 100.000 baht atau 3.300 dollar AS. Selain itu, ada juga sanksi pidana penjara enam bulan hingga penyitaan truk karena kelebihan beban angkut dinilai sebagai pelanggaran kriminal.
Suratin mengatakan, ”Denda di Thailand berjenjang. Ini dirasa lebih adil bagi penyedia jasa transportasi. Kami tidak sengaja melanggar hukum. Karena itu, di Thailand, pemilik produk juga harus bertanggung jawab karena mereka memberikan barang kepada penyedia jasa transportasi secara berlebihan untuk mengurangi biaya produksi.”
Michel Savy dari Universitas Paris Est lebih mendudukkan persoalan kelebihan muatan dan dimensi sebagai upaya mengutamakan keselamatan di jalan. Kerusakan jalan lebih besar disebabkan oleh beban yang diangkut kendaraan. Ada keuntungan ilegal yang terjadi di jalan. Uniknya, pelanggaran ODOL terjadi di beberapa negara. Karena itu, denda dan sanksi lain dianggap lebih efektif.
”Kecurangan yang dilakukan pemilik kendaraan menjadi beban bagi pengguna jalan di sekitarnya yang selama ini beroperasi secara jujur. Tentunya, regulasi dalam menentukan denda perlu disesuaikan dengan tingkat pelanggarannya. Bukan kepada pengemudi, melainkan lebih dikenakan terhadap penyedia jasa transportasi dan pengguna jasa transportasi,” ujar Michel.